Kode Iklan Disini

Membunuh Waktu

 maka tak sedikit orang yang akan mengulangnya kembali Membunuh Waktu
Jika waktu memang benar-benar bisa diputar, maka tak sedikit orang yang akan mengulangnya kembali. Membenahi kesalahan-kesalahannya atau akan menghilangkan jejak masa kemudian dan kemudian mencoba kembali ke masa depan yang lebih cerah. Tak hanya itu, orang-orang yang telah kembali ke masa depan akan menjadi sesosok insan berjiwa gres tanpa masa lalu. Seolah-olah semuanya terkena amnesia waktu.
Sesosok badan kurus berwajah tirus itu terus mendendangkan lantunan kemarahan. Dia menatap pada waktu yang berada di belakangnya. Bisikan-bisikan iblis telah mengaliri seluruh darah melewati denyut nadinya. Terpompa oleh jantung yang hitam dan hasilnya menyeruak ke setiap partikel-partikel tubuhnya yang paling halus.
“Apa yang akan kamu lakukan padaku” waktu membisikkan kata padanya.
“Aku akan membunuhmu” jawabnya lantang penuh emosi.
“Untuk apa kamu lakukan itu? Semua akan sia-sia, dan kamu masih akan tetap di sini, di ujung usia yang selalu mengikutimu”
“Setidaknya saya akan hening sehabis membunuhmu. Dan kamu takkan mengikutiku lagi dari belakang. Kau memang pengecut. Pecundang!!”
“Kau yang pengecut! kenapa kamu tidak terima garis nasibmu? Aku hanya mengiringi jalanmu. Aku tak memilih nasibmu dan kamu tak berhak menyalahkan aku. Kau seharusnya tegar dan tetap pada langkah-langkahmu. Jika kamu membunuhku berarti kamu membunuh dirimu sendiri ”
“Brengsek……!!!” Dengan sekuat tenaga ia mengarahkan belati tepat pada jantung sang waktu.
Jeritan panjang pun mengiringi insiden itu. Tak ketinggalan juga, bunyi gagak-gagak liar telah mengalun di udara dan membumbung tinggi ke atas cakrawala. Namun semua tidak berjalan sesuai apa yang ia kehendaki.
“Apa yang kamu lakukan Sasti” seorang kakek berjubah putih menahan tangan Sasti yang sudah terkekang oleh sebuah emosi yang menggebu.
“Siapa kau?”
“Kamu tidak perlu tahu siapa aku. Aku hanyalah bab dari hidupmu yang tertunda. Semua belum selesai. Jika kamu menuntaskan semua kisah hidupmu di sini maka saya takkan ada di sampingmu kelak. Semua yang telah tercerai berai ke dalam sebuah garis waktu akan menyatu ke dalam sebuah kehidupan yang penuh makna” kakek itu mulai memperpanjang perkataannya.
Tak hanya itu, kakek itu terus memperlihatkan nasehat bagi jiwa Sasti yang rentan terbungkus emosi. Sasti kemudian hanya membisu dengan getaran kecil pada tubuhnya. Tubuhnya ingin berontak, namun mirip ada sesuatu yang menahan jiwanya untuk tetap membisu dan mendengarkan semua petuah kakek tersebut.
Semua yang terjadi pada Sasti bergotong-royong tak seharusnya di sesali hingga menumbuhkan perasaan benci terhadap masa lalu. Di antara hening malam itu. Sasti duduk terpaku berteman angin malam. Emosinya bertahap telah mereda berkat petuah-petuah dari kakek itu yang entah berasal dari mana. Tiba-tiba ia muncul bagaikan malaikat. Dan juga kini entah ke mana kakek itu pergi. Dia mirip hilang terbawa angin malam yang pekat. Ataupun memang ia ialah benar-benar malaikat yang di utus oleh Tuhan untuk menyadarkan Sasti. Sasti tak begitu mempersoalkan hal itu. Ia hanya merenungi kata-kata kakek tadi.
Setiap untaian kata yang diucapkan oleh kakek tadi terasa begitu membunuh semua emosi dalam badan Sasti. Sejenak kata dari kakek itu mirip tetes embun di kala pagi. Yang Sasti pikirkan ialah kata kakek yang menyatakan ia ialah bab dari hidupnya yang tertunda. Serangkaian kata yang membentuk kalimat itu terlalu pelik untuk dimengerti. Pikiran Sasti tak bisa mengejawantahkan kalimat itu. Semua yang ada di dalam benak Sasti hanya menghasilkan sebuah kisah yang menggantung dan berubah menjadi lukisan yang penuh kegelisahan.
Dan malam pun semakin bertambah malam. Pikiran Sasti sekarat dengan permasalahan yang menghinggapinya. Entah hingga kapan ia akan terus menyesali keadaan yang menimpanya. Kata-kata dari kakek berjubah yang bertemu dengannya tadi seakan-akan hanya mimpi belaka. Ia mulai lagi terhanyut pada sebuah angan kelam yang hitam. Ia mencicipi angin mirip bisikan setan untuk segera menghempaskan ke dalam waktu yang terus menyiksanya di dunia ini. Terlebih ia hanya sendirian di ruang itu. Sebuah bilik kamar yang sempit dan hanya terhiasi perabot-perabot lusuh yang mulai berselimut debu. Ia hanya berteman waktu. Terlantar di tengah deras angin puting-beliung kehidupan. Badai yang meluluhlantahkan singgasana kehidupannya.
Ia kemudian mencoba memahami, untuk apa ia hidup di dunia ini. Semua yang berada di tubuhnya hanyalah kotoran saja. Najis, barang kali itulah yang ada di otaknya selama ini. Ia merasa dirinya tak ubahnya sampah yang ibarat najis bagi orang-orang di sekitarnya.
Ia teringat awal mulanya kehancuran dirinya dalam menjalani hidup ini. Sebenarnya ia enggan sekali untuk membayangkan dan menceritakan semua wacana masa lalunya pada kesunyian. Namun tak tahu kenapa ia justru ingin mengingatnya. Semakin ia mencoba melupakan, bayangan itu semakin terulang dan menjadi semacam slow motion dalam angannya.
Ia mirip menenggak arak eksklusif dari dalam botol. Terasa sekali arak itu memperabukan kerongkongannya, namun ia tetap bersikeras untuk meminumnya. Semakin ia banyak minum, semakin bergairah pula untuk menenggak lebih banyak lagi dan akan semakin memperabukan saraf-saraf di seluruh tubuhnya. Begitu pun juga dengan waktu yang telah menyempurnakan bayangannya untuk menjelajahi masa kemudian yang kelam. Masa kemudian yang bergotong-royong tidak diinginkannya sama sekali. Ia terus menyalahkan waktu di belakangnya.
Lamunan Sasti menengok waktu di belakangnya. Ia melihat dirinya berada pada suatu emperan toko yang sudah melenggang sepi alasannya ialah malam telah larut. Tak ada kebisingan di sana . Hanya ada suara-suara gerimis bersahutan. Rasanya gerimis malam itu akan usang untuk reda.
Sasti menyesal mengapa ia tadi harus lembur di kantor untuk menuntaskan kiprah tadi siang yang belum selesai. Sebenarnya kiprah itu akan diselesaikannya besok pagi, namun atasannya menyuruhnya untuk menemani rapat besok pagi. Maka dengan terpaksa ia melembur kiprah itu alasannya ialah besok pagi kiprah itu harus dilaporkan.
Malam semakin larut. Sudah tidak ada angkutan umum yang melintas kawasan tersebut. Sasti menunggu taksi tapi tak kunjung datang. Ingin menelpon layanan taksi, tapi handphone-nya mati kehabisan daya battery.
“Sungguh sial” makinya dalam hati.
Ia hanya berjalan menulusuri emperan toko yang sudah tutup. Ia hanya berharap ada taksi lewat atau ada tukang ojek yang sanggup ia sewa untuk mengantarnya hingga ke rumahnya yang masih sekitar tiga kilo meter dari tempatnya berada. Ia tak bisa membayangkan bagaimana seandainya ia harus pulang ke rumah dengan jalan kaki. Bahkan kini rasa lelah dan kantuk telah merajam seluruh tubuhnya.
Rasa-rasanya ia tidak berpengaruh untuk berjalan lagi. Maka di sebuah depan toko yang tutup, ia menyandarkan tubuhnya dan masih berharap ada kendaraan umum yang melintas di jalan yang lenggang itu. Matanya semakin sayu beriring bunyi gemericik tetes gerimis. Dia pelan hendak memejamkan matanya, namun ia urung melakukannya alasannya ialah di depannya telah berdiri tiga sosok bayangan yang hitam. Ia mulai membuka matanya dengan cepat. Badannya berjingkrak terkejut alasannya ialah sosok bayangan di depannya ternyata ialah tiga lelaki dengan badan kekar dan terkesan kumal. Ketiga lelaki itu mendekap dirinya yang telah lemah terajam oleh lelah yang mendera.
Setelah itu Sasti tidak tahu apa yang terjadi. Ia tak sadar dengan semua yang telah terjadi. Ia hanya ingat saat tersadarkan oleh pagi dengan sinar mentari membuka matanya yang terlelap dalam alam bawah sadar. Ia sungguh terkejut. Sekumpulan orang mengelilinginya bahkan di antaranya dengan rona yang terlukis kata jijik. Sasti pun merasa jijik dengan keadaan tubuhnya. Tubuhnya hampir bugil dengan pakaian yang teroyak-koyak. Ia merasa ada yang terasa sakit di darah selangkangannya. Sasti menjerit histeris dan berlari gontai menjauh. Jauh dan jauh. Hingga waktu pun menertawakannya.
Sasti kembali ke dalam sebuah waktu yang ada di depannya. Ia melihat kisah hidupnya tampak kontras di setiap belahan waktu yang mengikutinya. Ia menghela napas. Terasa sesak napasnya untuk keluar dari rongga paru-paru melalui tenggorokannya. Seperti ada yang mengganjal dalam sistem pernapasannya yang membuatnya semakin kacau kembali. Ia mirip kerasukan sebuah bayangan yang ibarat lukisan masa lalu. Lukisan itu bergerak-gerak di dalam setiap ruang kosong dalam tubuhnya. Mulai dari urat-urat yang paling kecil, otot-otot, jaringan darah dan bahkan hingga organ-organ penting mirip otak, jantung, paru-paru dan banyak sekali organ lainnya.
Sasti mengerang-erang kesakitan. Raga dan jiwanya mirip tertusuk-tusuk duri yang tajam. Duri-duri dari masa kemudian yang kejam. Emosinya mulai meledak lagi. Tak ada di pikirannya kata–kata dari kakek tadi. Yang ada hanya sebuah kabut tebal di depan kelopak matanya dan menutupi setiap jengkal logika sehatnya.
Sasti menatap waktu yang telah menyatu dengan dirinya. Ia membelalakkan mata membuktikan kemarahannya kembali pada waktu di dalam tubuhnya. Setengah sadarnya mulai tak bekerja. Ia berdiri membelakangi waktu. Di lemparnya berpengaruh dingklik yang ada di depannya ke belakang tubuhnya.
Suara beling pecah. Gemuruh angin malam. Tak ada sinar rembulan. Semua tertutup awan yang semakin memekatkan malam. Tampak malam itu sekarat bagi serangga-serangga malam yang biasanya bersenandung mesra. Sedangkan Sasti berganti bersenandung lagu kengerian. Lagu meratap malam yang sekarat.
Dingin malam tak bisa meredam gemuruh di seluruh tubuhnya. Ia semakin benci pada tubuhnya yang kini menyatu dengan waktu. Waktu yang telah membelakanginya. Semakin dalam ia membelalakkan matanya pada wajah sang waktu. Ia menggeliat penuh dengan kekuatan. Seakan tenaganya ia kerahkan semua untuk menandingi pergulatan waktu di dalam tubuhnya.
Sasti menjerit keras. Jeritannya kini melengking hingga menembus cakrawala di ujung batas nirwana. Pesona wajah ayunya kini berubah ibarat iblis bagi dirinya sendiri. Diraihnya belati mengkilat di sudut meja. Tampak sekali wajahnya menyemburatkan senyum kemenangan. Kini ia niscaya sanggup membunuh waktu. Waktu yang telah meneggelamkan semua asanya, semua jerih payahnya. Ia telah memegang belati yang mengkilat itu tepat di tangan kanannya. Waktu karam tepat dalam raut kesedihan. Sasti mengacungkan belatinya tepat pada jantung sang waktu. Dengan pekikan bunyi yang sangat keras menyayat malam, ia sekuat tenaga menghujamkannya tepat pada jantung sang waktu.
Semua orang di sudut kota terbangun dari lelap tidurnya. Mereka mendengar pekikan keras yang sangat tidak nyaman sekali di dengarkan. Apalagi bunyi itu keluar di malam yang hampir menjemput fajar. Kemudian orang-orang gempar dengan gemuruh bunyi yang membumbung tinggi bergerak di angkasa. Suara pekikan gagak dan kepakan sayapnya telah menyelimuti kota dengan aura kepedihan. Semua orang menggigil takut. Namun beberapa kelompok orang dengan berani dan rasa ingin tahunya mengikuti arah ke mana gagak itu pergi. Dan iringan gagak tetap bergerak di suatu tempat, namun dengan gerakan yang memutar sambil terus menyanyikan irama pekikan keras menyayat hati.
Gagak-gagak itu memutari sebuah rumah yang kecil. Tampak dari luar sebuah ruangan yang diterangi sebuah lampu yang cahayanya remang. Orang-orang memasuki rumah itu dan menuju ruang yang remang dengan perasaan yang was-was. Mata orang-orang itu pun membelalak kaget mengetahui apa yang ada di ruang tu. Seorang perempuan muda bersimbah darah dengan belati menancap di dada kirinya. Tak hanya itu saja, tubuhnya membiru bau tanah dan matanya memerah darah. Lebih mengerikan lagi lidahnya menjulur keluar. Telinga dan mulutnya pun keluar darah yang menghitam.
Selintas di luar jendela berkaca pecah, terlihat seorang kakek berjubah putih menangis air mata darah.
Andi D Handoko
Surakarta, 18 Februari 2008

gambar dari: de-enjel.blogspot.com
Buat lebih berguna, kongsi:
close