Sarjo tak menyangka kehidupannya akan berubah ibarat ini. Semua tampak begitu cepat berlalu dan kini ia sadar bahwa ia telah menjadi orang yang berhasil dalam hal kesuksesan hidup. Ia kadang terheran-heran sendiri dengan apa yang sudah diraihnya kini. Tak heran jikalau semua orang yang mengenalnya pantas menyebutnya pengusaha sukses.
Sebenarnya Sarjo hanyalah orang biasa. Tidak ada sesuatu yang menonjol dalam dirinya. Dari segi ilmu pendidikan, mungkin Sarjo patut di beri gelar orang yang tidak pernah makan sekolahan. Wajar saja alasannya yaitu sekolah dasar pun ia tidak tamat. Semua alasannya yaitu kehidupan ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Ia di besarkan dari sepasang petani kecil di kawasan pinggiran Wonogiri. Pada waktu kecil, Sarjo justru senang untuk mencari kayu di hutan yang bersahabat dengan rumahnya sembari menangkap burung untuk dijadikan lauk dari pada bersekolah dengan teman-temannya. Tak heran juga bila Sarjo sanggup dikatakan miskin ilmu pengetahuan, namun ia kaya akan pengalaman bersama alam. Dengan model anutan yang demikian, Sarjo menentukan untuk tidak bersekolah dan lebih senang untuk berladang ataupun mencari kayu di hutan.
Mengubah nasib memang tidak ibarat membalikan telapak tangan. Semua butuh proses untuk mencapai suatu hasil. Bagi Sarjo, mungkin proses itu terlalu licin baginya sehingga garis nasibnya di dunia bisa di ubahnya dengan cepat.
Semula berawal ketika Sarjo berumur sekitar dua puluh tahun. Ada pejabat dinas perhutanan yang sedang meninjau hutan di bersahabat rumahnya. Sarjo bergotong-royong tidak banyak ambil pusing dalam duduk perkara ibarat itu, toh ia juga tidak melaksanakan illegal loging di hutan itu. Ia hanya mencari seberkah rezeki di dalam hutan itu tanpa merusaknya.
Dan semua berawal dari sebuah percakapan antara pejabat dinas perhutanan yang ternyata berjulukan Pak Sukardi dengan Sarjo, sehabis dia meninjau keadaan hutan.
“Maaf Mas, kendaraan beroda empat ini kami parkir di halaman rumah sampeyan tanpa izin alasannya yaitu tadi mau izin namun rumah sepertinya sepi dan kosong”
“Tidak apa-apa Pak, yang penting semuanya aman-aman saja. Kalau boleh bertanya Bapak sedang melaksanakan kegiatan apa?”
“Ough…kami sedang melaksanakan inspeksi mendadak di hutan ini alasannya yaitu di sinyalir ada penebangan liar dan ternyata masih aman-aman saja”
“Apa yang sampeyan bawa itu?” Pak Sukardi menatap heran sebuah karung yang dibawa Sarjo.
“ Ini pohon kerdil Pak, tadi saya mencabutnya dari hutan. Ini tidak termasuk penebangan liar kan Pak?” disertai wajah polos Sarjo.
“Boleh saya lihat?”
Sarjo membuka karung yang dibawanya. Tampak sebuah pohon beringin yang berukuran kecil namun dengan batang pohon yang tidak mengecewakan besar sehingga tampak bundar teksturnya.
“Wah ini namanya bonsai Mas, saya termasuk penghobi bonsai”
Wajah polos Sarjo kembali terlihat. Ia hanya melongo mendengar perkataan Pak Sukardi. Sarjo bergotong-royong sudah tahu kalau memang banyak orang yang memburu sesuatu yang mereka namakan bonsai. Namun secara detail ia tidak tahu bagaimana bentuk bonsai yang sebenarnya. Sepengetahuannya bonsai itu sejenis tanaman yang indah dan berharga mahal.
“Mas, bonsai ini boleh saya beli”
“Itu pohon beringin kecil Pak, bukan bonsai! Kalau Bapak menginginkannya, silahkan bawa saja Pak, saya masih ada beberapa di dalam rumah” Sebuah alasan dan penawaran yang terlalu polos.
“Boleh saya melihat yang ada di dalam rumah!”
Sarjo mempersilahkan Pak Sukardi beserta anak buahnya untuk masuk ke rumahnya untuk melihat tanaman koleksi Sarjo sekaligus mampir untuk beristirahat. Pak Sukardi kaget melihat koleksi Sarjo. Ternyata Sarjo mempunyai bonsai yang lebih banyak dari pada koleksi di rumahnya. Semua koleksi Sarjo tampak elegan dan bervariasi serta mempunyai keunikan yang belum pernah ia temukan.
“Mas, saya ingin membeli bonsai yang berpot besar itu!”
“Sudah Pak, ambil saja! Saya tidak keberatan. Saya sudah semenjak kecil mengumpulkan ini semua.”
“Baiklah saya ambil yang ini! Namun saya yaitu penghobi bonsai jadi saya harus menghargai setiap bonsai yang akan saya miliki. Jika saya mengambilnya secara langsung, tidak ada kemantapan pada dalam diri saya. Ibaratnya tidak ada sesuatu yang bernyawa dalam bonsai itu jikalau sampeyan memberikannya secara gratis”
Akhirnya Pak Sukardi membawa pulang bonsai itu. Sambil berlalu Pak Sukardi menyelipkan uang lima ratus ribu di saku Sarjo. Uang yang begitu besar di mata Sarjo, namun uang sebesar itu berdasarkan Pak Sukardi pantas untuk membayar bonsai yang dibawanya. Semua ada prestisenya.
Sejak ketika itu banyak orang yang berdatangan ke rumah Sarjo untuk membeli bonsai. Tak mau lari dari sebuah garis nasib yang baik, Sarjo pun memakai tanaman koleksi miliknya sebagai ajang bisnis yang meraup banyak keuntungan. Semakin usang pelanggannya pun semakin banyak. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun-tahun pun berlalu, bisnis bonsai sarjo semakin berkembang pesat. Ia kini telah membuka kios di kota. Tidak hanya penjualan bonsai saja yang ia layani. Namun pembelian bonsai pun ia layani untuk memperbanyak stok. Bisnis bonsainya berjalan lancar dan semakin maju. Namun yang mengherankan, Sarjo tidak pernah kehabisan stok bonsai yang ada di kiosnya. Dengan modal yang bisa dikatakan nol besar, kini ia menjadi pengusaha sukses di kotanya bahkan mengalahkan teman-temannya yang telah bergelar sarjana.
Sarjo tampak puas dengan semua yang dicapainya. Sekarang ia telah berumur tiga puluh tahun. Umur yang masih dikatakan cukup muda untuk menjadi seorang pengusaha yang sukses. Ia telah merintis usahanya yang kian maju ini dalam sepuluh tahun. Tak hanya itu, kepuasan dan kebahagiaannya bertambah dengan mempunyai seorang istri yang anggun dan baik hati. Tak kurang itu mereka telah dikaruniai dua ornag anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Apa yang kurang dalam dirinya. Harta terang sangat melimpah baginya. Tuntutan jiwa juga tidaklah kurang. Kebahagiaan mempunyai isteri anggun dan dua bocah yang menjadi buah hatinya mengakibatkan hidupnya semakin bahagia.
Hingga di suatu hari. Sarjo tampak gelisah. Setiap hari ia selalu mimpi buruk. Ia juga tidak mengetahui bergotong-royong ia mimpi apa. Biasanya sehabis bangkit ia tidak ingat dengan mimpi buruknya. Semua mimpinya terlihat samar namun menyisakan kegelisahan dalam diri Sarjo.
Pikiran Sarjo pun semakin ruwet alasannya yaitu ia kini juga memikirkan wacana politik yang sedang berjalan di negaranya. Ia sudah terbiasa berbincang wacana politik alasannya yaitu banyak bertemu dengan pejabat. Tak elak jikalau ia sering bertemu dengan pejabat alasannya yaitu hampir sembilan puluh persen pelanggan bisnis bonsainya yaitu para pejabat. Mulai dari perangkat desa hingga menteri-menteri yang mempunyai kendaraan beroda empat pribdi yang mewah. Mereka rela berbondong-bondong membeli bonsai yang dimiliki Sarjo di kota kecil itu. Pada umumnya pejabat itu yaitu pejabat yang berasal dari luar kota bahkan ada juga yang dari luar jawa. Entah kenapa pejabat-pejabat senang dengan bonsai yang dimiliki Sarjo. Isu yang terjadi malah kabarnya keunikan bonsai dari Sarjo banyak mendatangan berkah bagi pejabat-pejabat tersebut.
Karena sering bertemu dengan para pejabat dan juga berbicara duduk perkara politik. Sarjo semakin paham wacana perpolitikan dan abjad setiap pejabat yang menjadi langganannya. Ia mulai mengerti jalan pikiran pejabat-pejabat yang menjadi langganan bisnis bonsainya. Pemikiran-pemikiran mereka tampak kerdil ibarat bonsai-bonsai yang dimiliknya. Ia kemudian bergumam “Pantas saja mereka suka bonsai, ternyata otak mereka juga otak bonsai”.
Sarjo paham dengan terang sikap para pejabat yang menjadi langganannya. Namun ia tidak ambil pusing dengan sikap dan tingkah laris mereka. Yang terpenting baginya yaitu ia tetap damai berbagi bisnis bonsainya tanpa terganggu oleh budaya politik di negaranya.
Pada suatu malam, Sarjo berpikir wacana segala kegelisahan yang ia rasakan akhir-akhir ini. Ia merasa apa yang dimakannya selama ini yaitu kotor alasannya yaitu kesuksesannya sedikit banyak berasal dari uang para pejabat yang terbiasa melaksanakan korupsi. Ia semakin gelisah dengan semua yang ada di pikirannya. Malam semakin gelap. Sarjo karenanya terlelap diiringi rintihan gelisah dalam dirinya.
Kini pejabat-pejabat negara sering bertandang ke kios bonsai Sarjo yang sekaligus menjadi satu dengan tempat tinggal Sarjo. Karena terlalu sering melaksanakan pertemuan di rumah Sarjo. Akhirnya pejabat-pejabat itu menciptakan semacam perkumpulan penghobi bonsai. Perkumpulan itu hanya dianggotai para pejabat-pejabat teras negara. Bagi seseorang yang tidak berstatus pejabat dihentikan ikut dalam perkumpuan tersebut. Sarjo pun tidak ikut dalam perkumpulan itu. Ia hanya menyediakan tempat untuk bertemunya para anggota perkumpulan pejabat penghobi bonsai tersebut.
Waktu pun terus berlalu, perkumpulan itu semakin berkembang dan semakin banyak mempunyai anggota yang kesemuanya berstatus pejabat aktif dari tingkat bawah hingga ke atas. Mereka rutin bertemu untuk sekedar ngobrol atau mengikuti program resmi memperbincangkan bonsai di rumah Sarjo yang kini bersatatus tempat resmi perkumpulan itu.
Setiap program yang dilaksanakan di rumahnya, Sarjo selalu mengikuti dari awal hingga akhir. Sebab itulah ia semakin mengenali abjad setiap pejabat yang angkat bicara dalam acara-acara tersebut. Sarjo semakin terbebani oleh pikirannya sendiri. Pikiran yang berasal dari anutan para pejabat itu. Dalam program yang diselenggarakan, pejabat-pejabat itu tidak hanya memperbincangkan dan mempersoalkan dunia bonsai saja namun sering juga membahas politik yang akan dilaksanakan di negaranya sesuai kiprah masing-masing.
Sarjo yang semakin hari berpikir wacana politik, maka seiring waktu, ia juga encer dalam duduk perkara politik. Tentunya dari menyoroti dari pemikiran-pemikiran pejabat yang dikenalnya, Sarjo telah bisa memfiltrasi mana yang benar dan mana yang salah. Sarjo mempunyai suatu anutan dan pendapat bahwa semua pejabat dalam perkumpulan itu memang berotak kerdil. Sama persis dengan bonsai yang dimilikinya.
Semakin usang maka semakin sering perkumpulan pejabat penghobi bonsai tersebut menciptakan program di rumah Sarjo. Pada setiap pertemuan, Sarjo hanya bisa menonton dan melongo menatap para pejabat itu berdiskusi. Tapi semakin usang mata Sarjo ibarat tidak normal lagi. Dalam tangkapan matanya, Sarjo melihat pejabat yang sering mengadakan pertemuan di rumahnya semakin hari semakin terlihat kerdil. Bahkan ada seorang bupati yang dulu tinggginya melebihi Sarjo, kini tingginya hanya sepinggang Sarjo. Sarjo semakin tidak mengerti dengan semua yang dialaminya. Ia bahkan pernah memeriksakan matanya ke dokter spesialis, namun tidak ada vonis bagi dirinya, semuanya baik-baik saja. Ia bahkan bertanya pada isterinya mengenai tinggi tubuh para pejabat itu. Isterinya menyampaikan semua normal saja dan tidak ada yang berubah pada fisik para pejabat itu, terkhusus tinggi tubuh mereka.
Tatapan mata Sarjo semakin hari semakin menangkap sosok tubuh para pejabat yang menjadi langganan bisnis bonsainya semakin mengerdil. Dan kini tampak di depan mata Sarjo seorang menteri yang sudah menjadi kerdil. Tampak pula seorang anggota dewan perwakilan rakyat yang tubuhnya kini hanya setinggi lutut Sarjo. Tatapan Sarjo semakin nanar. Kini ia melihat puluhan bahkan ratusan pejabat-pejabat yang kini bermetamorfosis kerdil. Mungkin saja sekerdil otaknya yang sering dipakai untuk mengatur kekuasaaanya.
Semakin usang pejabat yang hanya sebesar kurcaci itu semakin bertambah banyak. Sarjo menatap semua yang ada disekelilingnya. Ia ibarat raksasa dalam sebuah hutan. Hutan bonsai dengan ratusan makhluk kerdil yang bernaung di bawahnya.
Andi D Handoko,
gambar dari: www.collectorscorner.com.au
Buat lebih berguna, kongsi: