Wawancara dilaksanakan pada tanggal 16 Februari 2010 dengan narasumber Ahmad Tohari. Wawancara dilakukan di rumah Ahmad Tohari, tepatnya di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah. Berikut yaitu hasil wawancaranya.
1. Mengapa dalam novel-novel Bapak banyak mengandung kritik sosial?
Dari awal, jadi begini. Hal itu berangkat dari komitmen saya untuk memperlihatkan donasi bagi terciptanya masyrakat yang bermutu yang tatanan sosialnya itu adil, mapan, dan terciptanya rakyat yang diperhatikan hak-haknya. Mungkin ke latar belakangnya alasannya yaitu saya dilahirkan kemudian dibesarkan dari masyarakat kelas bawah hingga hal-hal yang menyangkut nilai-nilai dasar, ketidakadilan, ibarat kebersamaan, penghargaan terhadap insan itu terus terbawa semenjak lahir.
2. Apa latar belakang Bapak mengarang novel Orang-orang Proyek (OOP)?
Itu berangkat dari hal-hal yang real atau nyata. Kalau tidak salah insiden terjadinya pada Pemilu 1977 atau 1982. Anda tadi lewat satu jembatan, waktu itu sedang dibangun jembatan itu. Lalu ada wakil presiden yang ketua Golkar yang meresmikannya. Makara sepenuhnya sangat berwarna Golkar dan sangat plat merah. Saya benci betul itu. Demi kampanye Golkar, jembatan itu diselesaikan secara tergesa-gesa, prosesnya juga sangat jelek. Bendahara proyek selalu bendahara Golkar pada masa itu.
3. Penulisan novel Orang-orang Proyek memerlukan waktu berapa tahun atau bulan?
Pengerjaan Orang-orang Proyek itu kurang lebih tiga atau empat tahun.
4. Kalau Ronggeng Dukuh Paruk, berapa?
Lama sekali, bertahun-tahun, mungkin empat tahun.
5. Orang-orang Proyek itu representasi dari apa dan siapa?
Ada. Kalau Orang-orang Proyek yaitu representasi ketua partai yang selalu menang, yakni Golongan Lestari Menang (GLM). Itu yaitu Harmoko.
6. Kalau tokoh Kabul representasi dari siapa?
Itu karakter yang dibentuk. Makara lahir dari idealisme saya. Tapi sebetulnya itu atau latar belakangnya yaitu anak saya yang ketiga gres di wisuda di UGM. Teknik Sipil UGM pascasarjana (S2). Saya ingin menasihati para insinyur itu. Lha itu bahwasanya saya ingin anak saya ibarat Kabul. Jadi, lahir dari idealisme. Figurnya malah tidak ada.
7. Selama pengerjaan Orang-orang Proyek, apakah Bapak melaksanakan semacam riset atau hanya konstruksi pengalaman Bapak?
Pengalaman yang dikontruksi, kemudian diambil dari rata-rata peristiwa-peristiwa di proyek. Selalu begitu, selalu begitu hingga sekarang. Dan dari proyek apapun. Selalu tidak bermutu. Padahal mereka (insinyur—red) juga bahwasanya tahu apa yang harus mereka lakukan tapi selalu dikhianati. Kamu lihat jalan raya itu (sambil menunjuk jalan—red). Mereka tahu bagaimana membuat jalan yang baik.mengapa dikhianati? Makara mental proyek itu bahwasanya ibarat itu. Bahkan Sidang Umum MPR diproyekkan. Keputusan besar diproyekkan. Mau bikin Undnag-undang diproyekkan, cari ruang-ruangnya. Makara bahwasanya OOP itu memang kritik saya terhadap pelaksanaan hampir semua proyek di Indonesia. Mental proyek itu yaitu mental mencari keuntungan dari suatu acara pembangunan/mencari keuntungan yang tidak benar. Misalnya, seorang pegawai negeri mempimpin proyek. Dia sudah digaji untuk itu, tapi beliau niscaya akan berlipat ganda penghasilannya kalau berperilaku ibarat itu. Itu tadi seluruhnya berdasarkan impian saya untuk memberi donasi bagi terciptanya masyarakat yang bermutu, masyarakat sipil yang adil, jujur, dan aturan yang ditegakkan.
8. Apakah OOP yaitu representasi dari Orde Baru (Orba)?
Ya.
9. Apakah bapak memandang hari ini masih ibarat itu (masih ibarat keadaan di Orba—red)?
Bisa lebih parah. Karena dulu kekuasaan sentralistik maka pusat pemerintahan ada di Jakarta, maka berkumpullah di sana. Sekarang tersebar proyek-proyek. Dengan otonomi kawasan maka pemerataan korupsi/pusat-pusat korupsi disebar. Dan saya murung melihat ibarat kamu-kamu ini ke depannya. Sampai hari ini belum kelihatan belokan atau pembelokan ke arah yang lebih baik. Ya. Terakhir terdengar ternyata pemerintah tidak punya daya apapun untuk mengatasi kejahatan kapitalisme. Kapitalisme tidak sepenuhnya buruk tapi selalu saja mengorbankan mayoritas masyarakat miskin. Pemerintah sepenuhnya tidak berdaya mengatasi kapitalisme tadi yang bahwasanya menguasai negeri ini. Saya selalu berpikir bagaimana memberi donasi untuk kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat. Bagaimana ini? Polisi edan, Jaksa gemblung, hakim kenthir, parpol sableng, SBY kalah dengan Anggoro dan Anggodo. SBY bisa ditekuk oleh Cina-cina itu. Keterlaluan!
Soalnya begni, Anda tahu, Cina-cina itu memberi modal hingga ke daerah. Makara kapitalis kawasan juga didominasi pemenang SBY. Ketika mereka menagih janji uangnya maka beliau tidak memperlihatkan begitu saja kan Mesti ada kompensasi.
Nah jadi begini, kau umurnya berapa? (“(22)” jawab pewawancara). Kamu pun memiliki tanggung jawab untuk membuat kehidupan yang lebih baik. Jangan memalsukan generasi saya. Generasi saya itu generasi yang gemblung, kemaruk, manja, sekaligus tolol. Kamu jangan ibarat itu. Sambil berjalan, kau menjadi insan Indonesia baru. Manusia Indonesia yang wataknya amanah, cukup ilmu, cukup iman, kerja, dan cukup menyadari bahwa hidup ini bersama dan berkelanjutan. Ada saya, ada kamu, anak-anakmu, terus begitu. Dan itu memerlukan kondisi-kondisi tertentu. Kalau terputus garis itu. Habis kita.
Nah alasannya yaitu saya merasa tidak bisa berbuat apa-apa, itu seluruh karya tulis saya itu yaitu komitmen untuk membuat kehidupan yang lebih baik. Intinya yaitu membela kaum yang lemah alasannya yaitu mereka yang paling mayoritas. Maka saya membuat jadwal kecil. Kalau begitu saya hanya bisa berusaha untuk membuat penghuni rumah ini, yaitu saya, istri, dan bawah umur saya menjadi insan Indonesia yang berbeda dengan yang lainnya. Saya tidak mau korupsi. Kalau saya mendapat sesuatu, itu alasannya yaitu saya telah memperlihatkan sesuatu.
10. Jadi, apakah hal ini menjadi bentuk lain dari khotbah Bapak?
Khotbah formal di masjid malah saya hindari. Khotbah saya ini ya begini. Khotbah Jumat itu. Tidak. Saya menghindari betul dari khotbah-khotbah semacam itu. Tapi saya ingin membangun akal pekerti dan karakter insan Indonesia. Ya, semua kan orang-orang idealis, ibarat Rasus, Tampi, Kabul, semua itu orang-orang idealis. Lahir dari idealisme. Negara kok tidak pakai idealisme, bagaimana ini? Harus idealis. Pragmatis semua. Yang penting untung, sanggup gaji, makmur, tapi orang lain terserah. Negara gemblung ya kayak gitu.
11. Menurut Bapak, siapakah tokoh-tokoh yang Bapak anggap idealis?
Kalau di sini, sebetulnya pada awalnya penuh dengan orang idealis ibarat Bung karno, Hatta, Sultan Syahrir, Tan Malaka, Abdul Wahid Hasyim. Yang menghancurkan idealisme yaitu Soeharto. Soeharto yaitu orang terbelakang dan tidak berpendidikan. Dia itu anak SMP. Dia hanya mengerti bagaimana menembak orang dengan bedil. Lalu konsep yang beliau miliki wacana kekuasaan yaitu kekuasaan Mataram. Dia terapkan persis ketika memerintah. Tiga puluh tahun ia membiarkan negeri ini menumbuhkan budaya korupsi. Sekarang, kau lihat yang namanya Tomi, Bambang Triatmojo pernah kerja apa? Uangnya trilyunan. Bangsat! Uang siapa? Uang nenek moyang kau itu. Uang rakyat. Nah kalau Pak Harto begitu, maka semua panglima meniru, ya kan kalau panglima begitu, Kodam begitu, gubernur begitu, Kapolda begitu, hingga ke tingkat masyarakat. Kamu percaya ini, kantor pajak setor ke kantor pajak yang lebih tinggi. Nanti Dirjen pajak setor ke Istana, persis ibarat Mataram. Itu pajak. Semua begitu. Bank begitu. Nah jadi ini yang membuat masyoritas masyarakat kecil itu tidak pernah menikmati kemerdekaan alasannya yaitu bahwasanya kita belum pernah merdeka. Kamu kira kau sudah merdeka. Jadi, kita ketika ingin merdeka, kita mengandaikan bahwa konsep kekuasaan itu berubah dari kekuasaan sewenang-wenang kerajaan menjadi kekuasaan daulat rakyat atau demokrasi di mana orang berkeluarga itu alasannya yaitu merasa mendapat mandat dari pemimpin. Tapi ternyata ketika sudah merdeka, dari presiden hingga ketua RT merasa menjadi priayi. Kelihatan kan? Kurang asuh betul. Makara menikmati kekuasaan sebagai milik pribadi, padahal yang dulu dicita-citakan yaitu kekuasaan itu amanat dari rakyat. Makara yang namanya public servent/pelayan rakyat itu: pegawai, tentara, polisi, bupati, itu melayani masyarakat. Eh ternyata masih ibarat masyarakat mereka priayi, kita wong cilik. Ya kurang asuh itu. Buat apa negeri ini jadi republik? Makara kerajaan Indonesia saja kenapa?
12. Di dalam RDP maupun OOP selalu diceritakan wacana komunis, apa latar belakang dari duduk perkara tersebut?
Ya alasannya yaitu sebetulnya stigma terhadap komunis terlalu berat. Makara setelah peristiw 65, Soeharto kan benar-benar mencuci habis yang namanya komunisme. Makara orang-orangnya dibunuhi, kalau tidak dieksekusi anaknya disingkirkan, cucunya saja hingga buyutnya tidak boleh untuk menjadi pegawai negeri. Sampai Gus Dur lah itu. Di kampung ini, kalau cucu seorang yang terlibat komunis, pengen jadi perangkat desa, sulit sekali. Gila! Padahal itu kan cucu. Traumanya kan saya itu begini. Tahun 1965 itu saya sudah Sekolah Menengan Atas kelas dua. Makara ketika terjadi geger itu, terjadi pembakaran rumah-rumah, pembunuhan, saya sudah sangat dewasa, sudah sangat bisa merekam hingga ke dasar hati. Semua orang benar-benar absurd itu. Rumah bisa seenaknya dibakar. Dan ramai-ramai itu. Orang yang membakar itu masyarakat, walau memang itu diprovokasi, yang memprovokasi yaitu tentara. Jadi, saya bilang ‘nggak bener ini, ini nggak bener’, tapi jiwa saya kan berontak terus dari tahun 1965 hingga RDP ditulis tahun 1980. Sampai lima belas tahun jiwa saya berontak terus. Jadi, bahwasanya begini. Tahun 1966 saya tamat SMA. Kemudian mulai tahun itu saya menunggu adanya atau terbitan apalah yang mengupas insiden tahun 1965 itu. Bayangkan! Tahun 1965 hingga tahun 1980 tidak ada satu pun novel Indonesia yang berani bicara. Makara saya pionir dan termasuk gila. Tahun 1980 berani. Berani betul kalau tiba-tiba peluru di kepala? Makanya saya punya taktik Rasus sebagai tentara. Kalau Rasus itu orang sipil atau guru, aduh, tentara bisa murka betul itu. Kapten Mortir yang baik hati yang juga tentara, walaupun yang mencacah-cacah Srintil juga tentara. Itu salah satu cara supaya RDP bisa terbit. Itu pun saya terpaksa dipanggil oleh tentara.
Itu, jadi ada repetisi duduk perkara PKI, lagi-lagi yaitu komitmen saya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Lha kalau orang PKI sudah dieksekusi begitu berat tapi tidak berkesudahan itu kan tidak adil. Yang terlibat PKI itu bapaknya, kenapa hingga anak cucunya dihukum. Itu kan benar-benar tidak adil. Ya banyak cerita-cerita nyata yang membuat saya itu semakin trenyuh. Ada teman, sahabat lebih muda dari saya, perempuan, cantik. Dia jadi guru. Setelah bapaknya tahun 1965 dinyatakan terlibat, pacarnya meninggalkannya, tidak ingin jadi mantu orang PKI. Karena beliau memang cantik, tiba lagi pacar yang kedua. Setelah tahu sejarah ayahnya, ditinggal lagi. Yang terakhir malah tentara, ya itu, meninggalkan lagi hingga tiga kali selalu ditinggalkan. Akhirnya, sahabat saya ini nggembor (menangis). Menangisnya itu mengutuk ayahnya.
Hal-hal semacam itu banyak yang saya alami. Karena saya memang saksi mata dan saksi sejarah. Itu yang kesannya terlalu berpengaruh jadi kadang kala tanpa sadar terulang atau terepetisi lagi. Nah, sebelum ini kau sudah baca Kubah? Pertama malah Kubah. Kubah itu menceritakan wacana orang yang gres pulang dari pulau Buru.
13. Apakah di dalam OOP, tokoh Pak Tarya yaitu ejawantah dari Pak Ahmad Tohari?
Ya, banyak yang memikirkan ibarat itu. Ya, kadang kala saya memang bersembunyi dalam diri satu karakter. Terutama soal mancing. Saya memang hobi mancing. Saya sangat menikmati suasana mancing. Saya itu pemancing sejati. Tidak harus sanggup ikan. Dan mancing itu tidak untuk mencari ikan.
Seperti banyak hal, kita semakin bersahabat dengan alam, kedua, mendapat ketenangan ketika berada di dekat genangan air. Bahkan hingga ke gagang pancing. Walesan. Walesan itu kan lurus tapi lentur, tidak gampang patah. Itu kalau jiwa insan ibarat itu, bagus sekali kan Lurus, jujur, lentur, tidak kaku, tidak frustasi dan tidak wagu alasannya yaitu elastis itu fleksibel.
14. Di dalam OOP ada semacam anekdot-anekdot? Apakah hal itu hanyalah anekdot belaka atau merupakan kenyataan?
Itu benar-benar itu, sahabat saya itu absurd benar itu. Teman mancing saya itu bahwasanya tukang batu. Istrinya itu buka warung kecil-kecilan. Orang buka warung itu kan orientasi labanya besar sekali kan? Melihat suaminya saben Minggu mancing, buat apa buang-buang nyewa perahunya saja mahal, bensin harus dibiayai, belum tentu dapat. Istrinya itu murka melarang suaminya mancing. Sangat logis kan? Gila itu! “Kalau saya pilih kau atau walesan, saya pilih walesan” dan itu benar.
Saya juga mancing tapi tidak hanyut ibarat itu. Satu lagi. Ini di sini, kemudian di Jakarta. Di Jakarta dulu, ada namanya Komplek Senayan. Dulu ada namanya Taman Ria Senayan. Sekarang jadi Perhutani. Di sana ada kolam pemancingan. Makara setiap Minggu pagi penuh orang mancing. Itu tahun 1980-an. Itu ada orang jadi pegawai. Saben Minggu mesti mancing. Pada waktu itu, ia sudah di situ sedang mancing. Belum usang sudah disusul alasannya yaitu keponakannya meninggal. Ia menyampaikan “Wong meninggal saja kok milih hari Minggi, mbok pilih hari kemarin atau besok kan boleh”
15. Bagaimana jawaban Bapak wacana mitos yang ada dalam OOP?
Ya, saya kan orang rasional, Islam lagi. Makara saya sangat tidak percaya. Tapi faktanya itu, contohnya di situ ada jembatan gantung atau talang. Jembatan gantung/talang irigasi, tapi itu tersier, sekunder malah, jadi cukup besar. Ketika itu dibangun, seluruh traktor, mesin-mesin dibunyikan semalam suntuk. Itu orang-orang percaya bahwa anak talang itu harus diberi bandul yang sangat besar supaya tidak hanyut. Orang percaya dan tidak bisa digugat, ketika ngecor itu ada manusianya. Itu menjadi dongeng umum. Setiap jembatan juga begitu katanya. Cuma saya sendiri menyampaikan hal itu cuma mitos. Kalau nggak dilakukan itu pun bahwasanya nggak apa-apa.
16. Kembali soal politik. OOP representasi dari Pemilu 1982. Kenapa di dalam novel latarnya yaitu 1991?
Tidak harus ganti. Ini enaknya nulis novel, membebaskan bahan dari ruang dan waktu. Misalnya itu terjadi di Boyolali tapi seakan-akan terjadi di Banyumas nggak apa-apa kan Yang penting esensinya, bukan tempat dan waktunya. Yang terang pada waktu itu Harmoko ada.
17. Apa pandangan politik Bapak pada waktu itu?
Makara saya itu orangnya hanya sekali ikut pemilu, yaitu ketika PPP gres ikut. Kalau tidak salah tahun 1971 atau tahun berapa, apa 1977. Waktu itu sebagai orang yang cukup muda, saya 29 tahun. Waktu itu kan ada orang NU, orang Muhammadiyah, segala eksponen itu masuk ke dalam PPP. Partai benar itu. Tapi setelah itu saya kecewa dan Golput hingga sekarang. Makara kalau saya menentukan contohnya orang legislatif itu alasannya yaitu orangnya bukan partainya.
18. Apakah Bapak dilahirkan si keluarga pesantren?
Makara begini, keluarga saya itu punya pesantren, tapi pesantren kecil. Saya lahir di situ. Ketika lahir, ya saya sudah mendengar orang mengaji. Tapi saya sendiri malah masuk SMP. Dulu itu didaftarkan PGA tapi setelah didaftarkan Bapak, Bpak pulang dan saya lari ke SMP. SMP-nya itu di kota. Untuk beberapa bulan, Bapak tetap mengira saya sekolah di PGA, padahal saya sekolah di SMP.
Makara pengetahuan atau pengalaman keagamaan saya memang betul-betul benar namun tidak secara formal, alasannya yaitu yaitu saya cuma ikut ngaji. Mendengar orang mengaji hampir 24 jam. Kemudian alasannya yaitu Bapak saya tokoh NU, jadi mengadakan pengajian-pengajian kemudian mendatangkan tokoh-tokoh. Waktu saya kelas satu SMP, bapak saya mendatangkan Fuad Hasyim, dan satu lagi dari Blitar. Itu terkenal itu siapa. Makara saya mencar ilmu sambil lalu. Baru kemudian setelah remaja baca buku-buku agama yang kitab putih bukan kitab kuning. Bergaul dengan orang-orang nyentrik, ya Cak Nur, Gus Dur, Cak Nun. Makara pikiran saya berkembang di sana.
19. Makara Bapak dekat dengan Cak Nur dan Gus Dur?
Ini semuanya. Ini saya dengan Gus Dur terakhir kali. Ini Gus Dur dua bulan sebelum meninggal. Ini di rumah Gus Dur (sambil memperlihatkan foto). Ini saya. Ini rombongan saya. Ini, bahagia tidur di sini Gus Dur itu.
20. Menurut Bapak, apa yang Bapak kagumi dengan sosok dan pemikiran Gus Dur?
Dia insan yang sesungguhnya. Saya kira insan yang sesungguhnya ya insan ibarat Gus Dur. Memberi kecintaan pada siapapun, melindungi siapapun, membantu siapapun dan tidak pernah merasa lebih tinggi dari siapapun. Makara Gus Dur itu kepada siapapun akrab. Makara beginilah, insan ini ahli sekali.
21. Kalau pandangan wacana Cak Nur atau Cak Nun?
Boleh dua-duanya, Cak Nur saya kenal, Cak Nun saya kenal. Sebetulnya sama, satu ajaran cuma warnanya tentu berbeda alasannya yaitu setiap insan kan satu lingkup. Satau individu sendiri. Semuanya yaitu manusia-manusia yang sangat menghormati orang lain. Hanya memuliakan Tuhan. Tidak memuliakan apapun termasuk dirinya sendiri dan sangat mencita-citakan kehidupan yang harmonis, demokratis, dan memberi hak kepada siapapun untuk mengaktualisasikan diri, ibarat itulah orang-orang yang cerdas. Cuma warnanya memang beda.
22. Bapak selain sastrawan juga sekaligus budayawan. Siapa tokoh yang memiliki pandangan visi dan misi yang sama dengan Bapak?
Ya kini ini saya merasa ya contohnya Muhammad Syafari. Dulu Rama mangun, kini rama-rama aneka macam yang kenal dengan saya. Satu ajaran dalam artian ingin memuliakan manusia. Kalau sudah begitu, saya tidak pandang agama.
23. Bagaimana dengan Kuntowijoyo atau Umar kayam?
O… iya, itu saya sering ketemu. Kuntowijoyo atau Umar kayam dalam satu sisi sama dengan saya, yaitu ingin mengubah kepriayian. Kepriayian itu mengandaikan ada satu lapis seseorang yang derajatnya lebih tinggi daripada orang lain. Itu saya tidak setuju. Gini. Ini pemikiran budaya yang sangat mendasar. Ada kalimat dalam Bahasa Indonesia berbunyi “Mbok Sarikem pergi ke sawah berpas-pasan dengan Ibu Camat yang hendak pergi ke kota”. Jika diucapkan dalam bahasa Jawa yang benar, maka begini “Mbok Sarikem kesah dateng sabin papagan kalian Ibu Camat ingkang badhe tindak kitha”. Selain itu salah. Makara Mbok Sarikem kesah, Ibu Camat tindak. Itu sudah standar bahasa jawa, kalau tidak begitu, salah. Mengapa mbok Sarikem “kesah”? Karena beliau petani. Mengapa Ibu Camat “tindak”? Karena perginya ke kota. Makara priayi. Perlukah dipertahankan pola bahasa ibarat ini?
Bab pemikiran budaya ibarat itu kewajiban saya serta anda-anda itu. Saya sangat mengkritisi kebudayaan Jawa yang serta merta dikatakan Adiluhung. Nanti dululah, apanya yang adiluhung. Saya juga Jawa kok, walaupun pingiran. Sama jawanya dengan mereka yang lahir dalam beteng. Makara hak saya sama.
Makara Umar kayam dengan Para Priyayi dan Si bawuk, itu kan bahwasanya agak sinis. Dia kan orang Jawa pinggiran, Ngawi. Yang lebih vulgar malah Rendra. Rendra lahir dari penari keraton Surakarta. Waduh, kritiknya terhadap Jawa habis-habisan. Rama Mangun juga. Kalau Rama Mangun orang Ambarawa.
Itu, jadi itu kesamaan dengan mereka. Makara banyak para budayawan Jawa alasannya yaitu tanggung jawabnya ingin membangun kembali/membangun yang gres dan meninggalkan yang lama.
“Sarikem kesah, Ibu Camat tindak”, lho itu gimana? Untuk negara demokrasi nggak boleh ada ibarat itu. Apalagi kalau dipikir secara sosiologis. Bu Camat kan hidup dari APBD. Jadi, beliau hidup dari uang rakyat kan? Lha rakyat dengan kerja dengan keringatnya sendiri. Apalagi yang namanya petani atau wong cilik itu hampir selalu memberi subsidi kepada yang di atasnya. Produksi pertanian selalu berlimpah. Milik petani ditukar murah dalam industri. Buruh diberi upah lebih murah dari aslinya.
Ada gula kelapa, kini harganya enam ribu. Mereka itu menjual kepada tengkulak itu tidak punya nilai atau daya tukar sedikitpun. Makara yang menentukan harga gula itu pembelinya atau tengkulak. Petaninya yang bertaruh nyawa: ini saya jual gula, beliau timbang. Ooo ini kelas tiga.
Tapi kini ada krisis kesastraan di mana karya sastra ini lebih didominasi sastra yang berwarna individualisme, kisah-kisah pribadi, perseorangan, secara umum dikuasai betul, kalau zaman saya itu justru diwalik, yang secara umum dikuasai itu karya-karya yang bertema sosial.
24. Apakah latar pendidikan yang berganti-ganti turut ikut andil dalam proses kreatif karya-karya Bapak?
Benar. Itu terang ada pengaruhnya. Makara saya begini, saya ini kan lahir dari keluarga pesantren. Makara ada latar belakang agama. Kemudian masuk SMP. Sekolah Menengan Atas bab B, bab eksakta. Biologi. Makara warna biologi dalam novel saya itu cukup banyak. Kemudian juga pernah masuk Sosial Politik, jadi buku-buku elementeri wacana politik saya baca. Pernah juga masuk bab ekonomi. Makara teks-teks elementeri wacana ekonomi saya baca. Tapi sebetulnya lebih dari itu begini, mengapa saya jadi pengarang alasannya yaitu saya tidak bercita-cita. Cita-cita saya yaitu dokter kok. Sebetulnya lebih alasannya yaitu suatu situasi yang kebetulan. Kebetulan kok saya berbakat, berhobi membaca. Itu belum sekolah. Makara belum masuk SD saya sudah bisa membaca. Bapak saya itu juga orang yang luar biasa. Bapak saya itu orang yang tamat SD lima tahun ketika zaman Belanda. Ketika merdeka, menjadi pegawai KUA, sekaligus menjadi tokoh partai NU. Bapak saya itu langganan koran NU yang namanya Duta Masyarakat semenjak tahun 1953. Gila! Itu kan lompatan luar bisa. Tahun 1953 hingga kini 2010. Berarti 57 tahun kan itu? Sekarang saja tidak ada sepuluh orang yang berlangganan koran di sini. Dari situ saya sudah berkenalan dengan aksara. Makara mulai terlitera, hingga dikala ini. Makara kalau bapak pulang itu yang saya tunggu korannya. Korannya itu terlambat seminggu alasannya yaitu lewat Pos. Makara kalau terbit tanggal satu, tiba di sini tanggal tujuh.
Mulai kemudian alasannya yaitu suka membaca, ketika SD itu saya bisa berkenalan dengan cara meminjam komik-komik Mahabarata. Dulu itu 48 jilid. Tamat saya baca. Dan itu Ramayana 36 jilid saya baca. Dan itu Mahabarata dan Ramayana yang benar dari kitabnya R.A. Kosasih. Saya tamat sudah. Bayangkan itu sudah kayak apa, sudah isi apa otak saya itu masih SD padahal itu. Tambah-tambah ketika saya Sekolah Menengah Pertama kan ke Kota Purwokerto, di Sekolah Menengah Pertama negeri 1 itu. Sekolah Menengah Pertama sisa zaman Belanda. Saya masih menemukan beberapa novel klasik ibarat Salah Asuhan, Azab dan Sengsara, masih sanggup dilihat di perpustakaan kemudian sanggup ditambah lagi berkenalan dengan guru, bahwasanya beliau guru gambar. Dia tidak menikah tapi suka sastra. Rumahnya kelewatan kalau pulang sekolah. Jadinya sering mampir. Makara saya Sekolah Menengah Pertama itu saya kira semua novel klasik sudah saya baca: Keluarga Gerilya, Dari Avemaria ke Jalan lainnya, semua tak baca di rumah orang itu. Pak Guru. PKI. Dan meletus tahun 1965, saya sudah SMA. Dia hilang. Jasanya besar sekali pada saya. Dari situ juga saya baca sastra kiri: Pramudya, Sitor Situmorang, terjemahan sastra-sastra kiri dari Amerika Latin saya baca di situ. Itu SMP, bayangkan! Sudah puluhan novel saya baca. Dulu mungkin ratusan. Tapi saya tetap kepengen jadi dokter. Sekolah Menengan Atas saya mulai membaca buku-buku terjemahan, ya sastra umumya, buku-buku populer, dari buku-buku psikologi, ekonomi, sejarah, saya baca. Ketika menulis RDP maupun yang lainnya, kelihatan itu kan. Resensinya kelihatan walaupun tidak disebutkan sumbernya. Kelihatan jejaknya. Makara saya sebetulnya diajari menjadi pengarang oleh ratusan orang yang bukunya saya baca itu. Berdiri secara tidak langsung. Kan gini, tadinya kenapa saya itu mulai intensif mengarang.
Saya masuk fakultas kedokteran tahun 1870. Terpaksa DO (Drop Out), alasannya yaitu ekonomi tidak mendukung. Adik saya ada delapan. Makara tidak mungkin, ego ya? Okelah saya berhenti. Saat itu saya mulai kebingungan mau apa. Makara sehabis di DO dari fakultas kedokteran gres mau nulis dan bisa segera terbit tahun 1971.
25. Di dalam RDP maupun OOP, Bapak selalu menceritakan wacana wayang, bagaimana hubungannya dengan pengalaman?
Saya menguasai wayang alasannya yaitu saya tadi membaca komik Ramayana dan Mahabarata. Secara fisik saya sering nonton wayang. Makara Si Rasus kan ketika berperang, Rasus kan di Kalimantan Barat melawan Paraku. Paraku itu tentara komunis Kalimantan, tapi itu disersi-disersi dari tentara kita. Makara ketika ia menembak musuh, ternyata malah itu orang Banyumas. Ketika saya bisa menembak saya merasa: prajurit Amarta yang mau membela negaranya, tapi yang saya bunuh orang Banyumas juga itu. Makara mulai resah juga saya ini. Dengan konsep Gatot Kacanya. Maksudnya begitu di RDP. Akhirnya beliau bilang: ah kalau begitu saya memang orang yang tidak berbakat jadi tentara alasannya yaitu terlalu lemah, terlalu berbelaskasihan sama orang.
Ketika di OOP ada wayang yang diharapkan politisasi cuma wayang yang ketika itu ada lakon Semar Kembar Tiga (yang dimaksud narasumber yaitu Gatotkaca Kembar Tiga—red). Ada yang berbaju merah itu PDI, yang hijau PPP, yang benar itu Semar yang berbaju kuning, tentu saja Golkar.
26. Latar OOP ada di sekitar Sungai Cibawor, apakah memang ada Sungai Cibawor itu?
Tidak ada. Tapi itu memperlihatkan wilayah Banyumas alasannya yaitu Bawor itu bisa dikatakan lambang Banyumas. Makara itu hanya untuk memperlihatkan bahwa setting yang dimaksud yaitu di Banyumas.
27. Bagaimana kalau latar RDP?
Iya Eling-eling Banyumas. Eling-eling kan lagu yang terkenal (di Banyumas—red).
28. Kalau latar Dawuan, itu bagaimana?
Kalau Dawuan itu nama umum, di mana-mana ada nama Dawuan. Ya bahwasanya begini Mas, dalam pandangan gres saya itu, RDP itu memang ada lokasinya. Lokasi yang menjadi acuan, walaupun tidak sepenuhnya sama. Itu daerahnya, ada suatu wilayah yang disebut, namanya Pekuncen. Pekuncen itu maksudnya yaitu tempat juru kunci alasannya yaitu di sana ada makam. Makam Banatuling alasannya yaitu makam itu sangat dihormati. Banatuling itu tokoh lokal yang sangat dihormati. Orang-orang itu kan masih berbeda dengan yang lain. Islam ya Islam, tapi masih ada kejawennya. Sekarang masih ada, walaupun mulai tererosi juga, alasannya yaitu banyak pemudanya yang keluar, ke Jakarta. Lama-lama ya akan hilang. Nah itu, kalau dari Pekuncen mau ke Pasar Jatilawang akan melewati gang panjang. Makara ibarat Dukuh Paruk. Mau keluar ke Dawuan itu kan mulai gang panjang. Tetapi ya kini sulit alasannya yaitu itu kan pelukisan tahun 1960-an di mana waktu itu di Pekuncen itu boleh dibilang tidak ada rumah yang beratap genteng. Semuanya beratap ilalang. Rumah saya pada tahun 1950 masih ilalang kok. Kalau kini dilacak kembali, sulit. Kecuali fisik makamnya tidak banyak berubah sama sekali alasannya yaitu di sana orang tidak berani menebang pohonnya, bahkan tidak berani membakar kayunya. Kalau ada ranting kering itu tidak berani dibakar.
29. Bagaimana pandangan Bapak wacana kearifan lokal?
Ya jadi itu dalam pengajian-pengajian itu saya sering mendengar bahwa yang namanya Nabi atau utusan itu kan ribuan. Ada yang menyampaikan 24 ribu, tetapi yang wajib diketahui oleh orang Islam hanya 25. Juga ada satu ayat yang menyampaikan setiap tahun pernah diberi satu utusan yang memberi jalan kebenaran. Kalau setiap tahun, tentu saja pengertian kita kaum Jawa pun pernah. Makanya tidak heran bila di Jawa pun ada keraifan-kearifan wacana kekuasaan tuhan bahwa adanya Sang Pencipta, adanya hukum-hukum yang teratur di alam, di dunia ini sudah pernah Tuhan memperlihatkan orang untuk memberi tahu kepada manusia. Juga memperlihatkan dan mengajarkan hukum-hukum. Misalnya hukum-hukum untuk hidup bersama. Hukum-hukum untuk menghormati air, aturan untuk membela kebenaran, alasannya yaitu paradigma kebenaran sudah diberikan ketika agama besar itu ada. Maka saya sangat menghargai kehidupan kearifan lokal yang berdasarkan keyakinan saya dari Tuhan kita juga. Yang dulu disampaikan dengan syariat yang belum ibarat kita sekarang. Maka orang Jawa di mana pun niscaya menghargai kebersamaan menghargai kebenaran. Mesti selalu kesalahan selalu ditolak.
Sebenarnya tidak ada kelokalan yang terpisah dari keuniversalan. Kearifan lokal itu sebetulnya pun bab dari kearifan universal. Pasti iya. Dengan syariat-syariat yang lokal bahwasanya kita orang Jawa tidak dibenarkan oleh tradisi untuk memotong pohon lebih dari satu kali setahun. Harus ganti tahun lagi, gres boleh, yaitu pada masa-masa tua.
Dulu, menjala ikan itu pada hari Senin dan Kamis. Lainnya tidak boleh. Itu kan kearifan lokal. Ternyata kini ternyata kebenarannya. Sekarang kan sudah over fish/ terlalu banyak ikan yang dijaring, di bahari maupun di sungai. Stok sudah sangat berkurang alasannya yaitu kita sudah meninggalkan kelokalan tersebut. Agama Islam tidak berkata ibarat itu to? Tapi apakah yang lokal itu salah? Buruk? Ya, tidaklah. Memang di dalam agama itu tidak ada istilah: kau di larang menjala ikan selain hari ini tau itu. Tapi kita bisa mengatur sendiri kearifan itu.
30. Akan tetapi, bagaimana bila hal-hal tersebut dihubungkan dengan mitos-mitos yang syirik?
Iya, saya juga suka menentang orang-orang ibarat itu. Brengsek! Merasa sok yang paling benar. Kamu tahu musuhnya syirik itu apa yang paling utama? (diri sendiri). Iya, jadi bukan duduk perkara keris atau apa ibarat itu. Makara ketika kita merasa menjadi objek yang mulia. Kamu kalau berhadapan dengan gelandangan merasa lebih mulia kan? Itu salah. Itu syirik. Kamu sudah mempertuhankan dirimu sendiri. Kembali ke Gus Dur. Gus Dur yaitu seorang yang sangat menjaga syahadatnya. Syahadat kan kesaksian “Tiada Tuhan selain Illah”” kompensasinya apa sih? Konsekuensi yang sempurna yaitu tunjukkan kau tidak meng”ïllahi”kan dirimu sendiri. Bukan kau mempertuhankan berhala. Iya, tapi itu nomor kesekian. Pertama yaitu apa kau mempertuhankan dirimu sendiri? Tidak. Nah, kemarin ketika Gus Dur meninggal, saya menulis di Jawa Pos Jawa Timur. Gus Dur tiba di sini, tidur di karpet. Padahal tahun 1995 posisinya ketua umum PBNU. Karpet saya kan karpet murahan yang tidak pernah disedot. Kemudian kenapa bisa begitu? Saya menafsirkan tindakan Gus Dur itu sebagai tindakan orang yang menjaga syahadatnya, yakni tidak menganggap dirinya mulia, alasannya yaitu hanya Tuhan yang tahu. Saya pikir ke belakang itu ya Kanjeng Nabi suka tidur di lantai rumahnya yang berlantai tanah, hanya beralaskan tikar daun kurma. Hingga ketika bangkit tidur ngecap itu lidi-lidinya. Hal itu ditangisi oleh sahabat-sahabatnya. Nabi yaitu orang yang paling menjaga syahadatnya. Tidak akan menghendaki kemuliaannya.
Masih ada satu lagi. Pernah mendengar kisah Umar bin Khattab? Umar Bin Khattab itu sudah Amirul mukminin, kemudian dilapori itu di sana ada janda sedang kelaparan sampai-sampai beliau merebus kerikil supaya anaknya diam. Ketika dilapori begitu, Umar Bin Khattab berangkat sendiri mengantarkan sumbangan untuk janda. Kenapa? Tafsiran saya ibarat itu, alasannya yaitu Umar menjaga syahadatnya sehingga tidak berani merasa lebih mulia dari seorang janda yang kelaparan. Syahadat membuat seseorang itu merasa tidak mulia. Merasa sama dengan orang lain. Tapi tidak boleh merasa lebih rendah. Hati-hati. Tidak boleh.
foto diambil dari: http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/tohari_files/image001.jpg
Buat lebih berguna, kongsi: