Kode Iklan Disini

Sastra, Alam Dan Tanda

 menempatkan bahasa pada ranah terpenting dalam pemunculan aspek estetis Sastra, Alam dan Tanda
Sastra sebagai seni, menempatkan bahasa pada ranah terpenting dalam pemunculan aspek estetis. Sastra memadukan bunyi, rima, gaya bahasa dan unsur penunjang yang lainnya sampai menjadi suatu perpaduan yang sarat makna, estetika bahkan etika. Plato membuat semacam rumusan bahwa seni yakni hasil tiruan alam, tak terkecuali dengan sastra. Rumusan ini menghasilan konsep pendekatan sastra yakni mimetik. Alam menjadi titik tolak bahasa menjadi sastra. Sastra terikat konvensi dan alam yakni salah satu unsur yang membentuk konvensi.

Alam mempunyai tanda yang disebut sebagai tanda-tanda alam. Dapat dicermati di lingkungan sekitar, ada hujan, petir, pelangi, asap, air, angin, pohon, dan lainnya yakni tanda-tanda alam. Dalam sastra, penggunaan tanda-tanda alam sebagai objek pembangun dalam karya sastra nyaris selalu muncul. Alam yang paling akrab dengan insan dan insan tidak sanggup berlari dari alam. Alam banyak dipakai dalam bahasa sastra sebagai tanda. Tanda dalam sebuah makna.

Bahasa sastra tidak menjadi lugas sebab bersifat implisit. Implikatur dalam sastra terasa sangat kental dan bahkan sering diwujudkan dengan sebuah analogi yang keluar dari sebuah kewajaran. Bahasa sastra juga dibangun dengan tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda yakni yang menandai dan petanda yakni yang ditandai.

Peirce (dalam Baryadi, 2007:49) mengemukakan bahwa tanda mempunyai tiga ciri yakni, merepresentasikan sesuatu, bersifat interpretatif dan sesuatu yang dijadikan tanda mempunyai suatu dasar. Tanda-tanda dalam wilayah sastra mempunyai sebuah konteks untuk mengartikannya. Asap sanggup menunjukan adanya api, petir sanggup menunjukan hujan, gelap sanggup menunjukan malam dan sebagainya. Dalam ranah kebudayaan masyarakat secara kontekstual, alam juga merupakan tanda-tanda yang menjadi sebuah kearifan lokal. Adanya hujan sanggup menunjukan banjir, adanya gunung api yang aktif sanggup menunjukan peristiwa alam berupa letusan gunung dan gempa bumi dan lain-lain.
Gejala alam dalam teks sastra bisa dikatakan merupakan ejawantah tanda. Kata “angin” mempunyai penanda berupa kata “angin” itu sendiri yang terdiri dari lima karakter dan sebagai petanda “angin” menandai suatu sistem bunyi yang mempunyai arti “udara yang bergerak”. Puisi mengeksekusi tanda sebagai unsur pokok pembangun tubuhnya. Maka tak mengherankan jikalau banyak orang yang menganalisis puisi terfokus pada tanda-tanda yang membangunnya. Tanda-tanda tersebut bersatu dalam sebuah sistem tanda. Sistem tanda merupakan proyeksi sebuah makna dari realita atau yang ditandakan. Sastra dengan tanda-nya bisa menjadi sesuatu yang bermuka dua dengan masing-masing perspektif.

Banyak sastrawan yang memakai tanda-tanda alam sebagai salah satu susukan ke dalam sebuah imajinasi yang estetis dalam karyanya. Sebut saja, Ahmad Tohari yang menunjukan suasana alam yang alami dalam Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan deskripsi panorama alam dan suara-suara hewan yang terasa sangat alami. Dengan tanda semacam itu, Ahmad Tohari ingin memberikan bahwa latar dukuh paruk memang masih alami dan belum tersentuh modernitas.

Seno Gumira Ajidarma mengagungkan kepingan dari fenomena alam yakni senja sebagai tanda. Entah berapa kali senja menghiasi cerpen maupun novel Seno. Dalam cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” senja ditandakan sebagai ketulusan dan kebesaran cinta. Senja merupakan bentuk pengorbanan dan ketulusan, sebab untuk mengambil dan memperlihatkan senja perlu menghadapi banyak sekali macam rintangan. Dan senja itu hanya untuk pacarnya dengan keinginan mendapatkan sepotong senja sebagai tanda cinta. Tentu saja cerpen ini tidak saja terpaku dengan pembagian terstruktur mengenai di atas. Sastra mempunyai makna yang bersayap. Senja sebagai tanda tidak selalu berarti cinta, bisa juga dengan interpretasi yang lain.

Dalam dunia perpuisian, Sapardi Djoko Damono mengambil tanda-tanda alam sebagai tanda dalam puisinya. Apa yang sanggup ditangkap dari puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono berikut. “Tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan Juni/ dirahasiakannya rintik rindunya/ kepada pohon yang berbunga itu/ tak ada yang lebih bijak/ dari hujan bulan Juni/ dihapusnya jejak-jejak kakinya/ yang ragu-ragu di jalan itu/ tak ada yang lebih arif/ dari hujan bulan Juni/ dibiarkannya yang tak terucapkan/ diserap akar-akar pohon itu.”

Dalam puisi tersebut Sapardi memakai beberapa tanda-tanda alam maupun objek alam sebagai pembangun puisinya. Sebut saja hujan, pohon, bunga dan akar.
Dapat diketahui bahwa bulan Juni yakni satu bulan dari serentetan bulan yang termasuk dalam saat-saat trend kemarau. Musim kemarau yakni dikala yang seharusnya hujan tidak datang. Hujan bulan Juni yakni hujan yang salah mangsa. Hujan di sini menunjukan sesuatu yang tiba tidak pada waktunya.

Hujan sanggup diidentikkan dengan cinta. Cinta yang tiba dengan tak semestinya. Cinta tanpa kata dan tanpa sambutan sebab hanya dirahasiakan di dalam hati (dirahasiakannya rintik rindunya). Karena entah apa alasannya (tak ada yang lebih bijak), sang pecinta dengan perilaku mantap dengan menghapus segala keaguan (jejak-jejak kakinya/ yang ragu-ragu di jalan itu), beliau membiarkan cinta itu tak terucapkan (dibiarkannya yang tak terucapkan ) dan hanya menjadi kepingan rasa di dalam hati (diserap akar-akar pohon itu).

Sastra menganggap alam dan kebudayaan sebagai tanda-tanda. Tanda-tanda dalam sastra mewakili sebuah kebermaknaan teks. Alam sebagai salah satu objek tanda, merupakan sumber wangsit yang tak ada habis-habisnya untuk membuat imajinasi dan estetika dalam karya sastra.

Solo, 13 April 2009/ 22:30

Andi Dwi Handoko

Rujukan:

I. Praptomo Baryadi. 2007. Teori Ikon Bahasa :Salah Satu Pintu Masuk Ke Dunia Semiotika. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

Rachmat Djoko Pradopo, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

gambar dari:mardika.890m.com
Buat lebih berguna, kongsi:
close