Merbabu, salah satu gunung di Jawa Tengah yang mempunyai ketinggian puncak 3142 meter di atas permukaan bahari (mdpl) senantiasa menawarkan pesona yang megah dan eksotis. Bersebelahan dengan Gunung Merapi seperti kedua gunung tersebut yaitu pasangan yang romantis. Di antara Merbabu dan Merapi dipisahkan sebuah lembah yang dikenal dengan kawasan Selo. Para pendaki yang ingin mencicipi eksotisme pemandangan puncak Merapi dan Merbabu sanggup memulai pendakian dari Selo ini.
Semenjak pendakian pertama ke Merapi disusul dengan pendakian Lawu tahun yang kemudian menciptakan saya ingin mencicipi petualangan ke puncak Merbabu. Merapi, Lawu, dan Merbabu merupakan sebuah obsesi pribadi yang cenderung bercurah tinggi. Keinginan supaya sanggup menapaki tiga puncak gunung yang termasuk gunung triangulasi tersebut yaitu suatu harapan yang sangat mendalam.
Solo (13/06/2010), malam hari ketika hendak bersiap pulang kampung ke Wonogiri alasannya yaitu sudah usang tidak pulang, tiba-tiba ada SMS masuk dari sahabat yang mengajak untuk naik gunung, entah gunung apa belum disebutkan. Saya dilema. Namun, tiba-tiba sahabat saya itu segera menelepon—karena mungkin SMS-nya tidak pribadi saya balas—dan mengajak untuk naik gunung hari Sabtu, ahad itu juga. Melalui percakapan yang tak terlalu lama, kesannya saya memutuskan untuk tidak pulang kampung dan ikut naik gunung ke Merbabu. Semua serba mendadak, mulai dari persiapan fisik yang belum dipersiapkan, juga mencari perbekalan dan perlengkapan untuk naik. Tapi semua siap dan mantap.
Solo (25/06/2010), pagi suasananya cerah berawan. Namun, semakin siang cuaca semakin tidak bersahabat. Bahkan siang hari terjadi hujan yang cukup menciptakan kesal. Kadang deras, gerimis, atau tiba-tiba reda. Pasukan calon pendaki Merbabu disiapsiagakan: Andi (saya), Gancar, Dim, dan Yogi. Bakda Ashar, kami pun berangkat menerobos gerimis yang mengguyur Solo. Naik motor. Agak nekat, tapi ya enggak apa-apa, yang penting naik gunung dengan niat yang baik.
Kami tiba di Selo kira-kira pukul 17.00 WIB. Rute dari Selo ke basecamp Merbabu ternyata cukup jauh. Bagi calon pendaki yang berangkat naik bus hingga Selo sanggup menggunakan jasa tukang ojek untuk hingga ke basecamp. Namun, bagi yang suka jalan-jalan, ya barangkali Selo-basecamp Merbabu sanggup ditempuh dengan jalan kaki untuk sekadar pemanasan yang cukup melelahkan.
Tiba di basecamp, kami segera melaksanakan persiapan. Terlebih dahulu kami minum minuman berenergi sebagai bekal awal di perut kami. Maghrib dan Isya kami jamak, dan sekitar pukul 18.50 WIB kami mengawali pendakian Merbabu. Cuaca cukup cerah dan berair sehabis hujan. Di kejauhan tampak lampu-lampu kota mirip ribuan bintang yang berada di bumi.
Kami menyusuri jalan setapak di tengah-tengah hutan. Tanpa ada pemanasan terlebih dahulu, ternyata rute awal cukup menyiksa alasannya yaitu terdapat banyak jalan yang menanjak. Namun, ada beberapa jalur yang memberi “bonus” pada kami. Sekitar satu jam perjalanan, Dim agak kelelahan membawa Carier. Saya bersepakat untuk bertukar daypack saya dengan carier Dim. Kejadian itu pun terjadi. Saya kira waktu saya meletakkan tas berada pada posisi tanah yang lapang alasannya yaitu keadaan memang gelap. Tapi sewaktu saya ingin meraih carier, kaki saya agak menyenggol tas saya, dan akhirnya..buk.....buk...buk....buk—entah berapa kali—tas saya jatuh ke jurang. Tak ayal lagi, saya hanya sanggup melongo. Kalau tas itu tidak sanggup diambil, untuk perbekalan/konsumsi selama perjalanan mungkin saya sanggup nebeng perbekalan yang lain, tapi di dalam tas tersebut ada dompet, STNK, SIM, Karmas, kunci sepeda motor, dll. Teman saya, Gancar dan Yogi pun berinisiatif mengambilnya. Tanpa ada peralatan yang cukup—hanya dengan senter—mereka menuruni jurang yang kira-kira tingkat kemiringannya kira-kira 80 derajat. Tas saya kesannya sanggup diambil kira-kira 10 meter di bawah saya menjatuhkannya. Subhanallah......sebuah pemanasan yang cukup memanaskan...
Perjalanan dilanjutkan, saya membawa sebuah carier. Perjalanan sementara ini menanjak terus namun kadang juga diberi bonus landai. Membawa carier ternyata tidak mengecewakan menciptakan punggungku agak sakit. Barangkali settingan-nya kurang tepat, atau barangkali memang carier tersebut sudah tak layak untuk standar kenyamanan naik gunung. Berkali-kali saya meluruskan tangan alasannya yaitu beberapa kali lengan atas saya terasa kram. Entah di pos berapa, kami istirahat, tempatnya agak suram. Di situ kami menikmati roti tawar dilapis susu coklat sebaai bekal energi. Sebelum perjalanan kami belum sempat makan masakan berat.
Perjalanan dilanjutkan, perjalanan terasa sangat cukup usang dengan jalanan setapak yang becek yang sempat menciptakan beberapa di antara kami terpeleset. Langit semakin cerah. Dari ketinggian tertentu, kami sanggup melihat semarak lampu-lampu kota yang ada di bawah. Masya Allah, mirip bintang-bintang yang berpindah ke Bumi.
Tak terasa perjalanan hingga di Batu Tulis, yakni suatu tempat agak sedikit terbuka dan ada sebuah watu besar di tengahnya. Entah kenapa dinamai Batu Tulis. Barangkali watu itu penuh goresan pena hasil vandalisme sehingga disebut Batu Tulis. Di Batu Tulis kami makan roti lagi. Di watu Tulis tersebut udara terasa semakin dingin. Kabutpun mulai turun beradu dengan napas kami. Angin semakin berpengaruh bertiup. Namun secara keseluruhan, masih kami anggap sebagai cuaca normal ala gunung. Di tengah keeksotisan dan cuek udara di Batu Tulis, saya mendengarkan lagu Cahaya Bulan “Gie”....Irama lagu tersebut menambah suasana menjadi wow....supereksotis...!!
Suara desis angin gunung dan dinginnya udara merbabu menciptakan semangat kami terpacu. Setelah cukup istirahat di Batu Tulis, kami ditemani kabut untuk menmbus perjalanan berikutnya. Perjalanan kali ini cukup menantang. Jlaur pendakian cukup menanjak dengan kontur tanah yang tidak rata dan sangat licin. Kadang jalur cukup dilalui alasannya yaitu membentuk kontur mirip sungai. Sampai pada suatu tempat yang sangat sulit untuk dilewati. Jalur menanjak dan sangat licin. Saya agak ketinggalan dengan yang lain alasannya yaitu menentukan jalur yang kurang bersahabat. Saya kira lewat sebelah kiri akan mempermudah jalan, namun saya menemui kebuntuan alasannya yaitu di hadapan saya yaitu tanah setinggi tubuh saya. Jelas saya sangat sulit untuk hingga ke atas, apalagi tanahnya sangat labil. Dengan hati-hati saya kembali ke jalur semula, daripada turun lagi saya mengambil rute memotong, dan di situlah ketegangan terjadi. Antara jatuh dan tidak. Semua ditentukan oleh sejumput rumput yang saya buat menjadi pegangan. Dan Alhamdulillah ternyata rumput itu berpengaruh dengan tarikan tubuh saya. Saya sudah dinantikan teman-teman, kata mereka saya usang sekali. Tapi saya sangat terang menjawab “sembarangan, tadi saya bertaruh nyawa”.
Dan pada suatu ketika, terjadi suatu hal yang sangat aneh dan menakjubkan. Tiba-tiba saya mendengar salah seorang sahabat saya mengucap Subhanallah, dan secara reflek saya pun mendongak ke atas. Subhanallah....di langit ada semacam sinar biru yang jatuh di bumi. Seperti meteor tapi sangat besar dan sanggup dengan terang saya lihat. Bahkan saking dekatnya, saya menunggu getaran/suara tumbukan dengan bumi, namun itu tidak terjadi. Sungguh fantastis, sinar itu mirip hanya berada di balik bukit depan kami. Analisis saya, hal itu kalau berdasarkan orang Jawa yaitu “pulung”. Menurut mitos kalau pulung berwarna biru maka akan mendatangkan kebaikan/keberuntungan. Sebaliknya, kalau berwarna merah maka akan mendatangan keburukan/kerugian, bahkan mungkin merupakan santet yang dikirim oleh seseorang. Tapi sinar biru yang saya dan teman-teman lihat di balik bukit Gunung Merbabu itu masih menjadi misteri hingga sekarang, apakah meteor, pulung, alien, hanya Tuhan yang tahu. Wallahuallam.
Kami istirahat lagi di sekitar watu memoriam. Batu memoriam memang hanyalah watu tempat mengenang seseorang yang meninggal di tempat tersebut, dan bukan merupakan makam. Akan tetapi, suasana mistis tetap ada ketika saya melihat bentuk memoriam tersebut.
Perjalanan dilanjutkan, angin semakin berpengaruh berembus. Kabut semakin tebal. Dan semakin jauh kami melangkah ke ketinggian, angin semakin menambah kekuatannya. Perasaan pun cukup waswas, alasannya yaitu gres kali ini saya naik gunung dengan keadaan cuaca mirip itu. Sampai di sabana 2 kami beristirahat di antara pepohonan kecil. Ada semacam ceruk kecil di antara pepohonan itu dan saya pun istirahat di sana. Angin pun tak henti-hentinya menambah ketakutan di dalam diri saya. Anginnya sangat berpengaruh bahkan mebuat langkah tergontai-gontai. Di sabana 2 kami istirahat smabil menunggu membaiknya cuaca. Namun apa mau dikata, angin pun semakin jadi menjadi, bahkan terlalu usang istirahat, kantuk pun menyerang. Sempat beberapa detik tertidur, ada yang mengaggetkan mata saya. Sebuah senter mengarah ke mata saya, dan sehabis itu terdengar bunyi seruan untuk segera meneruskan perjalanan, sedangkan angin masih sangat berpengaruh berembus.
Kami berjalan dengan tergontai-gontai, bahkan di jalan setapak sabana 2 yang mirip sebuah jebatan di antara dua lereng, kami harus berjalan dengan berpegangan tangan supaya tidak terbawa oleh angin. Jalan yang ditempuh sehabis sabana 2 cukup menanjak, dan di jalan setapak tersebut angin masih saja berpengaruh berembus, tetapi tidak begitu mengganggu perjalanan mirip waktu di sabana 2 tadi alasannya yaitu jalan setapak beberapa agak tersembunyi di balik bukit atau pepohonan perdu.
Sesampai di sabana 3, suasana cukup eksotis mencekam. Kabut cukup tebal diiringi desahan angin yang terus-menerus berembus dengan kuatnya. Perjalanan di awal sabana 3 cukup memberi bonus untuk kaki kami alasannya yaitu jalanan menurun melewati jalan setapak yang terbentuk mirip sungai kecil. Di sabana tersebut kaki kami harus bergesakan pribadi dengan rumput-rumput yang berair dan cukup untuk mmebuat celana kmai menjadi berair pula.
Kami meninggalkan sabana 3 dengan rasa penuh kelelahan, tapi masih bersemangat. Meninggalkan sabana 3 dan kemudian memasuki sebuah jalan setapak yang kanan kirinya dinaungi tumbuhan edelweis yang tumbuh tinggi, sanggup mencapai dua kali tinggi tubuh saya. Waw..andai saja pas isu terkini berbunga dan kita berada di bawahnya. Betapa eksotis. Di sana pun angin masih berpengaruh berembus. Namun, kuatnya angin agak tidak mengecewakan diredam oleh tetumbuhan edelweis yang berada di sana. Kami mencari tempat untuk mendirikan dome. Dan kami pun kesannya menemukan suatu tempat yang cukup strategis. Agaknya tempat itu juga sering dipakai untuk mendirikan dome/kemah para pendaki. Hal itu ditunjukkan adanya bekas pembakaran api unggun atau sampah (kebiasaan jelek) yang masih tertinggal.
Kira-kira pukul 01.00 lebih kami mendirikan dome dan sekaligus memasak mie untuk sekadarmengganjal perut dan menghangatkan badan. Kompor gas yang kami bawa pun sedikit bermasalah, tapi dengan ketekunan sahabat saya, hal itu sanggup diatasi. Dan dini hari itu, program masak-memasak di antara topan angin Merbabu sanggup dilaksanakan dengan sukses. Setelah makan, kami menempatkan tubuh kami masing-masing di dalam dome. Apes, dari kami berempat, hanya saya yang tidak menggunakan SB (Sleeping Bag). Yah..tidur dengan jaket pun tak mengapa, sekaligus mencicipi betapa cuek tidur di gunung (sebelumnya saya juga pernah tidur tanpa SB di Pasar Bubrah Merapi hanya dengan menggunakan jumper—yang saya akui itu sangat menyiksa saya). Tidur saya pun terganggu dengan bunyi topan angin di luar. Bahkan dome harus mengakui kalau angin pada ketika itu sangat kencang sehingga bergerak-gerak. Saya pun takut jikalau dome kami tercabut dan terbawa angin (suatu perasaan yang berlebihan, tapi memang ketika itu saya merasakannya).
Sampai pagi hari—sampai suasana di luar dome terang—kami masih dalam posisi menikmati tidur kami. Sementara angin pun tak kunjung mereda. Masih saja berpengaruh mengempas sekitar. Baru sehabis pukul 09.00 lebih kami pun beranjak dari dome. Aktivitas dilanjutkan dengan memasak untuk sarapan pagi. Saat itu keadaan perut saya cukup agak bermasalah sehingga saya hanya makan bubur instan yang saya bawa dan tidak memakan mi yang dimasak ketika itu. Selesai makan, kami pribadi berkemas untuk segera melanjutkan perjalanan. Sementara itu, keadaan tubuh saya cukup tidak fit.
Perjalanan pun dilanjutkan. Ternyata perjaanan jalan setapak sangat cukup menanjak dan licin. Pas sekali kami mendirikan dome di tempat yang tadi alasannya yaitu kalau tidak di sana sangat sulit untuk menemukan tempat strategis selanjutnya. Benar saja, tubuh saya yang kurang fit agak mengganggu perjalanan. Hanya tiap beberapa langkah, saya mesti istirahat untuk mengatur napas dan menetralisasi rasa sakit di perut saya. Agaknya maag menyerang perut saya. Saya pun menerima support dari kawan-kawan. Hingga pada suatu ketika istirahat di bawah pohon, saya meminum minuman ala Mbah Maridjan, dan ajaib, sehabis itu tubuh saya agak fit. Bahkan ketika saya berada di depan rombongan, saya berjalan dengan sedikit istirahat. Dan pada waktu itu saya menemukan sebuah tongkat—ranting pohon—yang ternyata sangat membantu saya dalam menapaki jalan setapak yang terjal dan licin. Sementara, kabut semakin sempurna mengitari kami.
Tidak berapa lama, kami pun hingga puncak diiringi gemuruh bunyi angin dan kabut yang semakin menebal. Di puncak, kami tak sanggup melihat pemandangan di bawah alasannya yaitu kabut sanat tebal sekali, bahkan jarak pandang hanya beberapa meter saja. Itu yaitu puncak pertama. Kami pun segera berangkat lagi untuk mencapai puncak Kenteng Songo yang ternyata tidak begitu jauh dengan puncak pertama tadi. Akan tetapi, untuk hingga ke puncak Kenteng Songo kami disuguhi sebuah jalan setapak yang cukup menantang alasannya yaitu kanan-kiri yaitu jurang dan angin bertiup sangat kencang di sana. Saya pun berlari untuk melewatinya dan tak berapa jauh dari sana Puncak Kenteng Songo berada.
Puncak Kenteng Songo yaitu puncak Gunung Merbabu yang di sana ada beberapa lumpang (batu berlubang). Beberapa lumpang ada airnya alasannya yaitu hasil tampungan hujan atau embun. Lumpang tersebut berjumlah lima buah. Menurut kepercayaan, bergotong-royong lumpang di sana berjumlah sembilan (songo), tapi hanya orang-orang yang beruntunglah yang sanggup melihatnya atau dengan kata lain yang empat lumpang tidak sanggup dilihat dengan kasat mata. (adh)
Semenjak pendakian pertama ke Merapi disusul dengan pendakian Lawu tahun yang kemudian menciptakan saya ingin mencicipi petualangan ke puncak Merbabu. Merapi, Lawu, dan Merbabu merupakan sebuah obsesi pribadi yang cenderung bercurah tinggi. Keinginan supaya sanggup menapaki tiga puncak gunung yang termasuk gunung triangulasi tersebut yaitu suatu harapan yang sangat mendalam.
Solo (13/06/2010), malam hari ketika hendak bersiap pulang kampung ke Wonogiri alasannya yaitu sudah usang tidak pulang, tiba-tiba ada SMS masuk dari sahabat yang mengajak untuk naik gunung, entah gunung apa belum disebutkan. Saya dilema. Namun, tiba-tiba sahabat saya itu segera menelepon—karena mungkin SMS-nya tidak pribadi saya balas—dan mengajak untuk naik gunung hari Sabtu, ahad itu juga. Melalui percakapan yang tak terlalu lama, kesannya saya memutuskan untuk tidak pulang kampung dan ikut naik gunung ke Merbabu. Semua serba mendadak, mulai dari persiapan fisik yang belum dipersiapkan, juga mencari perbekalan dan perlengkapan untuk naik. Tapi semua siap dan mantap.
Solo (25/06/2010), pagi suasananya cerah berawan. Namun, semakin siang cuaca semakin tidak bersahabat. Bahkan siang hari terjadi hujan yang cukup menciptakan kesal. Kadang deras, gerimis, atau tiba-tiba reda. Pasukan calon pendaki Merbabu disiapsiagakan: Andi (saya), Gancar, Dim, dan Yogi. Bakda Ashar, kami pun berangkat menerobos gerimis yang mengguyur Solo. Naik motor. Agak nekat, tapi ya enggak apa-apa, yang penting naik gunung dengan niat yang baik.
Kami tiba di Selo kira-kira pukul 17.00 WIB. Rute dari Selo ke basecamp Merbabu ternyata cukup jauh. Bagi calon pendaki yang berangkat naik bus hingga Selo sanggup menggunakan jasa tukang ojek untuk hingga ke basecamp. Namun, bagi yang suka jalan-jalan, ya barangkali Selo-basecamp Merbabu sanggup ditempuh dengan jalan kaki untuk sekadar pemanasan yang cukup melelahkan.
Tiba di basecamp, kami segera melaksanakan persiapan. Terlebih dahulu kami minum minuman berenergi sebagai bekal awal di perut kami. Maghrib dan Isya kami jamak, dan sekitar pukul 18.50 WIB kami mengawali pendakian Merbabu. Cuaca cukup cerah dan berair sehabis hujan. Di kejauhan tampak lampu-lampu kota mirip ribuan bintang yang berada di bumi.
Kami menyusuri jalan setapak di tengah-tengah hutan. Tanpa ada pemanasan terlebih dahulu, ternyata rute awal cukup menyiksa alasannya yaitu terdapat banyak jalan yang menanjak. Namun, ada beberapa jalur yang memberi “bonus” pada kami. Sekitar satu jam perjalanan, Dim agak kelelahan membawa Carier. Saya bersepakat untuk bertukar daypack saya dengan carier Dim. Kejadian itu pun terjadi. Saya kira waktu saya meletakkan tas berada pada posisi tanah yang lapang alasannya yaitu keadaan memang gelap. Tapi sewaktu saya ingin meraih carier, kaki saya agak menyenggol tas saya, dan akhirnya..buk.....buk...buk....buk—entah berapa kali—tas saya jatuh ke jurang. Tak ayal lagi, saya hanya sanggup melongo. Kalau tas itu tidak sanggup diambil, untuk perbekalan/konsumsi selama perjalanan mungkin saya sanggup nebeng perbekalan yang lain, tapi di dalam tas tersebut ada dompet, STNK, SIM, Karmas, kunci sepeda motor, dll. Teman saya, Gancar dan Yogi pun berinisiatif mengambilnya. Tanpa ada peralatan yang cukup—hanya dengan senter—mereka menuruni jurang yang kira-kira tingkat kemiringannya kira-kira 80 derajat. Tas saya kesannya sanggup diambil kira-kira 10 meter di bawah saya menjatuhkannya. Subhanallah......sebuah pemanasan yang cukup memanaskan...
Perjalanan dilanjutkan, saya membawa sebuah carier. Perjalanan sementara ini menanjak terus namun kadang juga diberi bonus landai. Membawa carier ternyata tidak mengecewakan menciptakan punggungku agak sakit. Barangkali settingan-nya kurang tepat, atau barangkali memang carier tersebut sudah tak layak untuk standar kenyamanan naik gunung. Berkali-kali saya meluruskan tangan alasannya yaitu beberapa kali lengan atas saya terasa kram. Entah di pos berapa, kami istirahat, tempatnya agak suram. Di situ kami menikmati roti tawar dilapis susu coklat sebaai bekal energi. Sebelum perjalanan kami belum sempat makan masakan berat.
Perjalanan dilanjutkan, perjalanan terasa sangat cukup usang dengan jalanan setapak yang becek yang sempat menciptakan beberapa di antara kami terpeleset. Langit semakin cerah. Dari ketinggian tertentu, kami sanggup melihat semarak lampu-lampu kota yang ada di bawah. Masya Allah, mirip bintang-bintang yang berpindah ke Bumi.
Tak terasa perjalanan hingga di Batu Tulis, yakni suatu tempat agak sedikit terbuka dan ada sebuah watu besar di tengahnya. Entah kenapa dinamai Batu Tulis. Barangkali watu itu penuh goresan pena hasil vandalisme sehingga disebut Batu Tulis. Di Batu Tulis kami makan roti lagi. Di watu Tulis tersebut udara terasa semakin dingin. Kabutpun mulai turun beradu dengan napas kami. Angin semakin berpengaruh bertiup. Namun secara keseluruhan, masih kami anggap sebagai cuaca normal ala gunung. Di tengah keeksotisan dan cuek udara di Batu Tulis, saya mendengarkan lagu Cahaya Bulan “Gie”....Irama lagu tersebut menambah suasana menjadi wow....supereksotis...!!
Suara desis angin gunung dan dinginnya udara merbabu menciptakan semangat kami terpacu. Setelah cukup istirahat di Batu Tulis, kami ditemani kabut untuk menmbus perjalanan berikutnya. Perjalanan kali ini cukup menantang. Jlaur pendakian cukup menanjak dengan kontur tanah yang tidak rata dan sangat licin. Kadang jalur cukup dilalui alasannya yaitu membentuk kontur mirip sungai. Sampai pada suatu tempat yang sangat sulit untuk dilewati. Jalur menanjak dan sangat licin. Saya agak ketinggalan dengan yang lain alasannya yaitu menentukan jalur yang kurang bersahabat. Saya kira lewat sebelah kiri akan mempermudah jalan, namun saya menemui kebuntuan alasannya yaitu di hadapan saya yaitu tanah setinggi tubuh saya. Jelas saya sangat sulit untuk hingga ke atas, apalagi tanahnya sangat labil. Dengan hati-hati saya kembali ke jalur semula, daripada turun lagi saya mengambil rute memotong, dan di situlah ketegangan terjadi. Antara jatuh dan tidak. Semua ditentukan oleh sejumput rumput yang saya buat menjadi pegangan. Dan Alhamdulillah ternyata rumput itu berpengaruh dengan tarikan tubuh saya. Saya sudah dinantikan teman-teman, kata mereka saya usang sekali. Tapi saya sangat terang menjawab “sembarangan, tadi saya bertaruh nyawa”.
Dan pada suatu ketika, terjadi suatu hal yang sangat aneh dan menakjubkan. Tiba-tiba saya mendengar salah seorang sahabat saya mengucap Subhanallah, dan secara reflek saya pun mendongak ke atas. Subhanallah....di langit ada semacam sinar biru yang jatuh di bumi. Seperti meteor tapi sangat besar dan sanggup dengan terang saya lihat. Bahkan saking dekatnya, saya menunggu getaran/suara tumbukan dengan bumi, namun itu tidak terjadi. Sungguh fantastis, sinar itu mirip hanya berada di balik bukit depan kami. Analisis saya, hal itu kalau berdasarkan orang Jawa yaitu “pulung”. Menurut mitos kalau pulung berwarna biru maka akan mendatangkan kebaikan/keberuntungan. Sebaliknya, kalau berwarna merah maka akan mendatangan keburukan/kerugian, bahkan mungkin merupakan santet yang dikirim oleh seseorang. Tapi sinar biru yang saya dan teman-teman lihat di balik bukit Gunung Merbabu itu masih menjadi misteri hingga sekarang, apakah meteor, pulung, alien, hanya Tuhan yang tahu. Wallahuallam.
Kami istirahat lagi di sekitar watu memoriam. Batu memoriam memang hanyalah watu tempat mengenang seseorang yang meninggal di tempat tersebut, dan bukan merupakan makam. Akan tetapi, suasana mistis tetap ada ketika saya melihat bentuk memoriam tersebut.
Perjalanan dilanjutkan, angin semakin berpengaruh berembus. Kabut semakin tebal. Dan semakin jauh kami melangkah ke ketinggian, angin semakin menambah kekuatannya. Perasaan pun cukup waswas, alasannya yaitu gres kali ini saya naik gunung dengan keadaan cuaca mirip itu. Sampai di sabana 2 kami beristirahat di antara pepohonan kecil. Ada semacam ceruk kecil di antara pepohonan itu dan saya pun istirahat di sana. Angin pun tak henti-hentinya menambah ketakutan di dalam diri saya. Anginnya sangat berpengaruh bahkan mebuat langkah tergontai-gontai. Di sabana 2 kami istirahat smabil menunggu membaiknya cuaca. Namun apa mau dikata, angin pun semakin jadi menjadi, bahkan terlalu usang istirahat, kantuk pun menyerang. Sempat beberapa detik tertidur, ada yang mengaggetkan mata saya. Sebuah senter mengarah ke mata saya, dan sehabis itu terdengar bunyi seruan untuk segera meneruskan perjalanan, sedangkan angin masih sangat berpengaruh berembus.
Kami berjalan dengan tergontai-gontai, bahkan di jalan setapak sabana 2 yang mirip sebuah jebatan di antara dua lereng, kami harus berjalan dengan berpegangan tangan supaya tidak terbawa oleh angin. Jalan yang ditempuh sehabis sabana 2 cukup menanjak, dan di jalan setapak tersebut angin masih saja berpengaruh berembus, tetapi tidak begitu mengganggu perjalanan mirip waktu di sabana 2 tadi alasannya yaitu jalan setapak beberapa agak tersembunyi di balik bukit atau pepohonan perdu.
Sesampai di sabana 3, suasana cukup eksotis mencekam. Kabut cukup tebal diiringi desahan angin yang terus-menerus berembus dengan kuatnya. Perjalanan di awal sabana 3 cukup memberi bonus untuk kaki kami alasannya yaitu jalanan menurun melewati jalan setapak yang terbentuk mirip sungai kecil. Di sabana tersebut kaki kami harus bergesakan pribadi dengan rumput-rumput yang berair dan cukup untuk mmebuat celana kmai menjadi berair pula.
Kami meninggalkan sabana 3 dengan rasa penuh kelelahan, tapi masih bersemangat. Meninggalkan sabana 3 dan kemudian memasuki sebuah jalan setapak yang kanan kirinya dinaungi tumbuhan edelweis yang tumbuh tinggi, sanggup mencapai dua kali tinggi tubuh saya. Waw..andai saja pas isu terkini berbunga dan kita berada di bawahnya. Betapa eksotis. Di sana pun angin masih berpengaruh berembus. Namun, kuatnya angin agak tidak mengecewakan diredam oleh tetumbuhan edelweis yang berada di sana. Kami mencari tempat untuk mendirikan dome. Dan kami pun kesannya menemukan suatu tempat yang cukup strategis. Agaknya tempat itu juga sering dipakai untuk mendirikan dome/kemah para pendaki. Hal itu ditunjukkan adanya bekas pembakaran api unggun atau sampah (kebiasaan jelek) yang masih tertinggal.
Kira-kira pukul 01.00 lebih kami mendirikan dome dan sekaligus memasak mie untuk sekadarmengganjal perut dan menghangatkan badan. Kompor gas yang kami bawa pun sedikit bermasalah, tapi dengan ketekunan sahabat saya, hal itu sanggup diatasi. Dan dini hari itu, program masak-memasak di antara topan angin Merbabu sanggup dilaksanakan dengan sukses. Setelah makan, kami menempatkan tubuh kami masing-masing di dalam dome. Apes, dari kami berempat, hanya saya yang tidak menggunakan SB (Sleeping Bag). Yah..tidur dengan jaket pun tak mengapa, sekaligus mencicipi betapa cuek tidur di gunung (sebelumnya saya juga pernah tidur tanpa SB di Pasar Bubrah Merapi hanya dengan menggunakan jumper—yang saya akui itu sangat menyiksa saya). Tidur saya pun terganggu dengan bunyi topan angin di luar. Bahkan dome harus mengakui kalau angin pada ketika itu sangat kencang sehingga bergerak-gerak. Saya pun takut jikalau dome kami tercabut dan terbawa angin (suatu perasaan yang berlebihan, tapi memang ketika itu saya merasakannya).
Sampai pagi hari—sampai suasana di luar dome terang—kami masih dalam posisi menikmati tidur kami. Sementara angin pun tak kunjung mereda. Masih saja berpengaruh mengempas sekitar. Baru sehabis pukul 09.00 lebih kami pun beranjak dari dome. Aktivitas dilanjutkan dengan memasak untuk sarapan pagi. Saat itu keadaan perut saya cukup agak bermasalah sehingga saya hanya makan bubur instan yang saya bawa dan tidak memakan mi yang dimasak ketika itu. Selesai makan, kami pribadi berkemas untuk segera melanjutkan perjalanan. Sementara itu, keadaan tubuh saya cukup tidak fit.
Perjalanan pun dilanjutkan. Ternyata perjaanan jalan setapak sangat cukup menanjak dan licin. Pas sekali kami mendirikan dome di tempat yang tadi alasannya yaitu kalau tidak di sana sangat sulit untuk menemukan tempat strategis selanjutnya. Benar saja, tubuh saya yang kurang fit agak mengganggu perjalanan. Hanya tiap beberapa langkah, saya mesti istirahat untuk mengatur napas dan menetralisasi rasa sakit di perut saya. Agaknya maag menyerang perut saya. Saya pun menerima support dari kawan-kawan. Hingga pada suatu ketika istirahat di bawah pohon, saya meminum minuman ala Mbah Maridjan, dan ajaib, sehabis itu tubuh saya agak fit. Bahkan ketika saya berada di depan rombongan, saya berjalan dengan sedikit istirahat. Dan pada waktu itu saya menemukan sebuah tongkat—ranting pohon—yang ternyata sangat membantu saya dalam menapaki jalan setapak yang terjal dan licin. Sementara, kabut semakin sempurna mengitari kami.
Tidak berapa lama, kami pun hingga puncak diiringi gemuruh bunyi angin dan kabut yang semakin menebal. Di puncak, kami tak sanggup melihat pemandangan di bawah alasannya yaitu kabut sanat tebal sekali, bahkan jarak pandang hanya beberapa meter saja. Itu yaitu puncak pertama. Kami pun segera berangkat lagi untuk mencapai puncak Kenteng Songo yang ternyata tidak begitu jauh dengan puncak pertama tadi. Akan tetapi, untuk hingga ke puncak Kenteng Songo kami disuguhi sebuah jalan setapak yang cukup menantang alasannya yaitu kanan-kiri yaitu jurang dan angin bertiup sangat kencang di sana. Saya pun berlari untuk melewatinya dan tak berapa jauh dari sana Puncak Kenteng Songo berada.
Puncak Kenteng Songo yaitu puncak Gunung Merbabu yang di sana ada beberapa lumpang (batu berlubang). Beberapa lumpang ada airnya alasannya yaitu hasil tampungan hujan atau embun. Lumpang tersebut berjumlah lima buah. Menurut kepercayaan, bergotong-royong lumpang di sana berjumlah sembilan (songo), tapi hanya orang-orang yang beruntunglah yang sanggup melihatnya atau dengan kata lain yang empat lumpang tidak sanggup dilihat dengan kasat mata. (adh)
Buat lebih berguna, kongsi: