Oleh: Andi Dwi Handoko
Abstract
The aims of this research are to describe: (1) connection the creation of intrinsic elements in novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk; (2) the writer world view in novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk; (3) society structure of novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk. This research is formed descriptive qualitative use genetic structuralism approach. The method that used is dialectic. Sample in this research was put with purposive sampling technique. Technique of collecting data use document analysis technique and interview. Technique of analysis data is flow model of analysis. Based on the result of this research can concluded: (1) finding connection the creation of intrinsic elements in novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk; (2) the writer world opinion Ahmad Tohari in novel Orang-orang Proyek dan trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk is humanism universal consist of religious opinion, artistry, social, culture, policies, economy, and moral value ; and (3) social structure in novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk divided to be two, that is government institution and religion with there homology between text structure and social structure in novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk.
Key words: genetic structuralism, world view, society structure.
A. Pendahuluan
Perkembangan sastra di Indonesia memperlihatkan angka positif. Sastra banyak diminati orang lantaran sastra bersifat dulce et utile, yakni berkhasiat dan menghibur. Sastra sanggup dijadikan sebagai sarana lisan dan rohani, bahkan sebagai sarana berekonomi. Tidak jarang ada seorang penulis sastra yang menggantungkan penghasilan hidupnya hanya dari menulis karya sastra. Perkembangan sastra memberi sinyal bahwa kehidupan seni bahasa masih mendapat perhatian di masyarakat. Perkembangan sastra ini mengacu pada aspek kuantitas dan kualitas.
Salah satu karya sastra yaitu novel. Sebuah novel memperlihatkan suatu citra luas terhadap pembacanya. Ruang luas dalam novel memungkinkan seseorang untuk menggali lebih dalam atas nilai-nilai dan informasi di dalam novel. Pengarang mempunyai pengalaman dan ilmu pengetahuan yang luas sebagai materi untuk mengarang novel.
Di tengah gencarnya arus budaya sastra populer, kini masih sanggup ditemukan novel yang memuat kritik sosial. Contoh novel yang sarat dengan nilai kritik sosial yaitu novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Kedua novel ini menceritakan masyarakat kecil yang tertindas oleh kesewenang-wenangan para penguasa. Bahasa yang lugas namun cerdas yang digunakan Ahmad Tohari menciptakan kedua novel tersebut gampang dipahami oleh pembaca awam..
Novel Orang-orang Proyek merepresentasikan lika-liku kehidupan orang-orang proyek pada masa Orde Baru. Novel ini menceritakan seorang insinyur berjulukan Kabul. Kabul diceritakan sebagai tokoh yang harus mempertahankan idealismenya di tengah-tengah masyarakat yang terbawa arus budaya pragmatisme Orde Baru. Praktik kerja pada Orde Baru cenderung membiasakan budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kabul mendapat sebuah proyek pembangunan jembatan. Akan tetapi, anggaran dana proyek yang seharusnya untuk membiayai proyek harus dipolitisasi dan dikebiri untuk urusan di luar proyek. Novel ini intinya berisi kritikan terhadap pemerintahan Orde Baru yang selalu membela kepentingan suatu golongan. Novel ini secara tidak pribadi juga mengkritik pemerintahan kini yang masih saja belum bebas dari budaya KKN.
Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk memakai latar tahun 1960-an. Latar tersebut memberi citra perihal sejarah komunis dan transisi Orde Lama ke Orde baru. Barangkali Ahmad Tohari ingin memberikan pengalaman pahit rakyat kecil yang tertindas di zaman itu. Di dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari memperlihatkan nilai-nilai perihal kebudayaan dan humanisme dengan lebih intens. Trilogi novel ini yaitu penyatuan tiga novel, yakni Catatan buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Trilogi novel ini menceritakan degradasi sosial yang di alami suatu dukuh yang berjulukan Dukuh Paruk dengan sentra pengisahan seorang ronggeng berjulukan Srintil. Srintil harus menjalani aneka macam problematika lantaran statusnya sebagai ronggeng dan tahanan politik. Selain itu, terdapat tokoh Rasus yang diceritakan sebagai anak Dukuh Paruk yang bersifat kritis. Ia meninggalkan Dukuh Paruk untuk mencari jati dirinya.
Kekuatan dari kedua novel tersebut yaitu kedekatan dongeng dengan realitas sejarah Indonesia. Penceritaan perihal sisi lain pemerintahan Orde Baru dan peralihan antara Orde Baru dengan Orde Lama merupakan refleksi pengarang sebagai subjek kolektif. Dengan demikian, Ahmad Tohari dikatakan menyerupai menyingkap tabir sejarah dengan caranya sendiri. Hal ini menguatkan bahwa sastra bukanlah karya fiktif tanpa realitas. Karya sastra yaitu rekaman sejarah dan fakta sosial yang dikemas dengan kreativitas pengarang. Oleh lantaran itu, karya sastra tetap mengandung bobot kebenaran yang nyata.
Beracuan pada alasan-alasan tersebut, peneliti ingin mengetahui (1) keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk; (2) pandangan dunia pengarang yang tercermin dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk; dan (3) struktur sosial novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk sesuai dengan pendekatan strukturalisme genetik.
B. Pendekatan dan Kajian Teori
Bentuk penelitian ini yaitu kualitatif deskriptif dengan pendekatan strukturalisme genetik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode dialektik lantaran pendekatannya yaitu strukturalisme genetik. Metode yang digunakan dalam strukturalisme genetik yaitu metode dialektik (Titik Maslikatin, 2003:23). Cara kerja metode ini yaitu dengan pemahaman bolak-balik dari struktur karya ke struktur masyarakat atau sebaliknya.
Strukturalisme genetik yaitu cabang penelitian sastra secara struktural yang tak murni (Suwardi Endraswara, 2003: 55). Maksud dari struktural yang tak murni yaitu penelitian ini tetap memakai kajian struktural otonom sebagai dasar kemudian dilanjutkan dengan aspek-aspek di luar karya sastra yang meliputi keadaan sosial yang turut membangun lahirnya karya sastra tersebut. Munculnya strukturalisme genetik merupakan reaksi atas struktural otonom yang hanya memandang otonomi karya sastra dan mengabaikan latar belakang sejarah.
Iswanto (2003: 59) memberi batasan perihal strukturalisme genetik sebagai sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan kausal. Strukturalisme genetik merupakan suatu disiplin yang menaruh perhatian kepada teks sastra dan latar belakang sosial budaya, serta subjek yang melahirkannya (Sangidu, 2004: 29). Nyoman Kutha Ratna (2009: 123) mendefinisikan bahwa strukturalisme genetik yaitu analisis struktur dengan memberi perhatian terhadap asal-usul karya. Dalam hal ini struktur mengacu pada struktur intrinsik dan ekstrinsik, namun masih ditopang oleh beberapa teori sosial menyerupai konsep homologi, struktur sosial, subjek kolektif, dan pandangan dunia.
Strukturalisme genetik merupakan campuran antara strukturalisme dengan Marxisme. Chennells (1993: 109) menjelaskan “marxism is a theory of social change which argues that social change is created through the interaction of the material realities of a society...”(“marxisme yaitu teori perihal perubahan sosial yang beropini bahwa perubahan sosial diciptakan melalui interaksi dari realitas material kehidupan masyarakat...”). Berangkat dari pengertian ini, strukturalisme genetik mengandung penelaahan-penelaahan karya sastra yang dihubungkan dengan kondisi sosial.
Strukturalisme genetik sebagai potongan dari strukturalisme memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra sebagai struktur. Oleh lantaran itu, perjuangan strukturalisme genetik untuk memahami karya sastra terarah pada perjuangan untuk menemukan struktur karya itu. Penjelasan di atas merupakan reduksi beberapa pemikiran dari Abrams, Alam Swingewood, dan Thomas Sebeok (dalam Jiwa Atmaja, 2009: 115) yang berturut-turut menyebut strukturalisme genetik sebagai kritik historian yang paling menonjol pada jalur Marxisme.
Penelitian strukturalisme genetik diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya penelitian dilakukan dengan menggabungkan aneka macam unsur intrinsik tersebut dengan realitas sosial budaya masyarakatnya. Karya sastra sebagai refleksi zaman sanggup mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi dan budaya. Peristiwa-peristiwa penting pada zamannya akan dihubungkan pribadi dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003: 56).
Peletak dasar strukturalisme genetik yaitu Taine. Taine menyatakan bahwa sastra tidak hanya sekadar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, melainkan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada dikala karya itu dilahirkan (Zainuddin Fananie, 2002: 117). Selanjutnya pendekatan strukuralisme genetik dikembangkan oleh Lucien Goldmann. Ia yaitu spesialis sastra Perancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang bisa merekonstruksi pandangan dunia pengarang. Pendekatan ini tidak menyerupai pendekatan Marxisme yang cenderung positivistik dan mengabaikan kelitereran sebuah karya sastra. Goldmann tetap berpijak pada strukturalisme lantaran ia memakai prinsip struktural yang dinafikan oleh pendekatan marxisme, hanya saja kelemahan pendekatan strukturalisme diperbaiki dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra (Iswanto, 2003: 60).
Faruk (1999: 12) menyatakan bahwa Goldmann percaya karya sastra merupakan sebuah struktur. Karya sastra tidak berdiri sendiri, melainkan banyak hal yang menyokongnya sehingga menjadi satu bangunan yang otonom. Akan tetapi, Goldmann tidak secara pribadi menghubungkan antara struktur teks dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain, yakni fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan klarifikasi (Faruk, 1999: 12).
Langkah pertama dalam penelitian ini yaitu analisis struktur karya sastra berdasarkan strukturalisme. Nugraheni Eko Wardani (2009: 183) menyebutkan bahwa strukturalisme memandang bahwa struktur karya sastra terdiri atas: tema, plot, setting, penokohan dan perwatakan, dan sudut pandang. Konsep struktur pada pendekatan strukturalisme genetik berpusat pada korelasi antartokoh yang menekankan tokoh pahlawan sebagai tokoh yang mengalami degradasi. Goldmann (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 55) menyatakan bahwa konsep strukturnya menitikberatkan pada korelasi antartokoh yang bersifat tematis. Langkah selanjutnya yaitu menganalisis pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia berdasarkan Goldmann (dalam Faruk, 1999: 16) yaitu istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial lain. Setelah menganalisis pandangan dunia, penelitian mengarah ke dalam analisis struktur sosial. Dalam hal ini, struktur sosial mengacu pada tataran institusi pemerintahan/politik dan institusi religi yang tercermin dalam novel Orang-orang Proyek (OOP) dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP).
C. Analisis dan Pembahasan
Di dalam analisis data ini, peneliti menganalisis novel Orang-orang Proyek dan kaitannya dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk memakai pendekatan strukturalisme genetik.
1. Keterjalinan Antarunsur Intrinsik Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Novel OOP dan RDP memperlihatkan suatu keterjalinan antarunsur intrinsik. Hal ini dibuktikan dengan keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lain. Unsur-unsur itu yaitu tema, penokohan, plot, latar, dan sudut pandang.
Tema dalam OOP dan RDP mendukung keseluruhan unsur intrinsik lantaran tema yaitu gagasan dasar yang melatari cerita. Ada lima tingkatan tema berdasarkan Shipley (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 80-81), yakni tema tingkat fisik, organik, sosial, egoik, dan divine. Tema dalam OOP dan RDP yaitu tema sosial jikalau dipandang dengan pembagian terstruktur mengenai tema berdasarkan Shipley.
Tema berafiliasi dengan penokohan lantaran tema membentuk karakter-karakter yang dimiliki setiap tokoh. Kabul sebagai sentra pengisahan dalam OOP yaitu tokoh yang memperjuangkan nilai-nilai humanisme/sosial. Kabul diceritakan menentang praktik korupsi, suap, pragmatisme, dan lain-lain yang pada kesudahannya menjadi kasus sosial yang merugikan masyarakat. Karakter Kabul terbentuk dari tema, begitu pula dengan tokoh lainnya. Pada dongeng RDP, ada Srintil dan Rasus. Tokoh-tokoh ini mewakili pemunculan kasus sosial dalam RDP. Srintil diceritakan sebagai ronggeng dan Rasus diceritakan sebagai cowok Dukuh Paruk yang tidak menyetujui praktik-praktik eksploitasi perempuan dalam peronggengan. Perbedaan pandangan antartokoh tersebut menguatkan adanya kasus pandangan sosial. Rasus juga diceritakan sebagai seorang yang menentang pembunuhan dan penahanan orang-orang komunis. Karakter Kabul, Rasus, dan Srintil terbentuk dari tema, begitu pula dengan tokoh lainnya. Tokoh-tokoh yang berada dalam jalinan dongeng OOP dan RDP saling berafiliasi dan saling memunculkan konflik. Konflik-konflik yang terjadi dalam dongeng menciptakan jalinan pada alur.
Konflik antartokoh dalam OOP dan RDP menghidupkan alur cerita. Dominasi alur dongeng pada OOP dan RDP yaitu alur lurus. Di beberapa potongan ada yang memakai alur flash-back, namun hal itu hanyalah pembayangan dongeng dari seorang tokoh. Selain itu, unsur-unsur tersebut juga didukung oleh latar. Unsur latar memberi penitikberatan pada penokohan dan mendukung terjadinya jalinan cerita/plot. Latar tempat, waktu, dan sosial memberi ruang penceritaan sehingga tokoh-tokoh sanggup saling berinteraksi. Latar memberi konteks dongeng sehingga mendukung dan menjalin unsur-unsur yang lain.
Unsur terakhir yang mendukung yaitu sudut pandang. Sudut pandang dalam OOP dan RDP yaitu omniscient narratif, yakni pengarang serba tahu dan sanggup menceritakan segalanya atau memasuki aneka macam kiprah secara bebas. Sudut pandang memberi bantuan bagi pengarang dalam menjalin semua unsur berdasarkan posisinya sebagai pengarang. Dengan demikian, unsur-unsur intrinsik yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang dalam OOP mempunyai keterjalinan dan saling mendukung satu dengan yang lain.
Keterjalinan antarunsur intrinsik dongeng OOP dan RDP diuji dengan aturan plot. Kenny (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 39) mengungkapkan bahwa aturan plot ada empat, yakni plausibility (kebolehjadian), surprise (kejutan), suspense (ketegangan), dan unity (kesatuan). Plausibility (kebolehjadian) memperlihatkan bahwa dongeng OOP dan RDP mempunyai kemungkinan terjadi di dunia nyata. Setiap potongan dongeng mempunyai kadar plausbility yang berbeda. Ada yang berkemungkinan besar dan berkemungkinan kecil. Cerita dibangun oleh konflik-konflik yang dimunculkan oleh tokoh-tokoh. Konflik ini sering hiperbolis dari kenyataan bantu-membantu sehingga konflik terasa sangat kuat dan tajam. Kekuatan dan ketajaman konflik ini yang menciptakan dongeng memilki plausibility yang tinggi.
Surprise (kejutan) memperlihatkan bahwa dongeng OOP dan RDP mengandung kejutan-kejutan bagi pembaca. Kejutan-kejutan tersebut menciptakan dongeng semakin berdaya tarik tinggi. Kejutan dalam OOP menyerupai dongeng dikala terjadinya iring-iringan kendaraan penerima kampanye GLM melewati jembatan Cibawor yang belum usang selesai dibangun. Banyak yang menduga jembatan tersebut akan amblas lantaran belum sepenuhnya kuat. Akan tetapi, dongeng memperlihatkan bahwa jembatan tersebut kuat dan tidak amblas. Walaupun demikian, pada simpulan cerita, pembaca dikejutkan dengan dongeng bahwa jembatan Cibawor rusak lantaran lantai jembatan amblas. Kejutan dalam RDP menyerupai dongeng malam bukak klambu bagi Srintil. Di dalam dongeng ada dua orang yang bersaing untuk memenangkan malam bukak klambu, yakni Sulam dan Dower. Orang yang berhak atas malam bukak klambu yaitu orang kaya, namun pengarang RDP justru memberi kejutan kepada pembaca. Ternyata yang mendapat malam bukak klambu yaitu Rasus. Surprise lainnya yaitu pada simpulan dongeng Srintil diceritakan menjadi gila lantaran dikhianati oleh Bajus. Padahal dari awal tidak ada indikasi-indikasi Srintil akan menjadi gila.
Suspense (tegangan) memperlihatkan bahwa dongeng OOP dan RDP mempunyai ketegangan dongeng yang memunculkan daya tarik tinggi bagi pembaca. Berbagai konflik yang dimunculkan pengarang menciptakan ketegangan dongeng menjadi kuat. Ketegangan tersebut menyerupai konflik antara Kabul dan Dalkijo. Konflik tersebut memperlihatkan ketegangan yang terjadi antara Kabul dan Dalkijo. Kabul ingin mengundurkan diri dari proyek lantaran mempertahankan idealismenya, sedangkan Dalkijo mengancam Kabul untuk tetap bertahan di proyek. Selain itu, ada juga konflik antara Kabul dan Kang Martasatang yang begitu menegangkan. Konflik yang menandai titik puncak yaitu konflik yang paling kuat, yakni ketika jembatan Cibawor yang belum usang selesai dibangun sudah digunakan untuk dilewati kendaraan-kendaraan berat pada ajang kampanye partai golongan. Keteganganpada RDP menyerupai dongeng dikala Srintil dinobatkan sebagai ronggeng pada upacara di dekat makam Ki Secamenggala. Ketegangan terjadi dikala dukun ronggeng, yakni Kartareja mendadak tidak sadarkan diri. Kartareja diduga dirasuki roh Ki Secamenggala dan memeluk Srintil dengan kuat sehingga Srintil sulit untuk bernapas. Ketegangan tersebut reda sesudah disiram air kembang oleh Nyai Kartareja.
Unity (kesatuan) memperlihatkan bahwa dongeng OOP dan RDP yaitu satu kesatuan utuh dan saling terkait. unsur-unsur dalam dongeng yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan cerita. Novel OOP yang dibagi menjadi lima potongan juga mengindikasikan bahwa lima potongan tersebut semuanya saling terkait dan membentuk satu kesatuan cerita. RDP juga memperlihatkan unity. Trilogi novel yang dibagi menjadi tiga buku juga mengindikasikan bahwa tiga potongan tersebut semuanya saling terkait dan membentuk satu kesatuan cerita. Berdasarkan aturan plot di atas, sanggup dikatakan bahwa OOP dan RDP mempunyai keterjalinan antarunsur intrinsik yang baik.
2. Pandangan Dunia Ahmad Tohari dalam Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) beropini bahwa karya sastra sebagai struktur bermakna mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Pengarang mempunyai pandangan terhadap masalah-masalah dalam lingkungannya. Pandangan tersebut sekaligus mewakili pandangan orang-orang yang berada dalam tatanan sosial kultural pengarang. Berikut yaitu pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP
1) Pandangan Religius
Ahmad Tohari yaitu seorang yang lahir di lingkungan pesantren. Sejak kecil ia telah dekat dengan kegiatan maupun pengetahuan agama. Walaupun demikian, Ahmad Tohari hidup di tengah-tengah masyarakat “abangan”. Orang-orang “abangan” yaitu orang yang berstatus agama Islam, namun masih terseret budaya kejawen. Orang-orang santri di lingkungannya yaitu minoritas. Ahmad Tohari sebagai penganut agama Islam sangat berpikir rasional. Ia tidak percaya adanya mitos-mitos yang mengarah ke animisme maupun dinamisme.
Permasalahan mitos dimunculkan Ahmad Tohari RDP. Ketidakpercayaan Ahmad Tohari terhadap mitos dalam RDP disampaikan melalui Rasus. Ada sebuah keganjilan dalam dongeng lantaran Rasus yaitu potongan dari masyarakat Dukuh Paruk yang tak mengenal pendidikan dan agama. Oleh alasannya yaitu itu, seharusnya Rasus mempercayai adanya mitos tersebut. Akan tetapi, Ahmad Tohari menceritakan lain. Rasus dikontradiksikan dengan pandangan masyarakat Dukuh Paruk. Hal itu merupakan siasat Ahmad Tohari untuk menyelipkan pesan kepada pembaca mengenai ketidakpercayaannya terhadap mitos.
Di dalam OOP, Ahmad Tohari mengulang soal mitos. Pandangan perihal mitos disampaikan melalui Pak Tarya. Pak Tarya dalam OOP lebih berposisi sebagai pemberi informasi. Pemikiran Pak Tarya pada OOP secara tidak pribadi sama dengan pemikiran Kabul yang tidak mempercayai mitos. Adapun pemikiran Pak Tarya mengenai mitos yaitu sebagai berikut.
“Yah, kita telah disadarkan bahwa ternyata kadar animisme di tengah masyarakat kita masih tidak mengecewakan tinggi. Dengarkan Mas kabul, orang sini percaya misalnya, jenazah yang hanyut di sungai bisa mencegah kelongsoran tebing.” (OOP: 132-133)
Di dalam OOP, Ahmad Tohari menuangkan pandangan mengenai agama secara lugas. Di dalam teks OOP, ada semacam riwayat atau dalil yang sengaja dihadirkan Ahmad Tohari. Riwayat tersebut berbunyi “Tidak diutus Kanjeng Nabi, kecuali untuk menyempurnakan adab manusia”. Riwayat inilah yang dijadikan kunci oleh Ahmad Tohari mengenai pandangannya soal agama. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Ahmad Tohari mengaktualisasikan agama bukan hanya sekadar sebagai simbol, namun lebih ke arah aktualisasi nilai agama yang berorentasi menjunjung harkat dan martabat manusia.
2) Pandangan Kesenian
Ahmad Tohari memandang kesenian sebagai salah satu potongan dari kehidupan masyarakat. Kesenian merupakan ejawantah sikap insan yang mempunyai rasa, cipta, dan karsa.
Ahmad Tohari menolak bentuk-bentuk politisasi kesenian. Pandangan Ahmad Tohari mengenai bentuk politisasi kesenian selalu terepetisi di setiap karyanya. Ada kemiripan penceritaan politisasi kesenian pada RDP dan OOP. Hal ini ditunjukkan dengan dua kutipan dongeng RDP dan OOP berikut.
Ternyata lagu-lagu itu semua sudah dihafal oleh dukun ronggeng itu. Hanya di sana-sini ada pergantian kata atau kalimat. Kartareja mencicipi keganjilan lantaran dalam lagu-lagu itu diselipkan kata "rakyat" dan "revolusi", kata-kata mana terasa kurang dekat dalam hatinya. (RDP: 179)
“Ya! Tapi jangan lupa, mintalah orang dinas kebudayaan mengubah pupuh-pupuh atau lirik nyanyian lengger. Sesuaikan kata-katanya dengan semangat Orde Baru. …” (OOP: 83)
Kedua kutipan yang diambil dari teks RDP dan OOP tersebut memperlihatkan adanya suatu kemiripan. Kemiripan tersebut mengacu pada bentuk atau cara yang digunakan tokoh dongeng untuk memolitisasi kesenian ronggeng/lengger. Politisasi dilakukan dengan cara mengganti bait-bait lagu yang akan dinyanyikan peronggeng/pelengger. Bait-bait lagu tersebut diganti dengan kata-kata politis. Kata-kata politis tersebut yaitu bentuk upaya mendukung kelompok-kelompok politik tertentu.
3) Pandangan Sosial
Ahmad Tohari yaitu sastrawan yang selalu memandang kasus sosial sebagai sentra inspirasi. Ia intens membahas tema-tema sosial dalam setiap karyanya. Ia tidak menyetujui adanya suatu tindakan yang menjadikan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Ia selalu berpihak pada rakyat kecil yang tertindas. Rakyat kecil yaitu sosok yang harus dibela dalam memperjuangkan hak-haknya. Ahmad Tohari menyatakan bahwa ia ingin memperlihatkan bantuan terciptanya masyarakat yang mapan dan sejahtera dengan menggarap tema sosial dalam setiap karyanya. Hal ini ditunjukkan dalam pernyataan Ahmad Tohari berikut.
“Dari awal, jadi begini. Hal itu berangkat dari komitmen saya untuk memperlihatkan bantuan bagi terciptanya masyarakat yang bermutu yang tatanan sosialnya itu adil, mapan, dan terciptanya rakyat yang diperhatikan hak-haknya.
Komitmen Ahmad Tohari sangat terang dalam memperjuangkan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Ia menganggap dengan menggarap tema sosial dalam karya-karyanya akan bisa memberi konstribusi pencerahan nilai sosial terhadap masyarakat luas. Pemasungan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh seseorang tidak dibenarkan dalam berkehidupan masyarakat. Di dalam RDP, nilai sosial digambarkan Ahmad Tohari dalam kutipan berikut.
Makin usang tinggal di luar tanah airku yang kecil, saya makin bisa menilai kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Kemelaratan di sana terpelihara secara lestari lantaran kebodohan dan kemalasan penghuninya. Mereka hanya puas menjadi buruh tani. Atau berladang singkong kecil-kecilan. Bila ada sedikit panen, minuman keras memasuki setiap pintu rumah. (RDP: 86)
Masalah sosial diceritakan Ahmad Tohari secara intens dalam OOP. Tema dalam OOP menyoroti perihal kasus sosial yang terjadi pada masa Orde Baru. Ketika sudah bertahun-tahun Indonesia merdeka, namun keadilan dalam masyarakat belum memperlihatkan prestasi yang positif. Di dalam OOP, Ahmad Tohari mendeskripsikan masyarakat kelas bawah. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan dongeng OOP berikut.
Mereka, bawah umur proyek itu, yaitu generasi yang malang. Kebanyakan mereka meninggalkan kursi sekolah sebelum waktunya untuk masuk ke pasar tenaga kerja demi perut. Dan di proyek ini mereka digaji terlalu kecil lantaran pos anggaran untuk honor tertekan oleh besarnya faktor X (OOP: 59).
Di dalam kutipan tersebut, Ahmad Tohari memberi pandangan bahwa konsep keadilan belum tercipta dalam masyarakat, terutama di masyarakat tingkat bawah. Kutipan di atas yaitu citra mengenai ketidakadilan dalam bidang pendidikan. Hak-hak pendidikan yang harus diterima oleh seorang anak harus hilang lantaran beban ekonomi. Selain itu, mereka tetap mendapat suatu ketidakadilan soal upah di daerah bekerja.
4) Pandangan Budaya
Budaya selalu mengalami pergeseran, entah dalam bentuk fisik maupun fungsi. Inilah yang menjadi sorotan Ahmad Tohari. Ia memandang kultur budaya mengalami pergeseran lantaran sejarah. Sejarah telah menciptakan dominasi atas kepentingan-kepentingan tertentu hingga menciptakan pola pikir suatu masyarakat berubah. Perubahan masyarakat yaitu perubahan sejarah. Kebudayaan sebagai salah satu potongan sejarah tidak tidak mungkin untuk mengalami perubahan. Pandangan Ahmad Tohari mengenai perubahan budaya dalam RDP memperlihatkan adanya deteriorasi sistem tradisi kultural Dukuh Paruk. Deteriorasi ini dipandang dalam perspektif naturalisme Dukuh Paruk dan bukan dalam perspektif modernitas. Akan tetapi, hal ini yaitu kunci untuk membuka sistem sosial di Dukuh Paruk untuk menuju ke arah kebudayaan plural dan terbuka. Hal ini terlihat dalam kutipan bahwa Dukuh Paruk mulai dimasuki kultur luar. Di sana mulai ada pembangunan, alat komunikasi (radio), dan orang-orang luar yang dinilai mempunyai wawasan yang lebih maju masuk ke dalam Dukuh Paruk. Egoisme masyarakat Dukuh Paruk yang dulu sangat menjunjung tinggi etika dan tradisi mulai luntur tererosi oleh budaya baru.
Ironisme budaya sosial ditunjukkan Ahmad Tohari dalam OOP. Modernisasi dan globalisasi telah mengubah cara pikir dan kultur masyarakat. Masyarakat menuruti arus modernisasi dan globalisasi di segala arah. Mereka lebih banyak tidak memperhatikan kearifan sebagai insan yang telah dianut sebagian besar masyarakat. Tuntutan kemajuan budaya menciptakan masyarakat dituntut untuk mengejarnya dengan segala cara.
5) Pandangan Politik
Ahmad Tohari intens menggarap tema-tema politik pada masa Orde Baru. Orde Baru dipandang Ahmad Tohari sebagai pemerintahan tidak demokratif. Orde Baru yaitu orde ketika Soeharto berkuasa. Ahmad Tohari memandang bahwa konsep kekuasaan yang dijalankan Soeharto menggandakan konsep kerajaan Mataram. Jika pada masa kerajaan Mataram ada upeti dari tingkat bawah hingga ke atas, pada masa pemerintahan Orde Baru menerapkan hal yang sama. Oleh lantaran itu, korupsi menjadi budaya ketika Orde Baru berlangsung.
Tragedi politik tahun 1965 dan 1966 sangat memengaruhi penciptaan karya-karya Ahmad Tohari, terutama pada trilogi novel RDP. Realitas sejarah pada masa itu telah memberi banyak pandangan bagi Ahmad Tohari. Ahmad Tohari merepresentasikan korban bencana politik masa itu melalui Srintil. Srintil dianggap komunis lantaran ia diajak terlibat dalam rapat-rapat propaganda komunis. Srintil tidak mengetahui perihal komunis, ia hanya tiba rapat lantaran ia disuruh meronggeng. Srintil hanya tahu soal pentas ronggeng dan tidak mengetahui politik. Ia diperalat oleh orang-orang komunis. Srintil dicap komunis dan secara tidak pribadi Dukuh Paruk pun mendapat cap tersebut.
Ada kemiripan penceritaan di dalam RDP dan OOP mengenai komunis dan labelisasi tidak higienis lingkungan. Labelisasi tidak higienis lingkungan digunakan untuk mengancam seseorang biar tunduk dalam kekuasaan orang yang mengancam. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan-kutipan berikut.
"Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau berdasarkan akan saya kembalikan kau ke rumah tahanan. Kamu kira saya tidak bisa melakukannya?" (RDP: 383)
“Baik. Tapi anda akan saya laporkan ke atas. Saya akan cari data jangan-jangan Anda tidak higienis lingkungan. Sebab indikatornya mulai jelas. Masa iya dimintai dukungan untuk pembangunan masjid Anda banyak berkelit. Cukup. Selamat malam. Dan selanjutnya mungkin anda tidak bisa mendapat proyek lagi. Atau Dalkijo akan memecat Anda” (OOP: 142)
Kutipan tersebut memperlihatkan labelisasi tidak higienis lingkungan mempunyai daya kuasa untuk memaksa, menekan, memengaruhi, bahkan menahan seseorang. Hal ini menekankan bahwa pemerintah Orde Baru sangat diktatorial menumpas paham komunis. Komunis dianggap sebagai paham yang harus dibinasakan dari bumi Indonesia. Akan tetapi, kasus perihal labelisasi orang tidak higienis lingkungan mulai pudar sesudah periode reformasi.
6) Pandangan Ekonomi
Ahmad Tohari menilai kapitalisme merugikan perekonomian masyarakat menengah ke bawah. Kapitalisme semakin menguat lantaran pemerintah tidak profesional dalam menanganinya. Ahmad Tohari menambahkan bahwa intinya konsep kapitalisme tidak sepenuhnya buruk, namun praktiknya sering merugikan masyarakat kecil.
Ahmad Tohari memandang arus modernitas dan globalisasi memacu masyarakat untuk berperilaku konsumtif. Perilaku konsumtif cenderung dilakukan oleh masyarakat menengah ke atas. Masyarakat kecil cenderung meminimalkan konsumsi lantaran keterbatasannya. Perilaku konsumtif juga didukung budaya feodal dan pragmatis sehingga sikap ini lebih mengacu pada kehidupan orang-orang yang dianggap sebagai priayi.
Kesenjangan sosial yaitu dampak nyata dari tidak meratanya perekonomian yang dijalankan pemerintah. Kelompok-kelompok bermodal justru mendominasi perekonomian dan semakin menyingkirkan masyarakat kecil. Masyarakat kecil hanya hidup sebagai pekerja kasar, buruh, petani, dan lain-lain yang kehidupan ekonominya tetap stagnan bahkan semakin terpuruk.
7) Pandangan Nilai Moral
Pandangan Ahmad Tohari mengenai nilai moral direpresentasikan melalui tokoh-tokoh dalam dongeng RDP dan OOP. Rasus yaitu tokoh dalam dongeng RDP yang diciptakan Ahmad Tohari untuk mewakili konsep idealisme. Rasus diceritakan sebagai seorang yang keras terhadap keyakinan pada dirinya. Idealisme tampak pada Rasus ketika ia tidak oke dengan adanya pelaksanaan tradisi bukak klambu, mitos-mitos yang dipercaya oleh masyarakat Dukuh Paruk, dan ketidakadilan sanksi pada orang-orang yang dianggap komunis sesudah kejadian politik tahun 1965. Selain itu, idealisme Rasus tampak pada kecintaannya terhadap Dukuh Paruk. Ia menginginkan biar Dukuh Paruk mempunyai kehidupan sosial yang lebih baik.
Pandangan Ahmad Tohari mengenai idealisme direpresentasikan melalui Kabul dalam dongeng OOP. Kabul yaitu tokoh dongeng OOP yang selalu memegang teguh idealismenya sebagai insinyur. Seseorang yang idealis mengutamakan kejujuran hatinya. Kabul tidak terpengaruh kekuasaan, tekanan-tekanan, pemaksaan, dan lain-lain dalam mempertahankan idealismenya.
Deskripsi mengenai pandangan dunia Ahmad Tohari di atas menyimpulkan bahwa Ahmad Tohari mempunyai aneka macam sudut pandang mengenai masalah-masalah dalam OOP dan RDP. Ada keterkaitan mengenai pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP. Tujuh kategori pandangan dunia yang dianalisis dan dibahas pada potongan sebelumnya selalu muncul dalam OOP dan RDP. Pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP jikalau dikerucutkan selalu menyinggung kasus humanisme. Pandangan humanisme Ahmad Tohari bersifat universal. Pandangan tersebut tidak hanya menyentuh satu kasus saja. Akan tetapi, pandangan dunia tersebut menyentuh aneka macam lini kehidupan mulai dari kasus religius, kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan nilai moral. Hal ini tidak terlepas dari niat Ahmad Tohari untuk memberi bantuan pada masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang tatanan sosialnya baik dan berkualitas. Berdasarkan pembahasan pandangan dunia di atas, disimpulkan bahwa ada keterkaitan pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP. Pandangan dunia tersebut mengerucut pada pandangan humanisme universal.
3. Struktur Sosial Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Struktur sosial merupakan unsur genetik penciptaan karya sastra (Nugraheni Eko Wardani, 2009: 56). kondisi sosial terlihat terang pada OOP dan RDP. Analisis struktur sosial OOP dan RDP menekankan pada dua institusi, yakni pemerintahan dan religi.
1) Institusi Pemerintahan
Latar dongeng OOP memperlihatkan pada masa Orde Baru, yakni pada tahun 1991. Latar dongeng RDP memperlihatkan peristiwa-peristiwa pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Berdasarkan klarifikasi tersebut, potongan ini disampaikan deskripsi kondisi perpolitikan pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
a) Orde Lama
Orde Lama yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh Sukarno. Orde Lama tercermin dalam alur dongeng RDP. Gambaran Orde Lama dalam RDP terutama dikala masa simpulan Orde Lama, yakni dikala berlakunya Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Hal ini tampak pada pembahasan mengenai unsur latar waktu pada potongan sebelumnya, yakni latar waktu kejadian dongeng RDP banyak terjadi pada tahun 1960 hingga dengan tahun 1965.
Pada masa Demokrasi Terpimpin muncul ketegangan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tentara Nasional Indonesia sebagai golongan fungsional harus menghadapi kasus yang rumit lantaran pada satu sisi Tentara Nasional Indonesia harus berpegang teguh pada Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, namun di sisi lain harus menghadapi aneka macam intimidasi dan dominasi PKI (Arif Yulianto, 2002: 230). Jadi, pada waktu itu ada kekuatan besar yang sedang berseteru di bawah pimpinan Presiden Sukarno.
PKI dan Tentara Nasional Indonesia menciptakan aneka macam kebijakan untuk memperlihatkan dominasi mereka di dalam kancah perpolitikan pada masa Demokrasi Terpimpin. PKI menciptakan organisasi-organisasi di beberapa bidang dan Tentara Nasional Indonesia pun menciptakan organisasi-organisasi untuk menandingi PKI. Di dalam bidang budaya, PKI membentuk sebuah forum berjulukan Lembaga Kebudayaan Daerah (Lekra). Lekra bekerja di bidang kebudayaan dan kesenian. Lekra bertujuan menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya. Lekra berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa dipisahkan dari rakyat.
Lekra dibuat sebagai alat propaganda politik PKI. Kesenian dan kebudayaan dalam masyarakat dinilai strategis untuk mengembangkan paham-paham komunis. Berbagai macam seni dijadikan sarana berpolitik sebagai representasi kebudayaan rakyat. Bentuk kesenian tersebut antara lain: wayang, sastra, kethoprak, lengger (ronggeng), dan lain-lain. Di dalam RDP, disinggung mengenai praktik-praktik yang digencarkan Lekra. Hal tersebut ditunjukkan dalam dongeng RDP ketika Srintil disuruh untuk pentas dalam rapat-rapat propaganda PKI. Cerita tersebut yaitu representasi dari tindakan-tindakan yang dilakukan para pelopor Lekra. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ahmad Tohari berikut.
“Mengapa trilogi ini saya tulis dengan mengambil latar kehidupan peronggengan di Dukuh Paruk? Karena ada pengalaman nyata di tahun 1965 semua kelompok ronggeng yang dianggap dari Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat yang komunis) tidak boleh pentas. Dan kebanyakan para seniman ditahan.” (Wijang J. Riyanto, dkk., 2006: 42)
Politisasi kesenian ini representasikan Ahmad Tohari dalam dongeng RDP. Berikut yaitu kutipan dongeng RDP yang mendukung pernyataan tersebut.
lagu-lagu itu semua sudah dihafal oleh dukun ronggeng itu. Hanya di sana-sini ada pergantian kata atau kalimat. Kartareja mencicipi keganjilan lantaran dalam lagu-lagu itu diselipkan kata "rakyat" dan "revolusi", kata-kata mana terasa kurang dekat dalam hatinya. (RDP: 179)
Pada tanggal 30 September 1965, ketegangan antara PKI dan Tentara Nasional Indonesia memuncak dan menjadikan malapetaka yang dahsyat bagi masyarakat Indonesia. PKI melaksanakan pemberontakan terhadap pemerintah. Pemberontakan tersebut disebut sebagai Gerakan 30 September 1965 (Gestapu). Gerakan tersebut berlanjut pada hari berikutnya, yakni 1 Oktobers 1965 sehingga disebut Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok). Gerakan tersebut melaksanakan agresi dengan cara menculik dan membunuh tujuh perwira tinggi TNI. Kemarahan di badan Tentara Nasional Indonesia memuncak akhir kejadian tersebut. Tentara Nasional Indonesia membalasnya dengan menculik dan membinasakan orang-orang komunis. Jadi, orang-orang yang ikut dalam PKI termasuk pelopor Lekra ditahan dan dibunuh. Ada juga yang diasingkan ke sebuah daerah terpencil, menyerupai pulau Buru.
Realitas mengenai Gestapu dan Gestok di atas diungkap Ahmad Tohari dalam dongeng RDP. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan dongeng RDP berikut.
Dua ahad yang jor-joran, sarat dengan pemberontakan budaya. Tayub yang secara resmi tidak boleh pemerintah, pada pasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena…Sampailah hari pertama bulan Oktober. Hari pertama yang disusul hari-hari berikutnya, suatu masa yang tidak bisa dimengerti oleh siapa pun di Dukuh Paruk. Tiba-tiba mereka mencicipi kehidupan menjadi gagudan limbung. (RDP: 237)
Pemberontakan yang disebut sebagai Gestapu dan Gestok kesudahannya sanggup dikendalikan Mayor Jenderal Soeharto yang pada dikala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Soeharto dinilai sebagai seorang pahlawan yang berjasa dalam penumpasan Gestapu dan Gestok. Keberhasilan Soeharto memimpin Tentara Nasional Indonesia AD dalam menumpas Gestapu dan Gestok kuat terhadap arah peta politik Indonesia. Walaupun demikian, kebijakan Soeharto untuk menumpas orang-orang komunis yaitu suatu hal yang sangat tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Pemberantasan orang-orang yang dianggap komunis diceritakan oleh Ahmad Tohari dalam RDP. Cerita ini yaitu representasi dari tindakan Soeharto pada masa simpulan Orde Lama. Rumah-rumah orang-orang komunis dibakar dan orang-orang yang dianggap komunis diangkut dengan truk dan dibawa ke suatu daerah untuk diasingkan atau dibunuh. Berikut yaitu kutipan dongeng RDP yang sesuai dengan klarifikasi di atas.
Tengah malam Februari 1966 di sebuah kota kecil di sudut tenggara Jawa Tengah. Kegelapan yang mencekam telah berlangsung setengah tahun lamanya. Tak ada orang keluar sesudah matahari terbenam kecuali para petugas keamanan: tentara, polisi, dan para militer. Tembakan bedil masih terdengar satu-dua di kejauhan. Dan kadang cakrawala malam bernoda merah, ada rumah yang dibakar. ada deru truk berhenti disusul bunyi langkah sepatu yang berat, kemudian berangkat lagi. (RDP: 247)
b) Orde Baru
Orde Baru menandai berakhirnya pemerintahan Orde Lama. Peristiwa Gestapu dan Gestok telah menciderai pemerintahan Sukarno. Pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh Presiden Sukarno mengalami kemunduran. Masyarakat dan mahasiswa melaksanakan demonstrasi-demonstrasi mengkritik pemerintah. Pada tanggal 10 Januari 1966 muncul tiga tuntutan dari mahasiswa yang disebut sebagai Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Isi Tritura adalah: (1) bubarkan PKI; (2) turunkan harga; dan (3) bubarkan Kabinet Dwikora.
Pada tanggal 11 Maret 1966 muncul Supersemar. Presiden Sukarno memberi mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala kebijakan yang dianggap perlu untuk menjaga stabilitas keamanan nasional. Surat perintah tersebut dinamakan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) lantaran diberikan pada tanggal 11 Maret. Supersemar mengawali langkah pertama Soeharto untuk naik tahta menjadi presiden. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat menjadi presiden Republik Indonesia secara penuh berdasarkan Ketetapan No. XLIV/MPRS/1968 (Arif Yulianto, 2002: 247).
Pemerintahan Orde Baru tercermin dalam dongeng RDP potongan simpulan dan semua dongeng OOP. Di dalam RDP, yakni pada potongan Jantera Bianglala, diceritakan ada pembangunan susukan irigasi di Dukuh Paruk. Berikut yaitu kutipan dongeng yang memperlihatkan pernyataan tersebut.
Bajus dan teman-temannya dikirim pribadi dari Jakarta untuk mengawali pembangunan sebuah bendungan yang akan mengairi dua ribu lima ratus hektar sawah yang sebagian besar terletak di kecamatan Dawuan.(RDP:308)
Hal itu yaitu representasi pemerintahan Orde Baru yang sedang giat-giatnya membangun negeri. Pemerintahan Orde Baru disebut sebagai periode pembangunan sehingga Soeharto dijuluki sebagai “Bapak Pembangunan”. Pada dongeng OOP, representasi Orde Baru lebih menekankan pada alat politik Orde Baru, yakni Golkar. Nama Golkar diubah menjadi Golongan Lestari Menang (GLM). GLM diceritakan sebagai partai golongan penguasa yang sangat berkuasa. GLM meliputi aneka macam aspek struktur masyarakat bahkan pegawai negeri dan ABRI. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan dongeng OOP berikut.
Memang ya. Karena, sistem kekuasaan di bawah Golongan Lestari Menang, GLM, menempatkan jajaran perangkat desa dan kelurahan seluruh Indonesia menjadi onderbouw mereka. Jajaran perangkat desa yaitu satu di antara tiga pilar penopang GLM. Dua pilar lain yaitu birokrasi pegawai negeri dan ABRI. Maka, suka atau tidak, Kades menyerupai Basar sudah tercantum sebagai kader Golongan Lestari Menang. (OOP: 84)
Keberadaan PPP, Golkar, dan PDI direpresentasikan Ahmad Tohari dalam dongeng OOP. Golkar diceritakan sebagai partai golongan yang sangat berkuasa. Deskripsi mengenai partai-partai tersebut dianalogikan oleh Ahmad Tohari dengan sosok wayang, yakni Gatotkaca. Berikut yaitu data kutipan dongeng OOP yang memperlihatkan pernyataan tersebut.
“Eh, di masa pembangunan, semua dalang harus kreatif mencipta lakon yang bersemangat Orde Baru. Dan Gatotkaca Kembar Tiga menceritakan ada tiga Gatotkaca. Yang satu ber-kampuh warna hijau, satu lagi ber-kampuh warna merah, dan yang lain ber-kampuh warna lambang GLM. Dan simpulan dongeng membuktikan, sang Gatotkaca yang ber-kampuh warna GLM-lah yang asli. Lainnya palsu dan kerjanya bikin kacau negara.” (OOP: 82)
Orde Baru yaitu suatu orde pemerintahan yang dinilai sarat kegiatan korupsi. Korupsi merajalela di segala aspek dan bidang. Sebenarnya ada upaya dari pemerintah untuk menumpas korupsi, namun upaya tersebut tidak menghasilkan sesuatu yang sanggup dibanggakan. Amin Rahayu (2005) menyatakan bahwa pidato kenegaraan Presiden Soeharto di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967 memberi isyarat bahwa ia bertekad untuk membasmi korupsi di Indonesia hingga ke akar-akarnya. Wujud dari tekad itu yaitu pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Pada tahun 1970 muncul protes dari mahasiswa mengenai kinerja TPK yang dinilai kurang bisa memberantas korupsi. Amin Rahayu lebih lanjut menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan negara menyerupai Bulog, Pertamina, dan Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat lantaran dianggap sarang korupsi.
Cerita OOP juga membahas mengenai praktik korupsi di Indonesia. Korupsi yang membudaya pada masa Orde Baru dijadikan salah satu unsur pembangun dongeng oleh Ahmad Tohari dalam OOP. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan dongeng OOP berikut.
Maka, apakah kata “korupsi” dikenal dalam sistem kekuasaan kerajaan? Tidak. Karena bumi, air, udara, dan kekayaan yang terkandung serta insan yang hidup di atasnya yaitu milik raja dan para pembantunya. “Korupsi” hanya ada pada kamus negara republik. Tapi republik belum pernah tegak di negeri ini. (OOP: 149)
2) Institusi Religi
Institusi religi berkaitan dengan kepercayaan supranatural yang diwujudkan dengan praktik-praktik simbolik peribadatan. Indonesia yaitu negara yang ikut mengurusi kehidupan beragama masyarakatnya. Oleh lantaran itu, hak dan kebebasan untuk memeluk agama diatur dalam undang-undang. Setiap orang mempunyai kebebasan dan hak untuk beragama. Di lain sisi, adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu juga diakui keberadaannya oleh negara.
Di dalam RDP dan OOP, ada dongeng mengenai mitos yang mengacu pada animisme. Animisme yang dianut masyarakat termasuk dalam tataran institusi religi. Selain itu, diungkapkan ajaran-ajaran Islam walau tidak secara eksplisit ditunjukkan dalam teks. RDP dan OOP merepresentasikan masyarakat Jawa. Oleh lantaran itu, ada pengungkapan mengenai religiositas masyarakat Jawa. Animisme dalam dongeng RDP dan OOP ditunjukkan dengan kutipan dongeng berikut.
Cerita yang kumaksud yaitu sebagian dongeng yang hanya dimiliki oleh Dukuh Paruk. Konon berdasarkan dongeng tersebut pernah terjadi sepasang insan mati di pekuburan itu dalam keadaan tidak senonoh. Mereka kena kutuk sesudah berjinah di atas makam Ki Secamenggala. Semua orang Dukuh Paruk percaya penuh akan kebenaran dongeng itu. Kecuali saya yang meragukannya dan mencurigainya hanya sebagai salah satu perjuangan melestarikan keangkeran makam moyang orang Dukuh Paruk itu. (RDP: 68)
“Yah, kita telah disadarkan bahwa ternyata kadar animisme di tengah masyarakat kita masih tidak mengecewakan tinggi. Dengarkan Mas kabul, orang sini percaya misalnya, jenazah yang hanyut di sungai bisa mencegah kelongsoran tebing.” (OOP: 132-133)
Mayoritas penduduk Indonesia―khususnya Jawa―memeluk agama Islam. Institusi religi masyarakat Jawa dibagi menjadi dua, yakni santri dan “abangan”. Santri yaitu orang Islam yang taat menjalankan ibadah, sedangkan “abangan” yaitu orang-orang Islam yang masih memegang kuat tradisi kejawen. Santri dan “abangan” berbaur menjadi satu dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Ahmad Tohari digolongkan dalam masyarakat santri. Lingkungan keluarga Ahmad Tohari yaitu lingkungan santri. Ia sudah dekat dengan lingkungan santri semenjak kecil. Ayah Ahmad Tohari yaitu ketua Nahdatul Ulama (NU) tingkat kecamatan yang sekaligus bekerja sebagai pegawai Kantor Urusan Agama (KUA). Kesantrian keluarga Ahmad Tohari dimulai semenjak generasi ayahnya.
Masyarakat “abangan” masih mempercayai adat-adat kejawen yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Mereka beribadah selayaknya orang Islam, namun di sisi lain mereka masih melaksanakan ritual-ritual kejawen. Ritual tersebut menyerupai menyimpan pusaka, mengeramatkan suatu tempat, percaya sesajen, dan lain-lain. Bentuk kebudayaan dan kesenian masyarakat “abangan” menyerupai wayang, lengger (ronggeng), kuda lumping, debus, dan lain-lain.
Ahmad Tohari hidup di pinggiran Jawa Tengah, tepatnya di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Ahmad Tohari hidup dalam lingkungan keluarga santri, namun masyarakat di sekitar lingkungannya mayoritas yaitu masyarakat “abangan”. Jadi, kaum santri yaitu kaum yang minoritas di desa Ahmad Tohari. Masyarakat “abangan” di desa Ahmad Tohari mayoritas masih buta karakter dan hidup bertani di ladang atau sawah yang kurang subur. Ahmad Tohari tidak selalu hidup di lingkungannya sendiri. Ia ikut berbaur bersama masyarakat “abangan” di desanya sehingga ia mengenal ritual-ritual kejawen, bahkan pertunjukkan ronggeng.
Berdasarkan pembahasan mengenai struktur sosial, novel OOP dan RDP mempunyai homologi atau persamaan dengan realitas sosial di masyarakat. Jadi, sanggup disimpulkan bahwa ada homologi antara struktur teks novel dan struktur sosial yang turut mengondisikan jalinan cerita.
D. Simpulan dan Saran
Ada keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Pandangan dunia Ahmad Tohari dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yaitu pandangan humanisme universal yang terdiri dari pandangan religius, kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan nilai moral. Institusi pemerintahan dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk memperlihatkan struktur sosial pada masa transisi Orde Lama dan Orde baru, sedangkan pada novel Orang-orang Proyek memperlihatkan struktur sosial pada pertengahan Orde Baru. Institusi religi memperlihatkan struktur religi masyarakat Jawa dibagi menjadi dua golongan, yakni santri dan “abangan”. Ada kaitan dan homologi antara struktur teks dan struktur sosial dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Pembaca sebaiknya mengimplementasikan nilai-nilai positif dalam karya sastra yang telah dibacanya dalam berperilaku di masyarakat. Nilai-nilai positif dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, menyerupai sikap memperjuangkan nilai-nilai humanisme, tidak mempercayai mitos, dan mempertahankan idealisme. Novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yaitu materi bacaan sastra yang berkualitas sehingga masyarakat disarankan untuk membacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tohari. 2007. Orang-orang Proyek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
________. 2009. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Amin Rahayu. 2005. ”Sejarah Korupsi di Indonesia” dalam http://swaramuslim.net/siyasah/more.php?id=2222_0_6_0_M.
Arif Yulianto. 2002. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Chennells, A.J. 1993. “Marxist and Pan-Africanist Literary Theories and a Sociology of Zimbabwean Literature”. Zambezia, XX (ii), 128-129.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik hingga Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Iswanto. 2003. “Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik” dalam Metodologi Penelitian Sastra (Jabrohim, ed.). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Jiwa Atmaja. 2009. Kritik Sastra Kiri. Bali: Udayana Univesity Press.
Nugraheni Eko Wardani. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Nyoman Kutha Ratna. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat.
Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistimologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: FBS UNY.
Titik Maslikatin. 2003. “Belenggu Karya Armijn Pane: Kajian Strukturalisme Genetik”. Jurnal Argapura. 23, No. 1: 1-20.
Wijang J. Riyanto, dkk. 2006. Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk. Surakarta: Taman Budaya Jawa Tengah
Zainuddin Fananie. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Abstract
The aims of this research are to describe: (1) connection the creation of intrinsic elements in novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk; (2) the writer world view in novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk; (3) society structure of novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk. This research is formed descriptive qualitative use genetic structuralism approach. The method that used is dialectic. Sample in this research was put with purposive sampling technique. Technique of collecting data use document analysis technique and interview. Technique of analysis data is flow model of analysis. Based on the result of this research can concluded: (1) finding connection the creation of intrinsic elements in novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk; (2) the writer world opinion Ahmad Tohari in novel Orang-orang Proyek dan trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk is humanism universal consist of religious opinion, artistry, social, culture, policies, economy, and moral value ; and (3) social structure in novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk divided to be two, that is government institution and religion with there homology between text structure and social structure in novel Orang-orang Proyek and novel trilogy of Ronggeng Dukuh Paruk.
Key words: genetic structuralism, world view, society structure.
A. Pendahuluan
Perkembangan sastra di Indonesia memperlihatkan angka positif. Sastra banyak diminati orang lantaran sastra bersifat dulce et utile, yakni berkhasiat dan menghibur. Sastra sanggup dijadikan sebagai sarana lisan dan rohani, bahkan sebagai sarana berekonomi. Tidak jarang ada seorang penulis sastra yang menggantungkan penghasilan hidupnya hanya dari menulis karya sastra. Perkembangan sastra memberi sinyal bahwa kehidupan seni bahasa masih mendapat perhatian di masyarakat. Perkembangan sastra ini mengacu pada aspek kuantitas dan kualitas.
Salah satu karya sastra yaitu novel. Sebuah novel memperlihatkan suatu citra luas terhadap pembacanya. Ruang luas dalam novel memungkinkan seseorang untuk menggali lebih dalam atas nilai-nilai dan informasi di dalam novel. Pengarang mempunyai pengalaman dan ilmu pengetahuan yang luas sebagai materi untuk mengarang novel.
Di tengah gencarnya arus budaya sastra populer, kini masih sanggup ditemukan novel yang memuat kritik sosial. Contoh novel yang sarat dengan nilai kritik sosial yaitu novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Kedua novel ini menceritakan masyarakat kecil yang tertindas oleh kesewenang-wenangan para penguasa. Bahasa yang lugas namun cerdas yang digunakan Ahmad Tohari menciptakan kedua novel tersebut gampang dipahami oleh pembaca awam..
Novel Orang-orang Proyek merepresentasikan lika-liku kehidupan orang-orang proyek pada masa Orde Baru. Novel ini menceritakan seorang insinyur berjulukan Kabul. Kabul diceritakan sebagai tokoh yang harus mempertahankan idealismenya di tengah-tengah masyarakat yang terbawa arus budaya pragmatisme Orde Baru. Praktik kerja pada Orde Baru cenderung membiasakan budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kabul mendapat sebuah proyek pembangunan jembatan. Akan tetapi, anggaran dana proyek yang seharusnya untuk membiayai proyek harus dipolitisasi dan dikebiri untuk urusan di luar proyek. Novel ini intinya berisi kritikan terhadap pemerintahan Orde Baru yang selalu membela kepentingan suatu golongan. Novel ini secara tidak pribadi juga mengkritik pemerintahan kini yang masih saja belum bebas dari budaya KKN.
Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk memakai latar tahun 1960-an. Latar tersebut memberi citra perihal sejarah komunis dan transisi Orde Lama ke Orde baru. Barangkali Ahmad Tohari ingin memberikan pengalaman pahit rakyat kecil yang tertindas di zaman itu. Di dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari memperlihatkan nilai-nilai perihal kebudayaan dan humanisme dengan lebih intens. Trilogi novel ini yaitu penyatuan tiga novel, yakni Catatan buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Trilogi novel ini menceritakan degradasi sosial yang di alami suatu dukuh yang berjulukan Dukuh Paruk dengan sentra pengisahan seorang ronggeng berjulukan Srintil. Srintil harus menjalani aneka macam problematika lantaran statusnya sebagai ronggeng dan tahanan politik. Selain itu, terdapat tokoh Rasus yang diceritakan sebagai anak Dukuh Paruk yang bersifat kritis. Ia meninggalkan Dukuh Paruk untuk mencari jati dirinya.
Kekuatan dari kedua novel tersebut yaitu kedekatan dongeng dengan realitas sejarah Indonesia. Penceritaan perihal sisi lain pemerintahan Orde Baru dan peralihan antara Orde Baru dengan Orde Lama merupakan refleksi pengarang sebagai subjek kolektif. Dengan demikian, Ahmad Tohari dikatakan menyerupai menyingkap tabir sejarah dengan caranya sendiri. Hal ini menguatkan bahwa sastra bukanlah karya fiktif tanpa realitas. Karya sastra yaitu rekaman sejarah dan fakta sosial yang dikemas dengan kreativitas pengarang. Oleh lantaran itu, karya sastra tetap mengandung bobot kebenaran yang nyata.
Beracuan pada alasan-alasan tersebut, peneliti ingin mengetahui (1) keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk; (2) pandangan dunia pengarang yang tercermin dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk; dan (3) struktur sosial novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk sesuai dengan pendekatan strukturalisme genetik.
B. Pendekatan dan Kajian Teori
Bentuk penelitian ini yaitu kualitatif deskriptif dengan pendekatan strukturalisme genetik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode dialektik lantaran pendekatannya yaitu strukturalisme genetik. Metode yang digunakan dalam strukturalisme genetik yaitu metode dialektik (Titik Maslikatin, 2003:23). Cara kerja metode ini yaitu dengan pemahaman bolak-balik dari struktur karya ke struktur masyarakat atau sebaliknya.
Strukturalisme genetik yaitu cabang penelitian sastra secara struktural yang tak murni (Suwardi Endraswara, 2003: 55). Maksud dari struktural yang tak murni yaitu penelitian ini tetap memakai kajian struktural otonom sebagai dasar kemudian dilanjutkan dengan aspek-aspek di luar karya sastra yang meliputi keadaan sosial yang turut membangun lahirnya karya sastra tersebut. Munculnya strukturalisme genetik merupakan reaksi atas struktural otonom yang hanya memandang otonomi karya sastra dan mengabaikan latar belakang sejarah.
Iswanto (2003: 59) memberi batasan perihal strukturalisme genetik sebagai sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan kausal. Strukturalisme genetik merupakan suatu disiplin yang menaruh perhatian kepada teks sastra dan latar belakang sosial budaya, serta subjek yang melahirkannya (Sangidu, 2004: 29). Nyoman Kutha Ratna (2009: 123) mendefinisikan bahwa strukturalisme genetik yaitu analisis struktur dengan memberi perhatian terhadap asal-usul karya. Dalam hal ini struktur mengacu pada struktur intrinsik dan ekstrinsik, namun masih ditopang oleh beberapa teori sosial menyerupai konsep homologi, struktur sosial, subjek kolektif, dan pandangan dunia.
Strukturalisme genetik merupakan campuran antara strukturalisme dengan Marxisme. Chennells (1993: 109) menjelaskan “marxism is a theory of social change which argues that social change is created through the interaction of the material realities of a society...”(“marxisme yaitu teori perihal perubahan sosial yang beropini bahwa perubahan sosial diciptakan melalui interaksi dari realitas material kehidupan masyarakat...”). Berangkat dari pengertian ini, strukturalisme genetik mengandung penelaahan-penelaahan karya sastra yang dihubungkan dengan kondisi sosial.
Strukturalisme genetik sebagai potongan dari strukturalisme memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra sebagai struktur. Oleh lantaran itu, perjuangan strukturalisme genetik untuk memahami karya sastra terarah pada perjuangan untuk menemukan struktur karya itu. Penjelasan di atas merupakan reduksi beberapa pemikiran dari Abrams, Alam Swingewood, dan Thomas Sebeok (dalam Jiwa Atmaja, 2009: 115) yang berturut-turut menyebut strukturalisme genetik sebagai kritik historian yang paling menonjol pada jalur Marxisme.
Penelitian strukturalisme genetik diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya penelitian dilakukan dengan menggabungkan aneka macam unsur intrinsik tersebut dengan realitas sosial budaya masyarakatnya. Karya sastra sebagai refleksi zaman sanggup mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi dan budaya. Peristiwa-peristiwa penting pada zamannya akan dihubungkan pribadi dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003: 56).
Peletak dasar strukturalisme genetik yaitu Taine. Taine menyatakan bahwa sastra tidak hanya sekadar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, melainkan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada dikala karya itu dilahirkan (Zainuddin Fananie, 2002: 117). Selanjutnya pendekatan strukuralisme genetik dikembangkan oleh Lucien Goldmann. Ia yaitu spesialis sastra Perancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang bisa merekonstruksi pandangan dunia pengarang. Pendekatan ini tidak menyerupai pendekatan Marxisme yang cenderung positivistik dan mengabaikan kelitereran sebuah karya sastra. Goldmann tetap berpijak pada strukturalisme lantaran ia memakai prinsip struktural yang dinafikan oleh pendekatan marxisme, hanya saja kelemahan pendekatan strukturalisme diperbaiki dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra (Iswanto, 2003: 60).
Faruk (1999: 12) menyatakan bahwa Goldmann percaya karya sastra merupakan sebuah struktur. Karya sastra tidak berdiri sendiri, melainkan banyak hal yang menyokongnya sehingga menjadi satu bangunan yang otonom. Akan tetapi, Goldmann tidak secara pribadi menghubungkan antara struktur teks dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain, yakni fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan klarifikasi (Faruk, 1999: 12).
Langkah pertama dalam penelitian ini yaitu analisis struktur karya sastra berdasarkan strukturalisme. Nugraheni Eko Wardani (2009: 183) menyebutkan bahwa strukturalisme memandang bahwa struktur karya sastra terdiri atas: tema, plot, setting, penokohan dan perwatakan, dan sudut pandang. Konsep struktur pada pendekatan strukturalisme genetik berpusat pada korelasi antartokoh yang menekankan tokoh pahlawan sebagai tokoh yang mengalami degradasi. Goldmann (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 55) menyatakan bahwa konsep strukturnya menitikberatkan pada korelasi antartokoh yang bersifat tematis. Langkah selanjutnya yaitu menganalisis pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia berdasarkan Goldmann (dalam Faruk, 1999: 16) yaitu istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial lain. Setelah menganalisis pandangan dunia, penelitian mengarah ke dalam analisis struktur sosial. Dalam hal ini, struktur sosial mengacu pada tataran institusi pemerintahan/politik dan institusi religi yang tercermin dalam novel Orang-orang Proyek (OOP) dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP).
C. Analisis dan Pembahasan
Di dalam analisis data ini, peneliti menganalisis novel Orang-orang Proyek dan kaitannya dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk memakai pendekatan strukturalisme genetik.
1. Keterjalinan Antarunsur Intrinsik Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Novel OOP dan RDP memperlihatkan suatu keterjalinan antarunsur intrinsik. Hal ini dibuktikan dengan keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lain. Unsur-unsur itu yaitu tema, penokohan, plot, latar, dan sudut pandang.
Tema dalam OOP dan RDP mendukung keseluruhan unsur intrinsik lantaran tema yaitu gagasan dasar yang melatari cerita. Ada lima tingkatan tema berdasarkan Shipley (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 80-81), yakni tema tingkat fisik, organik, sosial, egoik, dan divine. Tema dalam OOP dan RDP yaitu tema sosial jikalau dipandang dengan pembagian terstruktur mengenai tema berdasarkan Shipley.
Tema berafiliasi dengan penokohan lantaran tema membentuk karakter-karakter yang dimiliki setiap tokoh. Kabul sebagai sentra pengisahan dalam OOP yaitu tokoh yang memperjuangkan nilai-nilai humanisme/sosial. Kabul diceritakan menentang praktik korupsi, suap, pragmatisme, dan lain-lain yang pada kesudahannya menjadi kasus sosial yang merugikan masyarakat. Karakter Kabul terbentuk dari tema, begitu pula dengan tokoh lainnya. Pada dongeng RDP, ada Srintil dan Rasus. Tokoh-tokoh ini mewakili pemunculan kasus sosial dalam RDP. Srintil diceritakan sebagai ronggeng dan Rasus diceritakan sebagai cowok Dukuh Paruk yang tidak menyetujui praktik-praktik eksploitasi perempuan dalam peronggengan. Perbedaan pandangan antartokoh tersebut menguatkan adanya kasus pandangan sosial. Rasus juga diceritakan sebagai seorang yang menentang pembunuhan dan penahanan orang-orang komunis. Karakter Kabul, Rasus, dan Srintil terbentuk dari tema, begitu pula dengan tokoh lainnya. Tokoh-tokoh yang berada dalam jalinan dongeng OOP dan RDP saling berafiliasi dan saling memunculkan konflik. Konflik-konflik yang terjadi dalam dongeng menciptakan jalinan pada alur.
Konflik antartokoh dalam OOP dan RDP menghidupkan alur cerita. Dominasi alur dongeng pada OOP dan RDP yaitu alur lurus. Di beberapa potongan ada yang memakai alur flash-back, namun hal itu hanyalah pembayangan dongeng dari seorang tokoh. Selain itu, unsur-unsur tersebut juga didukung oleh latar. Unsur latar memberi penitikberatan pada penokohan dan mendukung terjadinya jalinan cerita/plot. Latar tempat, waktu, dan sosial memberi ruang penceritaan sehingga tokoh-tokoh sanggup saling berinteraksi. Latar memberi konteks dongeng sehingga mendukung dan menjalin unsur-unsur yang lain.
Unsur terakhir yang mendukung yaitu sudut pandang. Sudut pandang dalam OOP dan RDP yaitu omniscient narratif, yakni pengarang serba tahu dan sanggup menceritakan segalanya atau memasuki aneka macam kiprah secara bebas. Sudut pandang memberi bantuan bagi pengarang dalam menjalin semua unsur berdasarkan posisinya sebagai pengarang. Dengan demikian, unsur-unsur intrinsik yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang dalam OOP mempunyai keterjalinan dan saling mendukung satu dengan yang lain.
Keterjalinan antarunsur intrinsik dongeng OOP dan RDP diuji dengan aturan plot. Kenny (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 39) mengungkapkan bahwa aturan plot ada empat, yakni plausibility (kebolehjadian), surprise (kejutan), suspense (ketegangan), dan unity (kesatuan). Plausibility (kebolehjadian) memperlihatkan bahwa dongeng OOP dan RDP mempunyai kemungkinan terjadi di dunia nyata. Setiap potongan dongeng mempunyai kadar plausbility yang berbeda. Ada yang berkemungkinan besar dan berkemungkinan kecil. Cerita dibangun oleh konflik-konflik yang dimunculkan oleh tokoh-tokoh. Konflik ini sering hiperbolis dari kenyataan bantu-membantu sehingga konflik terasa sangat kuat dan tajam. Kekuatan dan ketajaman konflik ini yang menciptakan dongeng memilki plausibility yang tinggi.
Surprise (kejutan) memperlihatkan bahwa dongeng OOP dan RDP mengandung kejutan-kejutan bagi pembaca. Kejutan-kejutan tersebut menciptakan dongeng semakin berdaya tarik tinggi. Kejutan dalam OOP menyerupai dongeng dikala terjadinya iring-iringan kendaraan penerima kampanye GLM melewati jembatan Cibawor yang belum usang selesai dibangun. Banyak yang menduga jembatan tersebut akan amblas lantaran belum sepenuhnya kuat. Akan tetapi, dongeng memperlihatkan bahwa jembatan tersebut kuat dan tidak amblas. Walaupun demikian, pada simpulan cerita, pembaca dikejutkan dengan dongeng bahwa jembatan Cibawor rusak lantaran lantai jembatan amblas. Kejutan dalam RDP menyerupai dongeng malam bukak klambu bagi Srintil. Di dalam dongeng ada dua orang yang bersaing untuk memenangkan malam bukak klambu, yakni Sulam dan Dower. Orang yang berhak atas malam bukak klambu yaitu orang kaya, namun pengarang RDP justru memberi kejutan kepada pembaca. Ternyata yang mendapat malam bukak klambu yaitu Rasus. Surprise lainnya yaitu pada simpulan dongeng Srintil diceritakan menjadi gila lantaran dikhianati oleh Bajus. Padahal dari awal tidak ada indikasi-indikasi Srintil akan menjadi gila.
Suspense (tegangan) memperlihatkan bahwa dongeng OOP dan RDP mempunyai ketegangan dongeng yang memunculkan daya tarik tinggi bagi pembaca. Berbagai konflik yang dimunculkan pengarang menciptakan ketegangan dongeng menjadi kuat. Ketegangan tersebut menyerupai konflik antara Kabul dan Dalkijo. Konflik tersebut memperlihatkan ketegangan yang terjadi antara Kabul dan Dalkijo. Kabul ingin mengundurkan diri dari proyek lantaran mempertahankan idealismenya, sedangkan Dalkijo mengancam Kabul untuk tetap bertahan di proyek. Selain itu, ada juga konflik antara Kabul dan Kang Martasatang yang begitu menegangkan. Konflik yang menandai titik puncak yaitu konflik yang paling kuat, yakni ketika jembatan Cibawor yang belum usang selesai dibangun sudah digunakan untuk dilewati kendaraan-kendaraan berat pada ajang kampanye partai golongan. Keteganganpada RDP menyerupai dongeng dikala Srintil dinobatkan sebagai ronggeng pada upacara di dekat makam Ki Secamenggala. Ketegangan terjadi dikala dukun ronggeng, yakni Kartareja mendadak tidak sadarkan diri. Kartareja diduga dirasuki roh Ki Secamenggala dan memeluk Srintil dengan kuat sehingga Srintil sulit untuk bernapas. Ketegangan tersebut reda sesudah disiram air kembang oleh Nyai Kartareja.
Unity (kesatuan) memperlihatkan bahwa dongeng OOP dan RDP yaitu satu kesatuan utuh dan saling terkait. unsur-unsur dalam dongeng yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan cerita. Novel OOP yang dibagi menjadi lima potongan juga mengindikasikan bahwa lima potongan tersebut semuanya saling terkait dan membentuk satu kesatuan cerita. RDP juga memperlihatkan unity. Trilogi novel yang dibagi menjadi tiga buku juga mengindikasikan bahwa tiga potongan tersebut semuanya saling terkait dan membentuk satu kesatuan cerita. Berdasarkan aturan plot di atas, sanggup dikatakan bahwa OOP dan RDP mempunyai keterjalinan antarunsur intrinsik yang baik.
2. Pandangan Dunia Ahmad Tohari dalam Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) beropini bahwa karya sastra sebagai struktur bermakna mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Pengarang mempunyai pandangan terhadap masalah-masalah dalam lingkungannya. Pandangan tersebut sekaligus mewakili pandangan orang-orang yang berada dalam tatanan sosial kultural pengarang. Berikut yaitu pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP
1) Pandangan Religius
Ahmad Tohari yaitu seorang yang lahir di lingkungan pesantren. Sejak kecil ia telah dekat dengan kegiatan maupun pengetahuan agama. Walaupun demikian, Ahmad Tohari hidup di tengah-tengah masyarakat “abangan”. Orang-orang “abangan” yaitu orang yang berstatus agama Islam, namun masih terseret budaya kejawen. Orang-orang santri di lingkungannya yaitu minoritas. Ahmad Tohari sebagai penganut agama Islam sangat berpikir rasional. Ia tidak percaya adanya mitos-mitos yang mengarah ke animisme maupun dinamisme.
Permasalahan mitos dimunculkan Ahmad Tohari RDP. Ketidakpercayaan Ahmad Tohari terhadap mitos dalam RDP disampaikan melalui Rasus. Ada sebuah keganjilan dalam dongeng lantaran Rasus yaitu potongan dari masyarakat Dukuh Paruk yang tak mengenal pendidikan dan agama. Oleh alasannya yaitu itu, seharusnya Rasus mempercayai adanya mitos tersebut. Akan tetapi, Ahmad Tohari menceritakan lain. Rasus dikontradiksikan dengan pandangan masyarakat Dukuh Paruk. Hal itu merupakan siasat Ahmad Tohari untuk menyelipkan pesan kepada pembaca mengenai ketidakpercayaannya terhadap mitos.
Di dalam OOP, Ahmad Tohari mengulang soal mitos. Pandangan perihal mitos disampaikan melalui Pak Tarya. Pak Tarya dalam OOP lebih berposisi sebagai pemberi informasi. Pemikiran Pak Tarya pada OOP secara tidak pribadi sama dengan pemikiran Kabul yang tidak mempercayai mitos. Adapun pemikiran Pak Tarya mengenai mitos yaitu sebagai berikut.
“Yah, kita telah disadarkan bahwa ternyata kadar animisme di tengah masyarakat kita masih tidak mengecewakan tinggi. Dengarkan Mas kabul, orang sini percaya misalnya, jenazah yang hanyut di sungai bisa mencegah kelongsoran tebing.” (OOP: 132-133)
Di dalam OOP, Ahmad Tohari menuangkan pandangan mengenai agama secara lugas. Di dalam teks OOP, ada semacam riwayat atau dalil yang sengaja dihadirkan Ahmad Tohari. Riwayat tersebut berbunyi “Tidak diutus Kanjeng Nabi, kecuali untuk menyempurnakan adab manusia”. Riwayat inilah yang dijadikan kunci oleh Ahmad Tohari mengenai pandangannya soal agama. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Ahmad Tohari mengaktualisasikan agama bukan hanya sekadar sebagai simbol, namun lebih ke arah aktualisasi nilai agama yang berorentasi menjunjung harkat dan martabat manusia.
2) Pandangan Kesenian
Ahmad Tohari memandang kesenian sebagai salah satu potongan dari kehidupan masyarakat. Kesenian merupakan ejawantah sikap insan yang mempunyai rasa, cipta, dan karsa.
Ahmad Tohari menolak bentuk-bentuk politisasi kesenian. Pandangan Ahmad Tohari mengenai bentuk politisasi kesenian selalu terepetisi di setiap karyanya. Ada kemiripan penceritaan politisasi kesenian pada RDP dan OOP. Hal ini ditunjukkan dengan dua kutipan dongeng RDP dan OOP berikut.
Ternyata lagu-lagu itu semua sudah dihafal oleh dukun ronggeng itu. Hanya di sana-sini ada pergantian kata atau kalimat. Kartareja mencicipi keganjilan lantaran dalam lagu-lagu itu diselipkan kata "rakyat" dan "revolusi", kata-kata mana terasa kurang dekat dalam hatinya. (RDP: 179)
“Ya! Tapi jangan lupa, mintalah orang dinas kebudayaan mengubah pupuh-pupuh atau lirik nyanyian lengger. Sesuaikan kata-katanya dengan semangat Orde Baru. …” (OOP: 83)
Kedua kutipan yang diambil dari teks RDP dan OOP tersebut memperlihatkan adanya suatu kemiripan. Kemiripan tersebut mengacu pada bentuk atau cara yang digunakan tokoh dongeng untuk memolitisasi kesenian ronggeng/lengger. Politisasi dilakukan dengan cara mengganti bait-bait lagu yang akan dinyanyikan peronggeng/pelengger. Bait-bait lagu tersebut diganti dengan kata-kata politis. Kata-kata politis tersebut yaitu bentuk upaya mendukung kelompok-kelompok politik tertentu.
3) Pandangan Sosial
Ahmad Tohari yaitu sastrawan yang selalu memandang kasus sosial sebagai sentra inspirasi. Ia intens membahas tema-tema sosial dalam setiap karyanya. Ia tidak menyetujui adanya suatu tindakan yang menjadikan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Ia selalu berpihak pada rakyat kecil yang tertindas. Rakyat kecil yaitu sosok yang harus dibela dalam memperjuangkan hak-haknya. Ahmad Tohari menyatakan bahwa ia ingin memperlihatkan bantuan terciptanya masyarakat yang mapan dan sejahtera dengan menggarap tema sosial dalam setiap karyanya. Hal ini ditunjukkan dalam pernyataan Ahmad Tohari berikut.
“Dari awal, jadi begini. Hal itu berangkat dari komitmen saya untuk memperlihatkan bantuan bagi terciptanya masyarakat yang bermutu yang tatanan sosialnya itu adil, mapan, dan terciptanya rakyat yang diperhatikan hak-haknya.
Komitmen Ahmad Tohari sangat terang dalam memperjuangkan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Ia menganggap dengan menggarap tema sosial dalam karya-karyanya akan bisa memberi konstribusi pencerahan nilai sosial terhadap masyarakat luas. Pemasungan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh seseorang tidak dibenarkan dalam berkehidupan masyarakat. Di dalam RDP, nilai sosial digambarkan Ahmad Tohari dalam kutipan berikut.
Makin usang tinggal di luar tanah airku yang kecil, saya makin bisa menilai kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Kemelaratan di sana terpelihara secara lestari lantaran kebodohan dan kemalasan penghuninya. Mereka hanya puas menjadi buruh tani. Atau berladang singkong kecil-kecilan. Bila ada sedikit panen, minuman keras memasuki setiap pintu rumah. (RDP: 86)
Masalah sosial diceritakan Ahmad Tohari secara intens dalam OOP. Tema dalam OOP menyoroti perihal kasus sosial yang terjadi pada masa Orde Baru. Ketika sudah bertahun-tahun Indonesia merdeka, namun keadilan dalam masyarakat belum memperlihatkan prestasi yang positif. Di dalam OOP, Ahmad Tohari mendeskripsikan masyarakat kelas bawah. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan dongeng OOP berikut.
Mereka, bawah umur proyek itu, yaitu generasi yang malang. Kebanyakan mereka meninggalkan kursi sekolah sebelum waktunya untuk masuk ke pasar tenaga kerja demi perut. Dan di proyek ini mereka digaji terlalu kecil lantaran pos anggaran untuk honor tertekan oleh besarnya faktor X (OOP: 59).
Di dalam kutipan tersebut, Ahmad Tohari memberi pandangan bahwa konsep keadilan belum tercipta dalam masyarakat, terutama di masyarakat tingkat bawah. Kutipan di atas yaitu citra mengenai ketidakadilan dalam bidang pendidikan. Hak-hak pendidikan yang harus diterima oleh seorang anak harus hilang lantaran beban ekonomi. Selain itu, mereka tetap mendapat suatu ketidakadilan soal upah di daerah bekerja.
4) Pandangan Budaya
Budaya selalu mengalami pergeseran, entah dalam bentuk fisik maupun fungsi. Inilah yang menjadi sorotan Ahmad Tohari. Ia memandang kultur budaya mengalami pergeseran lantaran sejarah. Sejarah telah menciptakan dominasi atas kepentingan-kepentingan tertentu hingga menciptakan pola pikir suatu masyarakat berubah. Perubahan masyarakat yaitu perubahan sejarah. Kebudayaan sebagai salah satu potongan sejarah tidak tidak mungkin untuk mengalami perubahan. Pandangan Ahmad Tohari mengenai perubahan budaya dalam RDP memperlihatkan adanya deteriorasi sistem tradisi kultural Dukuh Paruk. Deteriorasi ini dipandang dalam perspektif naturalisme Dukuh Paruk dan bukan dalam perspektif modernitas. Akan tetapi, hal ini yaitu kunci untuk membuka sistem sosial di Dukuh Paruk untuk menuju ke arah kebudayaan plural dan terbuka. Hal ini terlihat dalam kutipan bahwa Dukuh Paruk mulai dimasuki kultur luar. Di sana mulai ada pembangunan, alat komunikasi (radio), dan orang-orang luar yang dinilai mempunyai wawasan yang lebih maju masuk ke dalam Dukuh Paruk. Egoisme masyarakat Dukuh Paruk yang dulu sangat menjunjung tinggi etika dan tradisi mulai luntur tererosi oleh budaya baru.
Ironisme budaya sosial ditunjukkan Ahmad Tohari dalam OOP. Modernisasi dan globalisasi telah mengubah cara pikir dan kultur masyarakat. Masyarakat menuruti arus modernisasi dan globalisasi di segala arah. Mereka lebih banyak tidak memperhatikan kearifan sebagai insan yang telah dianut sebagian besar masyarakat. Tuntutan kemajuan budaya menciptakan masyarakat dituntut untuk mengejarnya dengan segala cara.
5) Pandangan Politik
Ahmad Tohari intens menggarap tema-tema politik pada masa Orde Baru. Orde Baru dipandang Ahmad Tohari sebagai pemerintahan tidak demokratif. Orde Baru yaitu orde ketika Soeharto berkuasa. Ahmad Tohari memandang bahwa konsep kekuasaan yang dijalankan Soeharto menggandakan konsep kerajaan Mataram. Jika pada masa kerajaan Mataram ada upeti dari tingkat bawah hingga ke atas, pada masa pemerintahan Orde Baru menerapkan hal yang sama. Oleh lantaran itu, korupsi menjadi budaya ketika Orde Baru berlangsung.
Tragedi politik tahun 1965 dan 1966 sangat memengaruhi penciptaan karya-karya Ahmad Tohari, terutama pada trilogi novel RDP. Realitas sejarah pada masa itu telah memberi banyak pandangan bagi Ahmad Tohari. Ahmad Tohari merepresentasikan korban bencana politik masa itu melalui Srintil. Srintil dianggap komunis lantaran ia diajak terlibat dalam rapat-rapat propaganda komunis. Srintil tidak mengetahui perihal komunis, ia hanya tiba rapat lantaran ia disuruh meronggeng. Srintil hanya tahu soal pentas ronggeng dan tidak mengetahui politik. Ia diperalat oleh orang-orang komunis. Srintil dicap komunis dan secara tidak pribadi Dukuh Paruk pun mendapat cap tersebut.
Ada kemiripan penceritaan di dalam RDP dan OOP mengenai komunis dan labelisasi tidak higienis lingkungan. Labelisasi tidak higienis lingkungan digunakan untuk mengancam seseorang biar tunduk dalam kekuasaan orang yang mengancam. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan-kutipan berikut.
"Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau berdasarkan akan saya kembalikan kau ke rumah tahanan. Kamu kira saya tidak bisa melakukannya?" (RDP: 383)
“Baik. Tapi anda akan saya laporkan ke atas. Saya akan cari data jangan-jangan Anda tidak higienis lingkungan. Sebab indikatornya mulai jelas. Masa iya dimintai dukungan untuk pembangunan masjid Anda banyak berkelit. Cukup. Selamat malam. Dan selanjutnya mungkin anda tidak bisa mendapat proyek lagi. Atau Dalkijo akan memecat Anda” (OOP: 142)
Kutipan tersebut memperlihatkan labelisasi tidak higienis lingkungan mempunyai daya kuasa untuk memaksa, menekan, memengaruhi, bahkan menahan seseorang. Hal ini menekankan bahwa pemerintah Orde Baru sangat diktatorial menumpas paham komunis. Komunis dianggap sebagai paham yang harus dibinasakan dari bumi Indonesia. Akan tetapi, kasus perihal labelisasi orang tidak higienis lingkungan mulai pudar sesudah periode reformasi.
6) Pandangan Ekonomi
Ahmad Tohari menilai kapitalisme merugikan perekonomian masyarakat menengah ke bawah. Kapitalisme semakin menguat lantaran pemerintah tidak profesional dalam menanganinya. Ahmad Tohari menambahkan bahwa intinya konsep kapitalisme tidak sepenuhnya buruk, namun praktiknya sering merugikan masyarakat kecil.
Ahmad Tohari memandang arus modernitas dan globalisasi memacu masyarakat untuk berperilaku konsumtif. Perilaku konsumtif cenderung dilakukan oleh masyarakat menengah ke atas. Masyarakat kecil cenderung meminimalkan konsumsi lantaran keterbatasannya. Perilaku konsumtif juga didukung budaya feodal dan pragmatis sehingga sikap ini lebih mengacu pada kehidupan orang-orang yang dianggap sebagai priayi.
Kesenjangan sosial yaitu dampak nyata dari tidak meratanya perekonomian yang dijalankan pemerintah. Kelompok-kelompok bermodal justru mendominasi perekonomian dan semakin menyingkirkan masyarakat kecil. Masyarakat kecil hanya hidup sebagai pekerja kasar, buruh, petani, dan lain-lain yang kehidupan ekonominya tetap stagnan bahkan semakin terpuruk.
7) Pandangan Nilai Moral
Pandangan Ahmad Tohari mengenai nilai moral direpresentasikan melalui tokoh-tokoh dalam dongeng RDP dan OOP. Rasus yaitu tokoh dalam dongeng RDP yang diciptakan Ahmad Tohari untuk mewakili konsep idealisme. Rasus diceritakan sebagai seorang yang keras terhadap keyakinan pada dirinya. Idealisme tampak pada Rasus ketika ia tidak oke dengan adanya pelaksanaan tradisi bukak klambu, mitos-mitos yang dipercaya oleh masyarakat Dukuh Paruk, dan ketidakadilan sanksi pada orang-orang yang dianggap komunis sesudah kejadian politik tahun 1965. Selain itu, idealisme Rasus tampak pada kecintaannya terhadap Dukuh Paruk. Ia menginginkan biar Dukuh Paruk mempunyai kehidupan sosial yang lebih baik.
Pandangan Ahmad Tohari mengenai idealisme direpresentasikan melalui Kabul dalam dongeng OOP. Kabul yaitu tokoh dongeng OOP yang selalu memegang teguh idealismenya sebagai insinyur. Seseorang yang idealis mengutamakan kejujuran hatinya. Kabul tidak terpengaruh kekuasaan, tekanan-tekanan, pemaksaan, dan lain-lain dalam mempertahankan idealismenya.
Deskripsi mengenai pandangan dunia Ahmad Tohari di atas menyimpulkan bahwa Ahmad Tohari mempunyai aneka macam sudut pandang mengenai masalah-masalah dalam OOP dan RDP. Ada keterkaitan mengenai pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP. Tujuh kategori pandangan dunia yang dianalisis dan dibahas pada potongan sebelumnya selalu muncul dalam OOP dan RDP. Pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP jikalau dikerucutkan selalu menyinggung kasus humanisme. Pandangan humanisme Ahmad Tohari bersifat universal. Pandangan tersebut tidak hanya menyentuh satu kasus saja. Akan tetapi, pandangan dunia tersebut menyentuh aneka macam lini kehidupan mulai dari kasus religius, kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan nilai moral. Hal ini tidak terlepas dari niat Ahmad Tohari untuk memberi bantuan pada masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang tatanan sosialnya baik dan berkualitas. Berdasarkan pembahasan pandangan dunia di atas, disimpulkan bahwa ada keterkaitan pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP. Pandangan dunia tersebut mengerucut pada pandangan humanisme universal.
3. Struktur Sosial Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Struktur sosial merupakan unsur genetik penciptaan karya sastra (Nugraheni Eko Wardani, 2009: 56). kondisi sosial terlihat terang pada OOP dan RDP. Analisis struktur sosial OOP dan RDP menekankan pada dua institusi, yakni pemerintahan dan religi.
1) Institusi Pemerintahan
Latar dongeng OOP memperlihatkan pada masa Orde Baru, yakni pada tahun 1991. Latar dongeng RDP memperlihatkan peristiwa-peristiwa pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Berdasarkan klarifikasi tersebut, potongan ini disampaikan deskripsi kondisi perpolitikan pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
a) Orde Lama
Orde Lama yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh Sukarno. Orde Lama tercermin dalam alur dongeng RDP. Gambaran Orde Lama dalam RDP terutama dikala masa simpulan Orde Lama, yakni dikala berlakunya Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Hal ini tampak pada pembahasan mengenai unsur latar waktu pada potongan sebelumnya, yakni latar waktu kejadian dongeng RDP banyak terjadi pada tahun 1960 hingga dengan tahun 1965.
Pada masa Demokrasi Terpimpin muncul ketegangan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tentara Nasional Indonesia sebagai golongan fungsional harus menghadapi kasus yang rumit lantaran pada satu sisi Tentara Nasional Indonesia harus berpegang teguh pada Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, namun di sisi lain harus menghadapi aneka macam intimidasi dan dominasi PKI (Arif Yulianto, 2002: 230). Jadi, pada waktu itu ada kekuatan besar yang sedang berseteru di bawah pimpinan Presiden Sukarno.
PKI dan Tentara Nasional Indonesia menciptakan aneka macam kebijakan untuk memperlihatkan dominasi mereka di dalam kancah perpolitikan pada masa Demokrasi Terpimpin. PKI menciptakan organisasi-organisasi di beberapa bidang dan Tentara Nasional Indonesia pun menciptakan organisasi-organisasi untuk menandingi PKI. Di dalam bidang budaya, PKI membentuk sebuah forum berjulukan Lembaga Kebudayaan Daerah (Lekra). Lekra bekerja di bidang kebudayaan dan kesenian. Lekra bertujuan menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya. Lekra berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa dipisahkan dari rakyat.
Lekra dibuat sebagai alat propaganda politik PKI. Kesenian dan kebudayaan dalam masyarakat dinilai strategis untuk mengembangkan paham-paham komunis. Berbagai macam seni dijadikan sarana berpolitik sebagai representasi kebudayaan rakyat. Bentuk kesenian tersebut antara lain: wayang, sastra, kethoprak, lengger (ronggeng), dan lain-lain. Di dalam RDP, disinggung mengenai praktik-praktik yang digencarkan Lekra. Hal tersebut ditunjukkan dalam dongeng RDP ketika Srintil disuruh untuk pentas dalam rapat-rapat propaganda PKI. Cerita tersebut yaitu representasi dari tindakan-tindakan yang dilakukan para pelopor Lekra. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ahmad Tohari berikut.
“Mengapa trilogi ini saya tulis dengan mengambil latar kehidupan peronggengan di Dukuh Paruk? Karena ada pengalaman nyata di tahun 1965 semua kelompok ronggeng yang dianggap dari Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat yang komunis) tidak boleh pentas. Dan kebanyakan para seniman ditahan.” (Wijang J. Riyanto, dkk., 2006: 42)
Politisasi kesenian ini representasikan Ahmad Tohari dalam dongeng RDP. Berikut yaitu kutipan dongeng RDP yang mendukung pernyataan tersebut.
lagu-lagu itu semua sudah dihafal oleh dukun ronggeng itu. Hanya di sana-sini ada pergantian kata atau kalimat. Kartareja mencicipi keganjilan lantaran dalam lagu-lagu itu diselipkan kata "rakyat" dan "revolusi", kata-kata mana terasa kurang dekat dalam hatinya. (RDP: 179)
Pada tanggal 30 September 1965, ketegangan antara PKI dan Tentara Nasional Indonesia memuncak dan menjadikan malapetaka yang dahsyat bagi masyarakat Indonesia. PKI melaksanakan pemberontakan terhadap pemerintah. Pemberontakan tersebut disebut sebagai Gerakan 30 September 1965 (Gestapu). Gerakan tersebut berlanjut pada hari berikutnya, yakni 1 Oktobers 1965 sehingga disebut Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok). Gerakan tersebut melaksanakan agresi dengan cara menculik dan membunuh tujuh perwira tinggi TNI. Kemarahan di badan Tentara Nasional Indonesia memuncak akhir kejadian tersebut. Tentara Nasional Indonesia membalasnya dengan menculik dan membinasakan orang-orang komunis. Jadi, orang-orang yang ikut dalam PKI termasuk pelopor Lekra ditahan dan dibunuh. Ada juga yang diasingkan ke sebuah daerah terpencil, menyerupai pulau Buru.
Realitas mengenai Gestapu dan Gestok di atas diungkap Ahmad Tohari dalam dongeng RDP. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan dongeng RDP berikut.
Dua ahad yang jor-joran, sarat dengan pemberontakan budaya. Tayub yang secara resmi tidak boleh pemerintah, pada pasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena…Sampailah hari pertama bulan Oktober. Hari pertama yang disusul hari-hari berikutnya, suatu masa yang tidak bisa dimengerti oleh siapa pun di Dukuh Paruk. Tiba-tiba mereka mencicipi kehidupan menjadi gagudan limbung. (RDP: 237)
Pemberontakan yang disebut sebagai Gestapu dan Gestok kesudahannya sanggup dikendalikan Mayor Jenderal Soeharto yang pada dikala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Soeharto dinilai sebagai seorang pahlawan yang berjasa dalam penumpasan Gestapu dan Gestok. Keberhasilan Soeharto memimpin Tentara Nasional Indonesia AD dalam menumpas Gestapu dan Gestok kuat terhadap arah peta politik Indonesia. Walaupun demikian, kebijakan Soeharto untuk menumpas orang-orang komunis yaitu suatu hal yang sangat tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Pemberantasan orang-orang yang dianggap komunis diceritakan oleh Ahmad Tohari dalam RDP. Cerita ini yaitu representasi dari tindakan Soeharto pada masa simpulan Orde Lama. Rumah-rumah orang-orang komunis dibakar dan orang-orang yang dianggap komunis diangkut dengan truk dan dibawa ke suatu daerah untuk diasingkan atau dibunuh. Berikut yaitu kutipan dongeng RDP yang sesuai dengan klarifikasi di atas.
Tengah malam Februari 1966 di sebuah kota kecil di sudut tenggara Jawa Tengah. Kegelapan yang mencekam telah berlangsung setengah tahun lamanya. Tak ada orang keluar sesudah matahari terbenam kecuali para petugas keamanan: tentara, polisi, dan para militer. Tembakan bedil masih terdengar satu-dua di kejauhan. Dan kadang cakrawala malam bernoda merah, ada rumah yang dibakar. ada deru truk berhenti disusul bunyi langkah sepatu yang berat, kemudian berangkat lagi. (RDP: 247)
b) Orde Baru
Orde Baru menandai berakhirnya pemerintahan Orde Lama. Peristiwa Gestapu dan Gestok telah menciderai pemerintahan Sukarno. Pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh Presiden Sukarno mengalami kemunduran. Masyarakat dan mahasiswa melaksanakan demonstrasi-demonstrasi mengkritik pemerintah. Pada tanggal 10 Januari 1966 muncul tiga tuntutan dari mahasiswa yang disebut sebagai Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Isi Tritura adalah: (1) bubarkan PKI; (2) turunkan harga; dan (3) bubarkan Kabinet Dwikora.
Pada tanggal 11 Maret 1966 muncul Supersemar. Presiden Sukarno memberi mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala kebijakan yang dianggap perlu untuk menjaga stabilitas keamanan nasional. Surat perintah tersebut dinamakan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) lantaran diberikan pada tanggal 11 Maret. Supersemar mengawali langkah pertama Soeharto untuk naik tahta menjadi presiden. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat menjadi presiden Republik Indonesia secara penuh berdasarkan Ketetapan No. XLIV/MPRS/1968 (Arif Yulianto, 2002: 247).
Pemerintahan Orde Baru tercermin dalam dongeng RDP potongan simpulan dan semua dongeng OOP. Di dalam RDP, yakni pada potongan Jantera Bianglala, diceritakan ada pembangunan susukan irigasi di Dukuh Paruk. Berikut yaitu kutipan dongeng yang memperlihatkan pernyataan tersebut.
Bajus dan teman-temannya dikirim pribadi dari Jakarta untuk mengawali pembangunan sebuah bendungan yang akan mengairi dua ribu lima ratus hektar sawah yang sebagian besar terletak di kecamatan Dawuan.(RDP:308)
Hal itu yaitu representasi pemerintahan Orde Baru yang sedang giat-giatnya membangun negeri. Pemerintahan Orde Baru disebut sebagai periode pembangunan sehingga Soeharto dijuluki sebagai “Bapak Pembangunan”. Pada dongeng OOP, representasi Orde Baru lebih menekankan pada alat politik Orde Baru, yakni Golkar. Nama Golkar diubah menjadi Golongan Lestari Menang (GLM). GLM diceritakan sebagai partai golongan penguasa yang sangat berkuasa. GLM meliputi aneka macam aspek struktur masyarakat bahkan pegawai negeri dan ABRI. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan dongeng OOP berikut.
Memang ya. Karena, sistem kekuasaan di bawah Golongan Lestari Menang, GLM, menempatkan jajaran perangkat desa dan kelurahan seluruh Indonesia menjadi onderbouw mereka. Jajaran perangkat desa yaitu satu di antara tiga pilar penopang GLM. Dua pilar lain yaitu birokrasi pegawai negeri dan ABRI. Maka, suka atau tidak, Kades menyerupai Basar sudah tercantum sebagai kader Golongan Lestari Menang. (OOP: 84)
Keberadaan PPP, Golkar, dan PDI direpresentasikan Ahmad Tohari dalam dongeng OOP. Golkar diceritakan sebagai partai golongan yang sangat berkuasa. Deskripsi mengenai partai-partai tersebut dianalogikan oleh Ahmad Tohari dengan sosok wayang, yakni Gatotkaca. Berikut yaitu data kutipan dongeng OOP yang memperlihatkan pernyataan tersebut.
“Eh, di masa pembangunan, semua dalang harus kreatif mencipta lakon yang bersemangat Orde Baru. Dan Gatotkaca Kembar Tiga menceritakan ada tiga Gatotkaca. Yang satu ber-kampuh warna hijau, satu lagi ber-kampuh warna merah, dan yang lain ber-kampuh warna lambang GLM. Dan simpulan dongeng membuktikan, sang Gatotkaca yang ber-kampuh warna GLM-lah yang asli. Lainnya palsu dan kerjanya bikin kacau negara.” (OOP: 82)
Orde Baru yaitu suatu orde pemerintahan yang dinilai sarat kegiatan korupsi. Korupsi merajalela di segala aspek dan bidang. Sebenarnya ada upaya dari pemerintah untuk menumpas korupsi, namun upaya tersebut tidak menghasilkan sesuatu yang sanggup dibanggakan. Amin Rahayu (2005) menyatakan bahwa pidato kenegaraan Presiden Soeharto di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967 memberi isyarat bahwa ia bertekad untuk membasmi korupsi di Indonesia hingga ke akar-akarnya. Wujud dari tekad itu yaitu pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Pada tahun 1970 muncul protes dari mahasiswa mengenai kinerja TPK yang dinilai kurang bisa memberantas korupsi. Amin Rahayu lebih lanjut menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan negara menyerupai Bulog, Pertamina, dan Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat lantaran dianggap sarang korupsi.
Cerita OOP juga membahas mengenai praktik korupsi di Indonesia. Korupsi yang membudaya pada masa Orde Baru dijadikan salah satu unsur pembangun dongeng oleh Ahmad Tohari dalam OOP. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan dongeng OOP berikut.
Maka, apakah kata “korupsi” dikenal dalam sistem kekuasaan kerajaan? Tidak. Karena bumi, air, udara, dan kekayaan yang terkandung serta insan yang hidup di atasnya yaitu milik raja dan para pembantunya. “Korupsi” hanya ada pada kamus negara republik. Tapi republik belum pernah tegak di negeri ini. (OOP: 149)
2) Institusi Religi
Institusi religi berkaitan dengan kepercayaan supranatural yang diwujudkan dengan praktik-praktik simbolik peribadatan. Indonesia yaitu negara yang ikut mengurusi kehidupan beragama masyarakatnya. Oleh lantaran itu, hak dan kebebasan untuk memeluk agama diatur dalam undang-undang. Setiap orang mempunyai kebebasan dan hak untuk beragama. Di lain sisi, adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu juga diakui keberadaannya oleh negara.
Di dalam RDP dan OOP, ada dongeng mengenai mitos yang mengacu pada animisme. Animisme yang dianut masyarakat termasuk dalam tataran institusi religi. Selain itu, diungkapkan ajaran-ajaran Islam walau tidak secara eksplisit ditunjukkan dalam teks. RDP dan OOP merepresentasikan masyarakat Jawa. Oleh lantaran itu, ada pengungkapan mengenai religiositas masyarakat Jawa. Animisme dalam dongeng RDP dan OOP ditunjukkan dengan kutipan dongeng berikut.
Cerita yang kumaksud yaitu sebagian dongeng yang hanya dimiliki oleh Dukuh Paruk. Konon berdasarkan dongeng tersebut pernah terjadi sepasang insan mati di pekuburan itu dalam keadaan tidak senonoh. Mereka kena kutuk sesudah berjinah di atas makam Ki Secamenggala. Semua orang Dukuh Paruk percaya penuh akan kebenaran dongeng itu. Kecuali saya yang meragukannya dan mencurigainya hanya sebagai salah satu perjuangan melestarikan keangkeran makam moyang orang Dukuh Paruk itu. (RDP: 68)
“Yah, kita telah disadarkan bahwa ternyata kadar animisme di tengah masyarakat kita masih tidak mengecewakan tinggi. Dengarkan Mas kabul, orang sini percaya misalnya, jenazah yang hanyut di sungai bisa mencegah kelongsoran tebing.” (OOP: 132-133)
Mayoritas penduduk Indonesia―khususnya Jawa―memeluk agama Islam. Institusi religi masyarakat Jawa dibagi menjadi dua, yakni santri dan “abangan”. Santri yaitu orang Islam yang taat menjalankan ibadah, sedangkan “abangan” yaitu orang-orang Islam yang masih memegang kuat tradisi kejawen. Santri dan “abangan” berbaur menjadi satu dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Ahmad Tohari digolongkan dalam masyarakat santri. Lingkungan keluarga Ahmad Tohari yaitu lingkungan santri. Ia sudah dekat dengan lingkungan santri semenjak kecil. Ayah Ahmad Tohari yaitu ketua Nahdatul Ulama (NU) tingkat kecamatan yang sekaligus bekerja sebagai pegawai Kantor Urusan Agama (KUA). Kesantrian keluarga Ahmad Tohari dimulai semenjak generasi ayahnya.
Masyarakat “abangan” masih mempercayai adat-adat kejawen yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Mereka beribadah selayaknya orang Islam, namun di sisi lain mereka masih melaksanakan ritual-ritual kejawen. Ritual tersebut menyerupai menyimpan pusaka, mengeramatkan suatu tempat, percaya sesajen, dan lain-lain. Bentuk kebudayaan dan kesenian masyarakat “abangan” menyerupai wayang, lengger (ronggeng), kuda lumping, debus, dan lain-lain.
Ahmad Tohari hidup di pinggiran Jawa Tengah, tepatnya di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Ahmad Tohari hidup dalam lingkungan keluarga santri, namun masyarakat di sekitar lingkungannya mayoritas yaitu masyarakat “abangan”. Jadi, kaum santri yaitu kaum yang minoritas di desa Ahmad Tohari. Masyarakat “abangan” di desa Ahmad Tohari mayoritas masih buta karakter dan hidup bertani di ladang atau sawah yang kurang subur. Ahmad Tohari tidak selalu hidup di lingkungannya sendiri. Ia ikut berbaur bersama masyarakat “abangan” di desanya sehingga ia mengenal ritual-ritual kejawen, bahkan pertunjukkan ronggeng.
Berdasarkan pembahasan mengenai struktur sosial, novel OOP dan RDP mempunyai homologi atau persamaan dengan realitas sosial di masyarakat. Jadi, sanggup disimpulkan bahwa ada homologi antara struktur teks novel dan struktur sosial yang turut mengondisikan jalinan cerita.
D. Simpulan dan Saran
Ada keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Pandangan dunia Ahmad Tohari dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yaitu pandangan humanisme universal yang terdiri dari pandangan religius, kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan nilai moral. Institusi pemerintahan dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk memperlihatkan struktur sosial pada masa transisi Orde Lama dan Orde baru, sedangkan pada novel Orang-orang Proyek memperlihatkan struktur sosial pada pertengahan Orde Baru. Institusi religi memperlihatkan struktur religi masyarakat Jawa dibagi menjadi dua golongan, yakni santri dan “abangan”. Ada kaitan dan homologi antara struktur teks dan struktur sosial dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Pembaca sebaiknya mengimplementasikan nilai-nilai positif dalam karya sastra yang telah dibacanya dalam berperilaku di masyarakat. Nilai-nilai positif dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, menyerupai sikap memperjuangkan nilai-nilai humanisme, tidak mempercayai mitos, dan mempertahankan idealisme. Novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yaitu materi bacaan sastra yang berkualitas sehingga masyarakat disarankan untuk membacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tohari. 2007. Orang-orang Proyek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
________. 2009. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Amin Rahayu. 2005. ”Sejarah Korupsi di Indonesia” dalam http://swaramuslim.net/siyasah/more.php?id=2222_0_6_0_M.
Arif Yulianto. 2002. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Chennells, A.J. 1993. “Marxist and Pan-Africanist Literary Theories and a Sociology of Zimbabwean Literature”. Zambezia, XX (ii), 128-129.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik hingga Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Iswanto. 2003. “Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik” dalam Metodologi Penelitian Sastra (Jabrohim, ed.). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Jiwa Atmaja. 2009. Kritik Sastra Kiri. Bali: Udayana Univesity Press.
Nugraheni Eko Wardani. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Nyoman Kutha Ratna. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat.
Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistimologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: FBS UNY.
Titik Maslikatin. 2003. “Belenggu Karya Armijn Pane: Kajian Strukturalisme Genetik”. Jurnal Argapura. 23, No. 1: 1-20.
Wijang J. Riyanto, dkk. 2006. Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk. Surakarta: Taman Budaya Jawa Tengah
Zainuddin Fananie. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Buat lebih berguna, kongsi: