Terlarut panjang kakinya melangkah diantara liku-liku jalan. Jarak yang begitu jauh meletihkan rajutan otot tubuhnya. Tak terasa peluh mulai mengaliri antara bagian-bagian tubuhnya. Seolah ia hanya terbang dengan sayap yang bahwasanya hanya sepasang kaki. Mengayuh ringan tubuhnya hingga terhempas ke kawasan yang jauh. Tempat aneh bagi mata dan arahnya. Sepasang kakinya kini mulai terayun pelan. Segala daya mulai menghimpit letih yang hilang sadar. Sebentuk ruh mungkin gres terlepas dari tubuhnya dengan menyisakan sesak di dada. Terdengar napas yang memburu tak beraturan. Tubuhnya terasa remuk hingga sendi-sendi ibarat lepas dari tulang belulangnya.
Ia sadar.
Tubuhnya kini bersandar pada kuatnya batang mahoni yang gagah menancapkan akarnya ke dalam bumi. Sementara daunnya bagaikan atap dunia, melindungi siapa saja yang berada di bawahnya. Sejenak napasnya terbantu oleh semilir angin yang menerpa wajahnya. Berusaha menguapkan butiran keringat yang melekat di dahinya.
Ia mulai menyesali perihal apa yang gres saja terjadi. Memeluk bayangan , terasa melekat diantara ruang pikirnya. Matanya menerawang jauh ke sekumpulan awan putih di tengah megah azzura langit.
Ruang batinnya membendung luapan tangis dan tak sanggup keluar dari sudut matanya. Hanya penat tertahan di hati dan membuatnya semakin terlunta-lunta. Seandainya luapan itu keluar dari sudut matanya , mungkin akan sedikit membuatnya lega.
Matanya tertuju pada sebelah tangannya. Bintik-bintik hitam agak kemerah-merahan terlihat menghiasinya. Bahkan ada yang melebar hingga sela-sela jari dan telapak tangannya. Timbul dalam benak pikirannya bahwa itu ialah lukisan alami yang memiliki seni tinggi.Bukan! Bukan lukisan alami, namun lukisan yang muncul tanpa di sengaja. Entah apa namanya. Mungkin anggapan itu terasa sangat konyol. Sebentuk lukisan yang menghiasi tangannya muncul sesudah ia melaksanakan suatu hal di luar kesadarannya.
Ya.Ia gres saja melaksanakan hal terburuk semasa hidupnya. Sekerlip bayangan muncul di depan ruang mata dan batinnya. Sesosok bayangan lelaki dan wanita berada di sebuah ruang yang temaram. Ruang yang mungkin di sengaja di buat remang-remang semoga cahaya tidak masuk dari luar. Senja seolah menolong ruang itu, sehingga mulai tampak sebuah keremangan yang terlihat semakin menuju gelap.
Mereka menari layaknya tarian setan yang melahirkan permainan napas dan peluh mengucur dengan deras. Pintu ruang itu terbuka. Cahaya masuk dari celah pintu yang di buka dari luar. Sesosok cowok muncul dengan pakaian agak lusuh. Mungkin ia gres saja melaksanakan pekerjaan berat dan menciptakan penampilannya terkesan lusuh. Raut mukanya seketika berubah merah menyala seakan mau aben habis semua yang ada di hadapannya. Wajah kusamnya menjilat-jilat api kemarahan Geram hati, perasaan dan pikirannya meluap begitu saja.
“Mona” Sentaknya.
Seketika lelaki dan wanita yang di hadapannya terperangah melihatnya. Tarian setan pun berhenti. Kedua pasang mata mereka tampak memperlihatkan ekspresi kaget sekaligus takut. Terlihat mereka segera menutupi tubuhnya yang tak tertutupi secuil busana.
Perempuan itu segera menarik selimut yang berada di sampingnya. Sebuah celana kolor di atas ranjang di sambar tangan lelaki itu dengan cepat.
“Paman..!” Sentaknya lagi.
“Firman? Aku……aku……” ucap lelaki itu terbata-bata.
“Bangsat kalian”
“Istri sundal”
“Lelaki biadap” Ucap cowok itu dengan nada yang super tinggi.
Tiba-tiba tatapan cowok itu kosong.
Gelap. Seluruh pembendaharaan matanya hanya melihat ruang gulita. Hanya tertangkap di kedua matanya sepasang serigala, yang satu tampak serigala jantan dan yang satu lagi serigala betina. Mata sepasang serigala itu keluar sebuah sinar penuh dosa. Tubuh cowok itu bergetar seolah ada ruh yang merasukinya. Dengan langkah terrtatih namun menggebu cowok itu mendekat sepasang serigala di hadapannya dengan amarah memuncak.
“Plak..!”
Tangannya terayun keras. Sebuah tamparan yang lebih yummy di dengar dengan sebutan gamparan kuat, mendarat sempurna di muka serigala jantan. Keberingasan segera muncul sesudah menerima perlakuan yang menciptakan muka serigala itu sakit. Keduanya masuk ke dalam sebuah permainan emosi. Dua makhluk Tuhan terlibat perkelahian sengit.
Dalam keadaan itu, ibarat tidak ada nurani, moral, atau aturan yang berlaku. Hanya insting terbalut amarah yang berfungsi. Satu-satunya hokum yang berlaku ialah hokum rimba. Siapa yang berpengaruh beliau yang dapat., wlau harus menyalahi kodrat alam. Keduanya mengandalkan insting untuk saling mengalahkan.
Serigala betina menjerit sejadi-jadinya. Melonglong meronta-ronta hingga suaranya kian merapuh. Ia ingin menghentikan perkelahian. Namun, siapa yang akan di belanya. Bingumg,cemas, takut menyergap di semua penjuru tubuhnya.Ia pun mengerahkan segala dan upaya untuk melerainya. Akhirnya perkelahian terhenti.
Sunyi.
Di ruang itu hanya terdengar napas yang terus berpacu. Dua pasang mata masih bertatapan penuh amarah. Sepasang mata cowok itu semakin mengobarkannya. Mata cowok itu beralih dan menangkap dengan sinis sosok serigala betina. Tanpa sengaja matamya juga menangkap sebilah pisau di atas meja. Tubuhnya seolah semakin bergetar seakan ada energi yang masuk dengan cepat dan mendorongnya mengambil pisau tersebut. Dengan langkah seribu ia mengambil pisau tersebut. Dengan arah menyudut ia menghunuskan pisau ke arah serigala jantan sempurna kearah perutnya. Satu teriakan panjang, satu lenguh kesakitan,satu bacokan dan mungkin satu nyawa melayang.
Pemuda itu terdiam. Kemudian ia tercengang alasannya melihat serigala yang di tusuknya berkembang menjadi sesosok lelaki yang ada di hadapannya tadi. Melihat kenyataan itu ia dengan langkah seribu pula meninggalkan mereka di ruang tersebut tanpa melihat bagaimana kondisinya.
Bayangan itu lenyap.
…..***….
Hanya terdengar bisikan angin menerpa dedaunan. Ranting-ranting kecil menari seirama kepakan sayap dedaunan. Napasnya mulai damai sesudah mengikuti keadaan dengan suasana sekitar. Ia meluruskan kaki dan lebih mendekatkan tubuhnya ke batang pohon untuk memperbaiki posisi sandarannya.
Firman. Ia masih berpikir dan merenungi bayangan-bayangan yang tadi melintas. Bayangan itu bahwasanya kasatmata dialaminya sendiri. Dalam bayangannya wanita itu ialah istrinya. Ia berjulukan Mona. Mona ialah istri yang sangat dan sangat dicintainya. Baginya Mona ialah bidadari yang di turunkan Tuhan untuknya. Mona memang manis dan menawan. Tutur kata dan perilakunya ramah serta lemah lembut. Ia memperistri Mona tidak dengan begitu mudahnya. Pengorbanannya sangat besar untuk mengakibatkan Mona sebagai istri. Bagaimana tidak? Ia harus menentang kedua orang tuanya . Kedua orang tuanya tidak menyetujui kekerabatan mereka. Bukan alasannya faktor kekayaan atau derajat yang dipermasalahkan, namun dendam masa kemudian antara orang bau tanah dari dua belah pihak. Dendam yang mungkin terlalu besar sehingga tidak sanggup reda untuk waktu yang lama.
Menghadapi hal itu, Firman dan Mona tidak mengalah begitu saja. Masih ada yang mendukung mereka yakni eyang kakung Firman. Eyangnya menyetujui mereka dan menikahkan keduanya alasannya takut terjadi suatu hal yang tidak diinginkan menimpa keduanya. Setelah menikah mereka kabur meninggalkan keluarganya masing-masing untuk meneruskan hubungannya.Mereka pergi dengan membawa bekal secukupnya. Mereka pergi ke kawasan yang jauh dari kawasan mereka sebelumnya.
Satu tahun pernikahan. Mereka harus menjalani hidup secara sederhana di sebuah kontrakan. Mona mengandalkan keterampilan menjahitnyayang diperoleh dari kursus selama setahun sesudah lulus SMA. Sedangkan Firman dengan predikat lulusan Sekolah Menengan Atas hanya kerja serabutan. Gajinya tak menentu. Penghasilan Mona dari menjahit juga tak seberapa. Kebutuhan mereka tercukupi dengan penghasilan itu walau harus pas-pasan dan sering kali menunggak pembayaran kontrak yang tidak mengecewakan mahal.
Suatu hari dengan tidak sengaja Firman bertemu dengan Pamannya. Rumah pamannya berada di kota yang tidak jauh dari kota yang di tempati Firman. Dulu pamannya sering menawarkan mainan kalau berkunjung ke rumah Firman sewaktu beliau masih kecil. Dari pertemuan itu, Firman bicara bamyak perihal persoalan hidupnya. Mulai dari orang bau tanah yang menentang pernikahannya hingga berat hidupnya sekarang. Pamannya yang memiliki dua anak itu masih terlihat muda. Sayang ia harus kehilangan istrinya untuk selamanya. Istrinya meninggal dua setengah tahun yang kemudian dikala melahirkan anak keduanya. Pamannya gres tahu persoalan Firman itu alasannya semenjak istrinya meninggal ia belum pernah mengunjungi kerabat-kerabatnya termasuk keluarga Firman.
Sejak dikala itu Firman di beri pekerjaan oleh pamannya. Ia bekerja sebagai pekerja teknis di sebuah pabrik pengolahan besi. Pamannya hanya sanggup menempatkan di sana alasannya lowongan lainnya sudah terisi. Firman sangat berterima kasih kepada pamannya. Tidak hanya itu, pamannya menyuruh Firman dan istrinya untuk tinggal di sebuah rumah sederhana yang berada tidak jauh dari rumah pamannya. Masih dalam satu komplek. Rumah itu bahwasanya salah satu rumah yang dikontrakkan pamannya, namun sudah setahun ini tidak ada yang mengontraknya. Mulanya Firman menolaknya alasannya selain tidak enak,ia juga merasa pamannya sudah terlalu baik dengan apa yang ia lakukan kepadanya.Akhirnya Firman luluh dan mendapatkan untuk tinggal di sana sesudah di bujuk pamannya.
“Anggap saja ini rumah dinasmu atau hadiah dariku ibarat dulu saya sering memberimu mainan”. Bujuk pamannya.
…***…
Mona dan Firman sudah tinggal di sana selama satu tahun. Mereka hidup lebih bercukupan, walau harus lelah bekerja dengan setumpuk pekerjaan yang tidak mengecewakan berat, namun gajinya cukup besar. Mereka mencicipi keganjalan pada diri mereka. Mereka merasa kesepian alasannya belum menimang anak.
Di suatu siang, Firman pulang kerja lebih awal dari biasanya. Sanpai di rumah ia mendapatkan paman dan Mona ngobrol di ruang tamu. Hal ini sering terjadi dan menciptakan Firman curiga, namun pikiran itu segera ditepisnya. Ia berpikir bahwa itu sebuah kewajaran seorang paman yang menjemput bertamu ke rumah ponakkannya.
“Sudah pulang, Man”
“Sudah Om”. Firman menyebut pamannya dengan sebutan Om.
“Ada apa paman kok tumben main kemari”. Firman basa-basi.
“Ini….cuma ngobrol sama istrimu, Eh Man! Tadi istrimu mengeluh alasannya kalian belum memiliki anak”.
“Ya mungkin belum waktunya Om”
“Pasti sebentar lagi kalian punya anak”
“Mudah-mudahan Om, saya bersyukur sekali kalau itu terjadi”.
Mona muntah-muntah di belakang rumah. Firman menghampirinya dan menanyakan keadaannya. Ia kemudian membawa Mona ke Puskesmas terdekat. Ia harus membolos kerja hari ini.Setelah melaksanakan investigasi wajah mereka malah berseri-seri. Dokter gres saja memberi tahu bahwa Mona hamil satu bulan. Tiga hari sesudah kabar menggembirakan itu Firman pulang lebih cepat padahal hari ini kegiatan biasanya ia lembur. Ia pulang dan masuk ke rumah. Ia pribadi menuju ke kamarnya.
Bayangan itu kembali. Ia tergagap bangun dari lamunannya. Angin masih mengalun pelan menerpa pohon yang menaunginya. Suara lenguhan keluar dari mulutnya membuktikan letih yang tak tertahan. Ia merasa bosan dengan suasana sekitar. Ia mencoba bangun untuk pergi dari kawasan itu. Baru saja ia menekuk lututnya untuk berdiri, ada dua pasang kaki bersepatu di hadapannya. Matanya mulai berjalan dari arah kaki bersepatu itu. Pelan namun kasatmata dan pasti. Sampailah matanya menatap wajah sosok di depannya.
“Polisi!”. Bisiknya lirih dengan sambutan senyum sinis.
Andi D Handoko, Cerpen ini terangkum dalam buku Antologi Cerpen joglo#3 terbitan Taman Budaya Jawa Tengah.
gambar dari:http://jengki.com
Buat lebih berguna, kongsi: