Untuk pertama kali saya menangis di atas catatan kematian. Seumur hidup, hingga usiaku kian menjelang senja, hari itu air mata di atas kematian turun perlahan di atas pipi bersama isak yang ku tahan dalam luruhnya perasaan. Aku ialah orang yang jarang menangis, sudah usang saya tak menangis. Mungkin tangis waktu kecilku telah menciptakan air mata kering, Karena tak dipungkiri waktu kecilku hampir setiap hari saya menangis. Namun saya tumbuh menjadi sebuah kerikil yang keras, tak luluh dengan sebuah tangis kesedihan. Tapi dan tapi, hari itu tangisku pecah bahkan tak sanggup menahannya.
Kakekku meninggal…………………………
Tak ku mengerti ternyata jabat tangannya di malam itu ialah jabatan terakhir untukku. Beliau begitu cepat meninggalkan kesunyian di rumah.
Aku masih ingat saat saya masih kecil. Waktu sekolah Taman Kanak-kanak hingga hampir kelas tiga SD. Beliau selalu membangunkan saya dengan memijat-mijat kakiku terlebih dahulu. Jika tidak, saya tak akan berdiri pagi dan berangkat sekolah. Jika badanku masih ngantuk dan malas, terkadang dia menggendongku hingga ke daerah mandi.
Tak hanya itu, dia selalu dengan sabar menyediakan air hangat untuk memandikan aku. Hingga suatu hari, mungkin sebab lalai, dia lupa mencampur air panas dengan air hambar hingga tubuhku terguyur dengan air panas, namun air itu tak begitu panas sehinga tubuhku tak hingga mengelupas, hanya jerit tangisku yang terdengar keras waktu itu.
Setelah mandi, dia akan menyiapkan sepatu sembari saya menggunakan baju. Dan suatu kali, niat isengku muncul. Beliau selalu membersihkan sepatuku dengan membalikkannya semoga pasir/kotoran dalam sepatu hilang/keluar. Dan ideku cukup membuatnya tertawa gemas. Malamnya saya membawa segenggam pasir dan ku taruh dalam sepatuku. Dan pagi tiba saat saya sudah siap menggunakan sepatu, dengan kaget dia membalikkan sepatuku Karena dari dalam sepatuku keluar pasir yang banyak sekali. Betapa sabarnya beliau.
Beliau juga yang mengajariku untuk menggunakan sepatu sendiri. Beliau yang mengajari saya bentuk-bentuk tali sepatu yaitu tali kuda dan kupu-kupu. Tali kupu-kupu bagiku waktu itu terlalu sulit, sehingga saya sering menggunakan tali kuda. Hingga kini pelajaran darinya wacana tali menali sepatu masih saya gunakan, namun kini sudah sanggup menali kupu-kupu. Sejenak saya berpikir, dari manakah dia punya pengalaman menali sepatu, sekolah pun dia tidak.
Dan kini dia telah tiada. Ketika saya pulang, tak ada lagi seorang kakek duduk di sebuah dingklik kayu di beranda rumah belakang sambil menikmati teh hangat yang biasanya disediakan nenek. Kini shaf shalat berjamaah di mushala samping rumah berkurang. Tak ada lagi kakek menjadi makmum menantunya.
Aku masih ingat betapa dia sangat begitu mempedulikan barang-barang yang sudah rusak. Sandal-sandal jepit yang sudah putus, ia ambil dan dengan telatennya dia benahi semoga sanggup digunakan kembali. Bahkan sering menggunakan paku dan kawat untuk membenahi sandal-sandal tersebut, sehingga suatu kali kakiku sedikit tertusuk paku saat memamakai sandal tersebut. Untungnya hanya sedikit tertusuk, tidak begitu parah.
Beliau juga yang sering membuang sampah hasil dari limbah warung ibu. Tempat sampahnya pun dia yang membuatnya. Terbuat dari anyaman bambu. Dipundaknya sendiri daerah sampah itu, kemudian pergi membuangnya di erat kali yang juga sekaligus untuk menutup pematang sawah yangs sering kali longsor.
Dan gres beberapa bulan yang lalu, dia dengan kuatnya menciptakan kayu bakar dari tunggak-tungak pohon yang telah mengering. Aku membantunya, dan itu bukan pekerjaan yang mudah. Aku hanya sanggup sedikit sedikit. Di sela-sela saya mengapak kayu bakar, dia bertanya wacana hal-hal yang berkaitan dengan kuliahku.
Di waktu kecil saya juga pernah berkhayal dan bermimpi berujud doa, kelak saat saya menerima jodoh dan akan dipertemukan dalam ikatan perkawinan, semoga saja kakek masih sanggup mendatangi dan melihatku bersanding bersama perempuan jodohku. Namun takdir memilih lain. Kini mimpi dan khayalanku itu hanya sebatas mimpi dan imajinasi belaka.
Aku juga berharap saat saya lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana dia masih di sisiku. Ketika wisuda akan ku ajak dia menghadiri program wisudaku, melihat kampusku, melihat saya menggunakan toga, dan berfoto bersama. Namun itu hanya harap semu belaka, kini dia justru diwisuda terlebih dahulu oleh Allah SWT dari hidupnya di alam fana.
Aku juga masih ingat di waktu kecil saya bersama ayahku turun ke ladang saat hujan untuk menanam kapas. Ketika kami beranjak untuk pulang dan waktu itu hujan sedang deras-derasnya, kakekku justru gres berangkat ke ladang dengan membawa cangkul dan kami berpas-pasan di pematang sawah.
Kini nenekku tidur sendiri di kamar. Kadang kala saat kakek sedang tidur, dengkurannya hingga terdengar di kamarku. Kini bunyi dengkuran itu telah tiada. Sering saya berpikir, betapa kesepian nenekku yang setiap hari menyiapkan segelas teh dan kudapan untuk kakek di beranda rumah belakang yang kini juga semakin renta dan semakin tua. Kadang untuk sanggup berbicara dengannya harus dengan bunyi keras.
Aku tak pernah berpikir untuk kehilangan kakek secepat ini. Ketika saya berangkat kuliah ke Solo dua minggu yang lalu, kakek masih sehat bugar dan masih besar lengan berkuasa menanam kedelai di ladang. Namun seminggu kemudian penyakit hernia (lima belas tahun kemudian dia juga operasi hernia di potongan kanan perut) dia kambuh (kini potongan kiri) dan hari itu juga eksklusif masuk RS dan operasi. Menjelang operasi itulah, saya terakhir kali berjabat tangan dengan beliau. Terakhir kali saya memeluknya untuk mendudukkan dia di dingklik roda. Dan kata-kata terakhir yang masih saya ingat saat saya pamit balik ke solo ialah ”ngati-ati”. Dan saya tak sadar jikalau kata-kata itulah yang terakhir saya dengar dari beliau. Dan saya tak sempat menjenguknya lagi, Karena kiprah kuliahku menumpuk menjelang mid semester. Hanya bertanya kabar lewat SMS ke kakakku.
Dan kini dia telah tiada, mengakhiri kembara hidupnya di dunia. Aku sedikit bahagia, saat detik-detik janjkematian beliau, ayahku dengan sabar menuntun kakek membaca kalimat syahadat. Kakek mengucapkannya dengan bunyi yang cukup keras didengar dan semakin lama-semakin lelah hingga mengeluh jikalau ia lelah mengucapkannya. Hingga ayahku menyuruh untuk membatinnya saja. Dan dia membatinnya dengan sedikit mengerakkan bibir mengucap syahadat. Namun dia kembali lagi mengucap dengan bunyi dan membatinnya lagi dank au tak tahu apa yangterjadi sesudah itu. Takdir sudah erat kepada beliau.
Begitu banyak penggalan dongeng bersama beliau, beberapa bulan kemudian saya dan dia (hanya berdua) mengolah hasil kedelai yang telah mongering. Hingga larut sore pekerjaan itu belum selesai dan saya masuk ke rumah sebentar untuk shalat ashar. Kakek masih sibuk dengan kedelainya. Aku kembali. Dan menjelang maghrib dia bertanya padaku “wis ashar ko?” (kakek+keluargaku memanggil saya Koko. Aku jawab “sampun, wau”. Tampak raut kegelisahan padanya, mengapa kamu tak mengajaknya tadi. Dengan terburu-buru, dia mengambil air wudhu dan salat ashar.
Habis lebaran kemarin saya juga sempat mengantarkan dia pergi ke pasar membeli alat-alat pertanian. Dari situ saya tahu bahwa mental bisnis kakek persis aku, tampaknya dia tak bakir menawar barang. Aku pun tak sanggup membantunya, sebab saya memang kolot menawar.
Selamat tinggal kakek…….semoga kamu tenang dan tenang di alam sana…………..Semoga nirwana ialah daerah yang layak bagimu…………….
Allâhummagh firlahu, warhamhu, wa ‘âfihi wa’ fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wawassi’ mudkhalahu, waghsilhu bil mâ’i watstsalji wal baradi, wanaqqihi minal khathâyâ kamâ naqqaitats tsaubal abyadha minaddanasi. Wabdilhu dâran khairan min dârihi, wa ahlan khairan min ahlihi, wa zaujan khairan min zaujihi, wadkhilhul jannah, wa’dzihi min ‘adzâbil qabri wa min adzâbin nâr.
“Ya Allah ampunilah dia, sayangilah dia, maafkanlah dia, muliakanlah daerah singgahnya, luaskan daerah masuknya, mandikanlah dengan air salju dan es. Hapuskanlah kesalahannya, sebagaimana bersihnya baju putih dari kotoran, gantikanlah dengan daerah tinggal yang lebih baik dari daerah tinggalnya (di dunia), keluarga yang lebih baik dari keluarga di dunia, pasangan yang lebih baik dari pasangannya di dunia, masukkan dia ke dalam jannah, lindungi dia dari adzab kubur dan dari adzab api neraka.”
Kakekku meninggal…………………………
Tak ku mengerti ternyata jabat tangannya di malam itu ialah jabatan terakhir untukku. Beliau begitu cepat meninggalkan kesunyian di rumah.
Aku masih ingat saat saya masih kecil. Waktu sekolah Taman Kanak-kanak hingga hampir kelas tiga SD. Beliau selalu membangunkan saya dengan memijat-mijat kakiku terlebih dahulu. Jika tidak, saya tak akan berdiri pagi dan berangkat sekolah. Jika badanku masih ngantuk dan malas, terkadang dia menggendongku hingga ke daerah mandi.
Tak hanya itu, dia selalu dengan sabar menyediakan air hangat untuk memandikan aku. Hingga suatu hari, mungkin sebab lalai, dia lupa mencampur air panas dengan air hambar hingga tubuhku terguyur dengan air panas, namun air itu tak begitu panas sehinga tubuhku tak hingga mengelupas, hanya jerit tangisku yang terdengar keras waktu itu.
Setelah mandi, dia akan menyiapkan sepatu sembari saya menggunakan baju. Dan suatu kali, niat isengku muncul. Beliau selalu membersihkan sepatuku dengan membalikkannya semoga pasir/kotoran dalam sepatu hilang/keluar. Dan ideku cukup membuatnya tertawa gemas. Malamnya saya membawa segenggam pasir dan ku taruh dalam sepatuku. Dan pagi tiba saat saya sudah siap menggunakan sepatu, dengan kaget dia membalikkan sepatuku Karena dari dalam sepatuku keluar pasir yang banyak sekali. Betapa sabarnya beliau.
Beliau juga yang mengajariku untuk menggunakan sepatu sendiri. Beliau yang mengajari saya bentuk-bentuk tali sepatu yaitu tali kuda dan kupu-kupu. Tali kupu-kupu bagiku waktu itu terlalu sulit, sehingga saya sering menggunakan tali kuda. Hingga kini pelajaran darinya wacana tali menali sepatu masih saya gunakan, namun kini sudah sanggup menali kupu-kupu. Sejenak saya berpikir, dari manakah dia punya pengalaman menali sepatu, sekolah pun dia tidak.
Dan kini dia telah tiada. Ketika saya pulang, tak ada lagi seorang kakek duduk di sebuah dingklik kayu di beranda rumah belakang sambil menikmati teh hangat yang biasanya disediakan nenek. Kini shaf shalat berjamaah di mushala samping rumah berkurang. Tak ada lagi kakek menjadi makmum menantunya.
Aku masih ingat betapa dia sangat begitu mempedulikan barang-barang yang sudah rusak. Sandal-sandal jepit yang sudah putus, ia ambil dan dengan telatennya dia benahi semoga sanggup digunakan kembali. Bahkan sering menggunakan paku dan kawat untuk membenahi sandal-sandal tersebut, sehingga suatu kali kakiku sedikit tertusuk paku saat memamakai sandal tersebut. Untungnya hanya sedikit tertusuk, tidak begitu parah.
Beliau juga yang sering membuang sampah hasil dari limbah warung ibu. Tempat sampahnya pun dia yang membuatnya. Terbuat dari anyaman bambu. Dipundaknya sendiri daerah sampah itu, kemudian pergi membuangnya di erat kali yang juga sekaligus untuk menutup pematang sawah yangs sering kali longsor.
Dan gres beberapa bulan yang lalu, dia dengan kuatnya menciptakan kayu bakar dari tunggak-tungak pohon yang telah mengering. Aku membantunya, dan itu bukan pekerjaan yang mudah. Aku hanya sanggup sedikit sedikit. Di sela-sela saya mengapak kayu bakar, dia bertanya wacana hal-hal yang berkaitan dengan kuliahku.
Di waktu kecil saya juga pernah berkhayal dan bermimpi berujud doa, kelak saat saya menerima jodoh dan akan dipertemukan dalam ikatan perkawinan, semoga saja kakek masih sanggup mendatangi dan melihatku bersanding bersama perempuan jodohku. Namun takdir memilih lain. Kini mimpi dan khayalanku itu hanya sebatas mimpi dan imajinasi belaka.
Aku juga berharap saat saya lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana dia masih di sisiku. Ketika wisuda akan ku ajak dia menghadiri program wisudaku, melihat kampusku, melihat saya menggunakan toga, dan berfoto bersama. Namun itu hanya harap semu belaka, kini dia justru diwisuda terlebih dahulu oleh Allah SWT dari hidupnya di alam fana.
Aku juga masih ingat di waktu kecil saya bersama ayahku turun ke ladang saat hujan untuk menanam kapas. Ketika kami beranjak untuk pulang dan waktu itu hujan sedang deras-derasnya, kakekku justru gres berangkat ke ladang dengan membawa cangkul dan kami berpas-pasan di pematang sawah.
Kini nenekku tidur sendiri di kamar. Kadang kala saat kakek sedang tidur, dengkurannya hingga terdengar di kamarku. Kini bunyi dengkuran itu telah tiada. Sering saya berpikir, betapa kesepian nenekku yang setiap hari menyiapkan segelas teh dan kudapan untuk kakek di beranda rumah belakang yang kini juga semakin renta dan semakin tua. Kadang untuk sanggup berbicara dengannya harus dengan bunyi keras.
Aku tak pernah berpikir untuk kehilangan kakek secepat ini. Ketika saya berangkat kuliah ke Solo dua minggu yang lalu, kakek masih sehat bugar dan masih besar lengan berkuasa menanam kedelai di ladang. Namun seminggu kemudian penyakit hernia (lima belas tahun kemudian dia juga operasi hernia di potongan kanan perut) dia kambuh (kini potongan kiri) dan hari itu juga eksklusif masuk RS dan operasi. Menjelang operasi itulah, saya terakhir kali berjabat tangan dengan beliau. Terakhir kali saya memeluknya untuk mendudukkan dia di dingklik roda. Dan kata-kata terakhir yang masih saya ingat saat saya pamit balik ke solo ialah ”ngati-ati”. Dan saya tak sadar jikalau kata-kata itulah yang terakhir saya dengar dari beliau. Dan saya tak sempat menjenguknya lagi, Karena kiprah kuliahku menumpuk menjelang mid semester. Hanya bertanya kabar lewat SMS ke kakakku.
Dan kini dia telah tiada, mengakhiri kembara hidupnya di dunia. Aku sedikit bahagia, saat detik-detik janjkematian beliau, ayahku dengan sabar menuntun kakek membaca kalimat syahadat. Kakek mengucapkannya dengan bunyi yang cukup keras didengar dan semakin lama-semakin lelah hingga mengeluh jikalau ia lelah mengucapkannya. Hingga ayahku menyuruh untuk membatinnya saja. Dan dia membatinnya dengan sedikit mengerakkan bibir mengucap syahadat. Namun dia kembali lagi mengucap dengan bunyi dan membatinnya lagi dank au tak tahu apa yangterjadi sesudah itu. Takdir sudah erat kepada beliau.
Begitu banyak penggalan dongeng bersama beliau, beberapa bulan kemudian saya dan dia (hanya berdua) mengolah hasil kedelai yang telah mongering. Hingga larut sore pekerjaan itu belum selesai dan saya masuk ke rumah sebentar untuk shalat ashar. Kakek masih sibuk dengan kedelainya. Aku kembali. Dan menjelang maghrib dia bertanya padaku “wis ashar ko?” (kakek+keluargaku memanggil saya Koko. Aku jawab “sampun, wau”. Tampak raut kegelisahan padanya, mengapa kamu tak mengajaknya tadi. Dengan terburu-buru, dia mengambil air wudhu dan salat ashar.
Habis lebaran kemarin saya juga sempat mengantarkan dia pergi ke pasar membeli alat-alat pertanian. Dari situ saya tahu bahwa mental bisnis kakek persis aku, tampaknya dia tak bakir menawar barang. Aku pun tak sanggup membantunya, sebab saya memang kolot menawar.
Selamat tinggal kakek…….semoga kamu tenang dan tenang di alam sana…………..Semoga nirwana ialah daerah yang layak bagimu…………….
Allâhummagh firlahu, warhamhu, wa ‘âfihi wa’ fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wawassi’ mudkhalahu, waghsilhu bil mâ’i watstsalji wal baradi, wanaqqihi minal khathâyâ kamâ naqqaitats tsaubal abyadha minaddanasi. Wabdilhu dâran khairan min dârihi, wa ahlan khairan min ahlihi, wa zaujan khairan min zaujihi, wadkhilhul jannah, wa’dzihi min ‘adzâbil qabri wa min adzâbin nâr.
“Ya Allah ampunilah dia, sayangilah dia, maafkanlah dia, muliakanlah daerah singgahnya, luaskan daerah masuknya, mandikanlah dengan air salju dan es. Hapuskanlah kesalahannya, sebagaimana bersihnya baju putih dari kotoran, gantikanlah dengan daerah tinggal yang lebih baik dari daerah tinggalnya (di dunia), keluarga yang lebih baik dari keluarga di dunia, pasangan yang lebih baik dari pasangannya di dunia, masukkan dia ke dalam jannah, lindungi dia dari adzab kubur dan dari adzab api neraka.”
Buat lebih berguna, kongsi: