Kode Iklan Disini

Implikatur Dalam Kolom “Mr. Pecut” Jawa Pos

Oleh: Andi Dwi Handoko dan Ristyowati

ABSTRAK
“Mr. Pecut” yakni salah satu judul kolom dalam surat kabar Jawa Pos. Bahasa yang digunakan di kolom ini bersifat implikatif sehingga sanggup menjadi sebuah kajian yang menarik. Implikasi pada bahasa kolom ini mengakibatkan pengaruh tertentu bagi khalayak yang membacanya. Kolom ini lebih menekankan bahasa yang menyatakan sindiran pada pihak-pihak tertentu. Sindiran ini tidak disampaikan eksklusif namun disampaikan secara tersirat. Untuk memahami implikatur pada kolom ini pembaca juga harus memahami konteks yang menyertainya. Humor juga ditekankan pada penggunaan bahasa di kolom ini. Sindiran-sindiran yang digunakan pada kolom ini seringkali menjadi sebuah hal yang lucu. Tulisan ini akan membahas perihal implikasi-implikasi berdasarkan konteksnya yang terdapat pada kolom “Mr. Pecut” surat kabar Jawa Pos. Pengambilan sampel dilakukan pada simpulan Maret 2009.

Kata kunci: pragmatik, implikatur, konteks.

PENDAHULUAN
Pragmatik merupakan subdisiplin linguistik interdisipliner yang tidak hanya terbatas pada kerangka teori saja namun merupakan ilmu yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Pragmatik cenderung mengaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme dari pada ke arah formalisme. Penerapan pragmatik dalam kehidupan sehari-hari sanggup diketahui dengan menganalisis bentuk-bentuk penggunaan bahasa baik secara ekspresi maupun goresan pena yang berwujud tuturan. Menurut Cruse (dalam Louise Cummings, 2007:3) pragmatik sanggup dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima
secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks kawasan penggunaan bentuk-bentuk tersebut [penekanan ditambahkan].
Dalam goresan pena Tri Sulistyaningtyas, Yule (1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (a) bidang yang mengkaji makna pembicara; (b) bidang yang mengkaji makna berdasarkan konteksnya; (c) bidang yang melebihi kajian perihal makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasi-kan oleh pembicara; (d) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi berdasarkan jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Bahasa merupakan alat pertukaran informasi, namun kadang-kadang informasi yang dituturkan olah komunikator mempunyai maksud terselubung. Oleh lantaran itu setiap insan harus sanggup memahami maksud dan makna tuturan yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Dalam hal ini tidak hanya sekedar mengerti apa yang telah diujarkan oleh si penutur tetapi juga konteks yang digunakan dalam ujaran tersebut. Kegiatan semacam ini akan sanggup dianalisis dan dipelajari dengan Pragmatik
Dalam kajian ilmu pragmatik juga dibahas perihal implikatur. Bahkan implikatur disebut-sebut sebagai inovasi yang mengagumkan dan mengesankan dalam kajian ilmu pragmatik. Hal ini patut dinilai kebenarannya lantaran pada penggunaan bahasa di kehidupan sehari-hari sering terjadi salah paham (misunderstanding) yang mengakibatkan maksud dan informasi dari sebuah ujaran tidak tersampaikan dengan baik. Masalah–masalah menyerupai ini yakni kajian pragmatik yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Dapat kita ketahui berapa banyak macam penggunaan bahasa yang bersifat implikatif menyerupai iklan, kolom-kolom di surat kabar, SMS, tindak tutur dalam telepon, bahkan tindak tutur yang terjadi secara eksklusif antara dua orang. Untuk memahami bentuk-bentuk bahasa yang implikatif perlu adanya pengajian dan analisis yang mendalam. Selain itu, dalam mengaji dan menganalisis memerlukan kepekaan dengan konteks yang melingkupi kejadian kebahasaan itu.

IMPLIKATUR DAN KONTEKS
Konsep perihal implikatur kali petama dikenalkan oelh H.P. Grice (1975) untuk memecahkan dilema perihal makna bahasa yang tidak sanggup diselesaikan dengan teori semantik biasa. Brown dan Yule (dalam Rani dkk 2006:170) memberikan bahwa implikatur digunakan untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah.
Suatu konsep yang paling penting dalam ilmu pragmatik dan yang menonjolkan pragmatik sebagai suatu cabang ilmu bahasa ialah konsep implikatur percakapan. Konsep implikatur ini digunakan untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasi”. Sebuah ujaran sanggup mengimplikasikan proposisi, yang bahwasanya bukan merupakan cuilan dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari ujaran.
Dapat didefinisikan bahwa implikatur yakni maksud yang tersirat dalam sebuah ujaran. Kadang kala suatu ujaran sulit menerima pengertian lantaran menyembunyikan suatu maksud tertentu.
Levinson (dalam Rani dkk, 2006:173) mengemukakan ada empat kegunaan konsep implikatur, yaitu:
1. sanggup memperlihatkan klarifikasi makna atau fakta-fakta yang tidak terjangkau oleh teori linguistik.
2. sanggup memperlihatkan suatu klarifikasi yang tegas perihal perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa.
3. sanggup memperlihatkan pemerian semantik yang sederhana perihal hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.
4. sanggup memerikan banyak sekali fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora).
Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah ketidaksengajaan atau tidak mempunyai fungsi tertentu. Penggunaan implikatur dalam berbahasa mempunyai pertimbangan menyerupai untuk memperhalus tuturan, menjaga watak kesopanan, menyindir dengan halus (tak langsung), dan menjaga biar tdak menyinggung perasaan secara langsung. Dalam tuturan implikatif, penutur dan lawan tutur harus mempunyai konsep yang sama dalam suatu konteks. Jika tidak, maka akan terjadi suatu kesalahpahaman atas tuturan yang terjadi di antara keduanya. Dalam hubungan timbal balik di konteks budaya kita, penggunaan implikatur terasa lebih sopan, contohnya untuk tindak tutur menolak, meminta, memberi nasihat, menegur dan lain-lain. Tindak tutur yang melibatkan emosi kawan tutur pada umumnya lebih diterima kalau disampaikan dengan implikatur.
Kemampuan untuk memahami implikatur dalam sebuah tuturan tergantung pada kompetensi linguistik yang dikuasai seseorang. Seorang penutur mustahil menguasai seluruh unsur bahasa lantaran kompetensi linguistik seseorang itu terbatas. Namun dengan keterbatasan ini, seorang penutur bisa menghasilkan ujaran yang tidak terbatas. Seorang penutur dan lawan tutur akan bisa memahami dan menghasilkan ujaran gres yang benar-benar gres dalam bahasanya.
Konteks yakni teks yang menyertai teks. Secara garis besar, konteks dibedakan atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yakni konteks yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik itu meliputi penyebutan depan, sifat kata kerja, kata kerja bantu, dan proposisi positif. Konteks ekstralinguistik yakni konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu meliputi praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode.
Hymes, Brown (dalam Louise Cummings, 2007:190) menyebutkan bahwa komponen-komponen tutur yang merupakan cirri-ciri konteks, ada delapan macam, yaitu: (1) penutur (addresser), (2) pendengar (addrese) (3) pokok pembicaraan (topic), (4) latar (setting), (5) penghubung: bahasa ekspresi atau goresan pena (channel), (6) dialek/stailnya (code), (7) bentuk pesan (message), (8) peristiiwa tutur (speech event).
Tanpa memperhatikan konteks, sanggup terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi. Makara konteks sangat penting dalam berkomunikasi lantaran intinya konteks yakni salah satu kunci untuk memahami dari sebuah tuturan dengan maksud yang terselubung.

PEMBAHASAN
“Mr. Pecut” merupakan salah satu kolom dalam surat kabat Jawa Pos (JP). “Mr. Pecut” dalam surat kabar lain, sering disebut dengan wacana pojok, lantaran biasanya terdapat di pojok dalam sebuah surat kabar. Di Harian Kompas dan Kedaulatan Rakyat menggunakan istilah Pojok. Di Suara Merdeka menggunakan istilah Semarangan dan di Solopos menggunakan istilah Nuwun Sewu. Kolom “Mr. Pecut” terdiri dari nama kolom, inti wacana dan sebuah gambar. Wacana pojok disusun oleh redaktur surat kabar untuk menanggapi, berita-berita yang pernah tampil di medianya dengan singkat dan bergaya ironi. Nama kolom ini juga mempunyai implikatur dengan perspektif tanda yakni penggunaan nama “Mr. Pecut”. Pecut yakni sinonim dari kata cambuk. Pecut menunjukan alat untuk mencambuk. Alasannya cambuk atau pecut dianalogikan dengan sindiran yang menyakitkan. Sedangkan penggunaan “Mr.” yakni abreviasi dari kata “Mister” yang merupakan pengelola dari kolom itu sendiri. Mengambil istilah dari goresan pena I Dewa Putu Wijana, inti dari wacana pojok (Mr.Pecut) terdiri dari dua cuilan yakni situasi dan sentilan.
Situasi berisi perihal kejadian kasatmata atau opini yang diambil dari sebuah informasi yang sebelumnya dimuat di dalam surat kabar tersebut. Sentilan merupakan komentar atas kejadian atau opini dalam inti wacana. Komentar-komentar tersebut bisa berupa sanggahan, sindiran, kritikan, masukan, saran, ajukan dan lain-lain. Komentar-komentar tersebut sering menggunakan kata-kata pedas yang disajikan secara singkat dan implisit. Komentar-komentar dalam kolom “Mr. Pecut” atau dalam wacana pojok pada umumnya cenderung memihak rakyat. Komentar-komentar tersebut mempunyai implikatur-implikatur yang sanggup dipahami dengan mengaitkannya dengan konteks yang ada. Ada pun contoh-contoh implikatur dalam kolom “Mr. Pecut” yakni sebagai berikut,

(1) Kembali bertemu, Mega-Sultan semakin dekat.
Tapi nggak jaminan salah satu mau jadi cawapres!
(JP, 23/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menggambarkan bahwa hubungan Megawati dan Sultan semakin bersahabat untuk menghadapi Pemilu lantaran mereka kembali bertemu. Implikatur dalam sentilan tersebut yakni pernyataan yang memberikan sindiran bahwa kedekatan dan pertemuan itu tidak mengindikasi salah satu dari mereka mau menjadi calon wakil presiden lantaran pada konteksnya, Sultan dan Megawati sama-sama berambisi untuk menjadi Presiden.

(2) Kasus DPT fiktif, lantaran Parpol lalai mengecek.
Malah sibuk mengecek pemasangan baliho!
(JP, 23/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa inovasi masalah DPT (Dafar Pemilih Tetap) dalam Pemilu disebabkan oleh Partai Politik yang lali mengecek DPT tersebut. Implikatur dalam sentilan waacana di atas yakni sindiran dari pengelola “Mr. Pecut” kepada Partai Politik yakni mereka lalai mengecek DPT lantaran mereka lebih sibuk memasang baliho-baliho yang digunakan sebagai media kampanye. Jika tidak mengetahui konteks yang asli, seorang pembaca sanggup salah mengartikan bahwa ungkapan “memasang baliho” yakni memasang baliho untuk iklan atau lainnya.

(3) Cari Cawapres, tim JK temui Sutiyoso.
Tenang, yang ini nggak bisa bikin SBY sakit perut.
(JP, 23/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa untuk mencari Calon Wakil Presiden, Tim sukses dari Jusuf Kalla (JK) menemui Sutiyoso. Hal ini berarti ada kecenderungan bahwa JK akan merekrut Sutiyoso untuk dijadikan pasangan Capres dan Cawapres dalam Pemilu. Implikatur yang muncul dalam sentilan wacana di atas yakni pernyataan untuk tetap tenang, lantaran hal tersebut tidak menciptakan SBY gusar. SBY tidak akan gusar lantaran SBY tidak mempunyai pandangan untuk menentukan Sutiyoso sebagai Cawapres-nya.

(4) Amien Rais intruksikan biar PAN tinggalkan SBY.
Kasihan Pak, sudah banyak yang ninggalin!
(JP, 25/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa Amin Rais mengintruksikan biar PAN meninggalkan SBY. Dalam sentilan ditanggapi dengan bahasa yang menyatakan simpati dan agak menyindir SBY. Implikatur dalam sentilan tersebut yakni rasa simpati terhadap SBY yang ditinggalkan orang-orang terdekatnya saat menghadapi Pemilu yang akan berlangsung. Berdasarkan konteks, contohnya yakni bahwa SBY ditinggalkan Jusuf Kallawakil presidennyayang maju sebagai calon presiden bagi partai Golkar.

(5) Gelandangan di Washington berponsel dan menulis blog.
Kalau di sini, kadang nyolong ponsel dan agak goblok…
(JP, 25/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa gelandangan yang hidup di Washington mempunyai ponsel dan bisa menulis di blog. Dalam sentilan, redaktur yang menciptakan sentilan membandingkan situasi tersebut dengan situasi di Indonesia sehingga implikatur dalam sentilan tersebut yakni gelandangan di Indonesia tidak mempunyai ponsel tetapi justru mencuri ponsel. Selain itu gelandangan di Indonesia tidak bisa menulis di blog lantaran intinya mereka goblok (bodoh).

(6) KPU: dingklik sisa bunyi ditentukan lewat undian
Hehehe, pemilu gaya togel!
(JP, 25/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa pada pemilu yang akan berlangsung, KPU memperlihatkan informasi bahwa dingklik sisa bunyi ditentukan lewat undian. Hal ini menjadikan jawaban dari pengelola kolom “Mr. Pecut”. Tanggapan itu berupa banyolan dengan gaya menyindir dan mengritik. Immplikatur dalam sentilan itu memberikan bahwa kalau sisa bunyi ditentukan lewat undian maka Pemilu menyerupai permainan togel yang hanya ditentukan oleh faktor keberuntungan. Togel pernah menjadi fenomena yang marak di masyarakat Indonesia. Oleh lantaran itu, kalau penentuan sisa bunyi itu benar-benar ditentukan oleh undian maka politikus-politikus sama saja dengan pemain togel.

(7) KPU isyaratkan Pilpres tanpa kampenye terbuka.
Maklum, kita sudah malas dengan omong kosong!
(JP, 26/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa KPU mengisyaratkan biar Pemilihan presiden yang akan berlangsung dilakukan tanpa adanya kampanye terbuka. Sedangkan implikatur dalam sentilan tersebut memberikan bahwa selama ini kampanye untuk pemilihan presiden, rakyat hanya disuguhi kampanye yang berisi kata-kata bohong atau janji-janji palsu. Sehingga pengelola sentilan yang ikut statusnya menjadi rakyat menyindir situasi tersebut dengan sudut pandang “kita”.

(8) JK naik becak ke lokasi kampanye.
Ah, susahnya cari suara….
(JP, 26/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa untuk menuju lokasi kampanye Jusuf kalla (JK) rela naik becak. Hal tersebut sangat jarang terjadi, lantaran biasanya seorang pejabat menggunakan kendaraan beroda empat glamor untuk pergi ke suatu tempat. Hal itu menjadi sebuah hal yang ironis, sehingga pengelola “Mr. Pecut” melontarkan “Ah, susahnya cari suara...”. Implikatur dalam sentilan tersebut memberikan jawaban bahwa untuk mencari bunyi dalam pemilu, JK rela naik becak saat akan menuju lokasi kampanye.

(9) Pemerintah perpanjang penyaluran BLT
Biar sekalian bisa buat kampanye pilpres!
(JP, 26/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa pemerintah memperpanjang penyaluran BLT (Bantuan Langsung Tunai) kapada masyarakat miskin. Situasi tersebut terjadi pad konteks Pemilu yang akan berlangsung sehingga dikhawatirkan kebijakan itu mempunyai maksud-maksud tertentu. Sindiran terhadap situasi itu dilontarkan dengan jawaban “Biar sekalian bisa buat kampanye Pilpres”. Implikatur dalam sentilan tersebut yakni alasan pemerintah memperpanjang penyaluran BLT lantaran mempunyai maksud untuk berkampanye dalam menghadapi Pemilu yang akan berlangsung. Dalam hal itu muncul istilah, “sekali mendayung, dua hingga tiga pulau terlampaui” lantaran disamping kebijakan pemerintah terus berjalan, kampanye pun juga berjalan.

(10) Tak hadir sidang korupsi Paskah Suzetta alasan sibuk.
Ya, sibuk bikin alasan!
(JP, 27/3/09).

Situasi dalam wacana itu yakni “Tak hadir sidang korupsi Paskah Suzetta alasan sibuk”, sedangkan elemen sentilan yakni “Ya, sibuk bikin alasan”. Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa Paskah Suzetta yang terkena masalah korupsi tidak bisa menghadiri sidang lantaran ia beralasan sibuk. Jika di dasarkan pada konteks, Paskah Suzetta mungkin saja memang benar-benar sedang sibuk. Lain halnya dengan sentilan dalam wacana tersebut yang berbau sindiran. Sentilan tersebut mempunyai implikatur bahwa Paskah Suzetta tidak hadir dalam sidang lantaran bukan lantaran sibuk pekerjaan atau urusan lain, akan tetapi sibuk mencari alasan. Jika dikaitkan dengan konteks, hal ini ada benarnya lantaran pejabat-pejabat yang terkena masalah pidana di negeri ini sering menghindar kalau di panggil untuk menghadiri sidang sehingga mereka sibuk mencari alasan untuk tidak bisa tiba ke sidang tersebut.

(11) Hari pemilihan, minta TKI diliburkan.
Ah, tergantung majikannya dong!
(JP, 27/3/09).

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa saat hari pemilihan yakni Pemilihan Umum, pemerintah minta TKI untuk diliburkan. Akan tetapi dalam sentilan , hal tersebut menjadi sebuah wacana yang ironis. berdasarkan pada konteks yang ada, sentilan tersebut mempunyai implikatur bahwa pemerintah tidak berhak untuk meliburkan TKI lantaran setiap TKI mempunyai majikan sendiri. Sehingga dalam hal ini sentilan ini secara tidak eksklusif menyindir para majikan TKI yang sering mengikat hak para TKI sehingga sering kali mereka seakan-akan berkuasa atas hak para TKI yang bekerja padanya.

(12) Bertemu Muhaimin dan Soetrisno Bachir, SBY ajak selesaikan pemerintahan.
Bilang aja mau ngajak koalisi.
(JP, 27/3/09).

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa SBY mengadakan pertemuan dengan Muhaimin dan Soetrisno Bachir dengan tujuan untuk menuntaskan dilema dalam pemerintahan. Akan tetapi dalam sentilan pernyataan itu menjadi sebuah pernyataan yang implisit, yakni SBY mengadakan pertemuan dengan Muahaimin dan Soetrisno Bachir mempunyai maksud untuk mengajak mereka untuk koalisi dalam Pemilu yang dalam waktu bersahabat akan dilangsungkan. Berdasarkan konteks, hal itu mempunyai kebenaran yakni Muhaimin dan Soetrisno Bachir, keduanya yakni ketua umum partai politik yang mempunyai kader dan simpatisan yang besar.

(13) Dana talangan cair proyek tol mangkrak.
Jangan-jangan, investornya sibuk kampanye?
(JP, 28/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa dana talangan sudah cair, akan tetapi proyek tol tetap mangkrak. Hal ini menjadi ironis saat dana untuk proyek jalan tol itu cair, namun proyek iu sendiri masih tetap mangkrak. Sehingga muncul pertanyaan “Kemanakah dana yang cair tersebut?”. Dalam dilema ini muncul sentilan “Jangan-jangan, investornya sibuk kampanye.” Sentilan tersebut mempunyai implikatur berupa sindiran dan anggapan bahwa dana talangan proyek jalan tol yang turun kemungkinan digunakan para investor untuk melaksanakan kampanye lantaran pada konteksnya waktu itu sedang gencar-gencarnya orang-orang melaksanakan kampanye untuk meyongsong Pemilu.

(14) Survey terakhir: Partai Demokrat, PDIP dan Golkar tiga besar
Semoga bukan survey pesanan mereka bertiga…
(JP, 28/3/09)

Situasi dalam wacana di atas yakni survey yang dilakukan terakhir kali menyatakan bahwa Partai Demokrat, PDIP dan Golkar yakni tiga partai dengan perolehan bunyi terbesar. Implikatur dalam sentilan yang tertulis di atas yakni adanya impian bahwa survey tersebut bukan pesanan dari tiga Parpol tersebut. Jika melihat konteks, hal ini ada sebuah kecenderungan bahwa kalau hal tersebut benar-benar pesanan Parpol-Parpol tersebut maka hal tersebut sanggup mendongkrak popularitas mereka untuk menghadapi Pemilu.

(15) Pelanggaran kampanye, Demokrat terbanyak.
Yang ini sungguhan, bukan hasil survey.
(JP, 28/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa Partai Demokrat yakni partai dengan pelanggaran yang paling banyak dalam kampanye. Situasi dalam wacan di atas menerima penguatan dari pengelola “Mr. Pecut” yakni hal tersebut memang benar dan muncul impian kalau hal tersebut yakni bukan hasil dari survey. Implikatur dalam sentilan di atas yakni penguatan bahwa Partai Demokrat melaksanakan pelanggaran kampanye paling banyak dibanding partai lain dan hasil tersebut bukanah hasil dari sebuah survey. Hal ini juga mempunyai implikatur bahwa adanya penginformasian untuk bersikap hati-hati dan kritis terhadap hasil suatu survey.

PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, sanggup disimpulkan bahwa implikatur dalam kajian Pragmatik merupakan suatu hal yang sangat penting lantaran pada kehidupan sehari-hari kita sering menemukan fenomena kebahasan yang mengandung implikatur. Wacana Pojok dalam hal ini “Mr. Pecut” menggunakan implikatur sebagai sarana untuk menyindir, menanggapi, mengkritik, memberi simpati dan lain-lain kepada pihak-pihak tertentu dengan tujuan biar pihak-pihak yang menjadi objek implikatur mengerti dan merefleksikan apa yang telah dilakukannya. “Mr. Pecut” menggunakan implikatur dengan aplikasi kontek sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pemakaian implikatur dalam wacana ini juga sanggup menjadi sebuah dasar kalau sindiran, kritikan, bahkan makian tidak selalu disampaikan secara eksklusif dan transparan.

DAFTAR PUSTAKA


Drs. Abdul Rani, M.Pd. dkk.2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.

Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS.

Haliday, M. A. K dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks dan Teks. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

I Dewa Putu Wijana. Implikatur dalam Wacana Pojok. Jurnal Humaniora Vol XIII. 2001.

Louise Cummings. 2007. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tri Sulistyaningtyas. Diksi dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Jurnal Sosioteknologi Edisi 15. 2008.
Buat lebih berguna, kongsi:
close