Oleh Andi Dwi Handoko
Malam ibarat biasa. Gelap dan setengah mengiba pada purnama untuk sekadar memberi cahaya. Perempuan itu duduk di atas dingklik ruang keluarga. Kursi kayu yang entah berapa tahun menghuni rumah itu. Televisi mati. Lampu temaram menciptakan eksotisme abstrak pada guraian rambut perempuan itu. Jam dinding seakan memberi irama stagnan pengantar malam. Suasana rumah sepi. Bahkan bunyi serangga malam enggan untuk menemani gelap malam. Sungguh malam yang teramat kejam menelan seorang perempuan yang sendiri dalam kesepian.
Perempuan itu masih dalam keheningan malam. Ia sedang menghayati malam. Menelan malam dan membuangnya dalam kenangan. Ia bernyanyi dalam keheningan malam. Nyanyian kesepian yang barangkali terhenti ketika pagi tiba. Dan mungkin akan terulang lagi di malam-malam berikutnya. Ia masih duduk dengan ketenangan tubuhnya. Sesekali ia menghela napas panjang. Kemudian membisu tak bergerak. Ada suatu yang menggelisahkan dirinya. Ia ingin beranjak duduk, namun tubuhnya serasa tidak berpengaruh untuk berjingkat. Ia ingin segera berlari meninggalkan malam.
Kegelisahannya memuncak ketika isak tangis keluar dari napasnya. Ada air mata dan desah napas yang terpenggal isak tangis. Ia ibarat tak kuasa untuk menahan beban berat yang ia rasakan untuk beberapa ketika lalu. Ia tak sanggup bercerita dengan siapapun di sana. Tidak ada orang lain. Ia hanya sendiri. Hanya bisa menangis dan tak bisa meratap. Hanya isak dan air mata. Itu saja. Barangkali bila ada seorang yang bisa mengajaknya bercerita, ia akan mencicipi ketenangan. Atau barangkali ia lebih bahagia untuk berbicara pada dirinya sendiri melalui air mata.
Dinding-dinding rumahnya seakan menjadi rekaman insiden akan dirinya. Dalam duduknya, perempuan itu sekilas melihat sebuah bayangan. Tampak absurd, semu, dan bias. Akan tetapi, ia bisa menetralisir ketidakjelasan itu menjadi bayangan yang sempurna. Ada anak kecil dihadapannya menari dengan langkah-langkah yang eksotis. Anak perempuan umur sekitar enam tahun. Wajahnya mungil dan manis. Anak perempuan itu menari balet. Meliuk-liukkan tubuhnya ibarat karet elastis. Tangannya diayun-ayunkan ibarat sayap burung camar meliuk-liuk di atas deru ombak. Anak kecil itu terus menari dan kemudian berhenti ketika melihat ada seorang perempuan remaja duduk menangis tanpa meratap dihadapannya.
Anak kecil itu tersenyum. Senyum yang sangat dingin. Sedingin udara di ruang itu. Senyum itu ia tujukan untuk perempuan remaja dihadapannya. Senyum itu ibarat memberi pertanyaan perihal “ mengapa kamu menangis?”. Senyum itu juga ibarat instruksi untuk perempuan remaja itu untuk menghentikan tangisnya. Senyum kecil itu ibarat senyum magis. Dingin dan memerindingkan bulu kuduk perempuan itu. Sejenak perempuan itu menahan isaknya. Menahan airmatanya dan mencoba mengatur irama napasnya yang tak beraturan. Perempuan itu menatap anak kecil di hadapannya. Mereka saling tatap. Tidak ada komunikasi verbal. Namun ada suatu hubungan komunikasi di antara dua mata yang sedang beradu tersebut. Barangkali telepati atau kontak batin.
Perempuan itu kemudian bangun dari duduknya dan mengulum senyum di mulutnya yang pucat. Perempuan remaja dan seorang anak kecil sama-sama berdiri di dalam ruang temaram. Tak ada kata yang terlontar. Tidak ada gerakan slow motion ibarat adegan-adegan yang sering ditemukan dalam film. Semua tampak alami, namun terasa magis. Ada suatu suasana yang sakral, entah dalam senyum itu, entah juga pada cuek udara di ruang itu. Sementara jam dinding terus mengalunkan irama stagnan. Perempuan itu mendekati anak kecil itu. Anak kecil itu tetap diam. Tangan perempuan itu ingin menjamah tubuh anak kecil itu. Kemudian bibir perempuan itu bergerak hendak mengucap sebuah kata atau kalimat. Namun napasnya masih saja belum teratur. Perempuan itu menggerakkan bibirnya lagi. Kali ini dengan iringan napas yang telah berat ditatanya. Ada sebuah kata terlontar dari lisan perempuan itu “Sayang!!”
Tiba-tiba senyum cuek anak kecil itu menghilang. Wajahnya tampak sayu dan ingin menangis. Dan tak selang berapa usang anak kecil itu membalikkan badan. Segera saja dengan kaki kecilnya ia berlari menjauhi ruang itu. Ia berlari dengan cepat. Seperti impulsif tanpa dorongan niat. Tanpa gerakkan lentur ibarat tarian balet. Anak kecil itu berlari meninggalkan perempuan yang sempat mengucapkan satu kata untuknya. Menuju sebuah pintu di ujung ruangan. Belum sempat perempuan itu mengejar, anak kecil itu sudah keluar melalui pintu dan menutup pintu itu dengan cepat. Ada ketakutan dalam benak perempuan itu. Barangkali anak kecil itu juga ketakutan ketika mendengar sebuah kata dari perempuan itu.
Perempuan itu menarik gagang pintu yang telah tertutup. Mencoba membuka pintu tersebut. Akan tetapi, sia-sia saja. Pintu itu tak bisa dibukanya. Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya dan bersandar pada daun pintu. Ia kembali menangis. Tangisnya hanya berbuah isak dan air mata. Sama sekali bukan ratapan. Ia menangis sunyi. Dan malam semakin bangun dalam kegelapan. Gelap malam selalu menelan tangis perempuan itu. Ya. Setiap malam perempuan itu selalu menangis. Barangkali ia sangat takut menghadapi malam yang tiba dalam siklus pergantian hari.
Ada sayat perih di hatinya. Tersungkur sendiri dalam ruang remang-remang dan sangat sepi. Sepi sekali. Lalu entah darimana tiba suara. Suara yang entah. Begitu memilukan dan menyayat hati. Bukan melodi Mozart atau alunan nada Kitaro. Suara itu sangat terasa menusuk-nusuk jantung hatinya. Barisan nada-nada minor merambat melalui gendang telinganya. Masuk ke dalam organ yang lebih dalam hingga masuk ke dalam arteri dan aorta, menyebar dalam darah. Menyayat setiap cabang urat syaraf. Berproses dalam dimensi ruang absurd. Serba entah dan memilukan. Semua hanya berujung pada isak dan airmata perempuan itu. Perempuan yang selalu menangisi malam.
Tiba-tiba saja, terdengar derit pintu. Pintu lain. Bukan pintu kawasan bersandar perempuan itu. Seorang lelaki masuk dalam ruangan. Lelaki dengan kemeja biru muda dan dasi yang sudah tidak rapi. Wajahnya kelihatan lelah, sayu, dan tampaknya kantuk telah mengganjal kedua kelopak matanya. Perempuan itu tak menyadari ada seorang lelaki yang masuk dalam ruangan tersebut. Perempuan itu tetap mengisak dan meneteskan bulir-bulir air mata.
Lelaki tersebut menghampirinya. Lelaki tersebut memegang tangannya, namun perempuan itu hanya menatap lelaki itu dengan pandangan kosong. Lelaki tersebut menggerakkan mulutnya dan sedikit menggerakkan kepalanya ke bawah—semacam anggukan. Barangkali berbisik sesuatu. Atau mungkin juga sebuah instruksi untuk perempuan itu. Lantas lelaki tersebut membopong perempuan itu. Masuk dalam sebuah kamar. Lampu dinyalakan. Lelaki tersebut membaringkan perempuan tersebut di atas ranjang. Perempuan itu masih mengisak dan meneteskan airmata. Ada kepiluan dan kesedihan yang juga dirasakan lelaki tersebut ketika menatap keadaan perempuan itu.
“Tidurlah Sarasvati..! Anak kita sudah tidur nyenyak dalam mimpinya. Ia sudah bermain riang dalam taman nirwana ditemani malaikat dan peri-peri kecil yang sangat baik. Tidurlah…tidur..!” lelaki itu berbisik ke indera pendengaran perempuan itu.
Lelaki itu meninggalkannya dan mematikan lampu kamar. Keluar dan menutup pintu. Perempuan itu tampaknya lebih tampak tenang. Ia berbaring miring di atas ranjang. Akan tetapi, ia masih saja menangis. Menangisi malam yang telah menghadiahkan keabadian mimpi taman nirwana bagi anaknya. Ia terus menangis tanpa ratapan gelap malam hingga lelah dan tertidur. Hampir subuh mungkin
Gambar dari: gallery-ancy9381.blogspot.com
Buat lebih berguna, kongsi: