Kode Iklan Disini

Cerpen Ihwal Politik Si Tukang Kritik


Cerpen ini gotong royong pernah dimuat di Harian Joglosemar, Minggu, 9 Oktober 2011, tetapi gres saya ketahui tahun 2015 ini.

Si Tukang Kritik
oleh: Andi D. Handoko
Foto-foto yang terselip di tiap halaman album kusam itu seakan menghidupkan sejarah yang telah berlalu. Sejarah yang penuh darah dan api perjuangan. Barangkali foto-foto itu menjadi bukti bahwa sejarah tak bisa dibohongi hanya dengan teriakan dan orasi-orasi semata. Sejarah itu kejam. Sejarah itu perlawanan. Sejarah itu pemerasan dan penindasan. Namun, sejarah juga menyimpan kenangan dan kebahagiaan.
“Jadi kau dulu yaitu seorang aktivis?”
Keheningan ruang tamu terpecah oleh pertanyaan Barkah pada Joni. Namun Joni tak pribadi menjawab pertanyaan itu. Ia hanya mengernyitkan senyum pada sobat kerjanya itu.
“Mengapa kau hanya tersenyum, Jon?” tanya Barkah lagi sembari membalik halaman album foto di hadapannya.
“Ya, menyerupai itulah. Terserah kau mau sebut apa, pelopor atau sebutan lainnya. Hanya saja, pada masa itu, saya dan teman-teman kampus hanya ingin mengeluarkan unek-unek kami. Kami merasa kami perlu bertindak atas matinya demokrasi ketika itu.”
“Gaya bicaramu memang ciri khas orang idealis. Dari foto-fotomu ini dan beberapa kliping tulisanmu di media massa, saya agak heran kau kini malah menjadi seorang guru sekolah dasar. Harusnya kau lebih cocok jadi wartawan atau politikus.”
“Mungkin memang sudah garis hidupku untuk membantu mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi seorang guru, ha...ha...ha... Kalau menjadi wartawan, itu sudah kulakukan waktu di kampus dulu. Jelek-jelek begini saya pernah menjadi pemimpin redaksi majalah kampus.”
“Tapi jikalau jadi politikus? Kau merasa tertarik?”
“Menjadi politikus atau pejabat negara itu godaannya sangat besar. Sistem yang karut-marut telah menciptakan idealisme mati. Sulit untuk mengubah sistem yang sudah telanjur salah kaprah itu.”
“Maksudnya?”
“Contoh mudah saja, suap-menyuap dan pungli sudah menjadi sistem yang sangat sulit dihapus. Sekadar buat KTP saja, mesti ada uang manajemen biar jadi lebih cepat.”
“Benar itu Jon, kemarin keponakanku cerita, ia memperpanjang SIM dan sudah membayar biaya sesuai dengan ketentuan yang sudah ada. Namun, ketika gres mau ambil SIM yang sudah diperpanjang, ia malah ditarik biaya lagi dan tanpa kuitansi.”
“Ditarik berapa?”
“Rp 30.000.”
“Tanpa kuitansi?”
“Tanpa.”
“Itu berarti keponakanmu yang kurang pandai, ha...ha...ha... Kalau mengurus sesuatu di kantor milik pemerintah, setiap biaya niscaya ada kuitansi. Kalau tidak ada, niscaya itu masuk ke kantong para pegawanegeri pemerintah itu. Bayangkan saja, retribusi masuk ke sebuah terminal dengan membayar Rp 200 saja pakai karcis, apalagi Rp 3.000. Jelas-jelas itu niscaya cuma masuk kantong saja.”
“Heran, padahal mereka itu sudah sanggup honor dari pemerintah yang bisa hingga dua tiga kali lipat upah minimal kota, sanggup kontribusi anak istri, belum yang lain-lainnya. Tapi tetap saja hobi nilap uang-uang rakyat. Apa mereka nyaman dengan uang haram menyerupai itu.”
“Ya, semua kembali ke pandangan masing-masing. Semua memang subjektif. Menurutmu mungkin dengan honor dan segala tunjangannya cukup bagi mereka, tetapi bagi mereka itu mungkin belum cukup. Jadi, ya apa boleh buat mereka berbuat semaunya.”
Suasana tenang lagi. Joni menyeruput kopi elok yang telah disuguhkan istrinya yang berdasarkan Joni yaitu perempuan yang paling manis. Sementara, Barkah masih saja membolak-balik foto-foto Joni dalam album yang mulai kusam itu. Ia menyerupai ingin mengenal lebih lanjut sobat mengajarnya itu.
“Ini siapa Jon? Kulihat dalam foto-foto ini, tampaknya kau sangat dekat dan dekat dengannya.”
“Aku memanggilnya Boim, sobat satu Sekolah Menengan Atas dan satu jurusan juga waktu kuliah. Dulu, ia juga sering berdemo denganku. Bahkan di antara saya dan teman-teman lainnya, Boim yaitu mahasiswa yang paling berani. Karena keberanian dan kenekatannya yang selalu mengkritik kebijakan pemerintah dan kampus, kami memanggilnya si Tukang Kritik.”
Joni mulai menceritakan secara detail soal Boim kepada Barkah. Dalam kenangan Joni, Boim yaitu seorang mahasiswa yang sangat kritis. Ia yaitu pencetus kolom Tikam di majalah kampusnya dulu. Tikam itu yaitu abreviasi dari “kritikan kampus”. Isi kolom itu yaitu kritikan untuk kebijakan-kebijakan kampus yang dinilai kurang sempurna dan sewenang-wenang.
Namun, apa yang terjadi, gres dua kali kolom itu terbit, pihak kampus sudah memerintahkan untuk menghilangkan kolom tersebut. Sementara, si Boim yang ketika itu sebagai pemimpin redaksi harus rela berjam-jam diinterogasi pimpinan kampus. Awak redaksi lainnya pun juga begitu. Akibatnya, pihak kampus mengancam tidak akan mengucurkan dana untuk pers kampus tersebut. Dengan perundingan yang panjang dan banyak sekali alasan, karenanya pers kampus tetap jalan, walau si Boim harus lengser dari dingklik pemimpin redaksi.
“Gila! Dalam kolom itu, si Boim menulis opini berjudul Kantor Kampus Sarang Tikus. Gila benar si Tukang Kritik itu!” terang Joni berapi-api pada Barkah.
Joni terus mengurai kisah Boim. Boim merupakan inisiator dan penggerak mahasiswa turun ke jalan untuk melengserkan tampuk kepemimpinan Orde Baru. Ia dengan lantang menyuarakan bahwa Orde Baru yaitu pemerintahan yang sangat busuk. Ia menuliskan kritikannya pada Orde Baru pada sebuah kertas, dan ia fotokopi sendiri dan disebarkan kepada masyarakat. Ia memang si Tukang Kritik yang pantang menyerah. Julukannya itu memang benar-benar pantas untuknya.
“Gara-gara dekat dengan Boim. Aku jadi ketularan. Oleh teman-teman, saya dijuluki wakil tukang kritik...ha... ha...”
“Pantas saja, di sekolah kau juga selalu ngeyel.”
“Bukan ngeyel, tapi hanya bersikap yang tepat. Bayangkan saja, masa kepala sekolah mau menyunat dana BOS untuk dibagi kepada guru-guru? Menarik uang seragam siswa gres secara berlebihan semoga untung banyak dan masuk kantong pribadi, padahal sekolah kita sekolah negeri. Tidak pantaskah untuk dikritik?”
“Tapi kau menjadi dibenci oleh Pak Kepala.”
“Ya, itu konsekuensi. Itulah yang dinamakan sistem yang masih amburadul. Banyak orang idealis yang luntur idealismenya sebab masuk ke dalam sistem menyerupai itu. Dan saya pernah ngobrol dengan seorang budayawan. Katanya, idealisme itu semakin bau tanah semakin berkurang. Maka banyak orang yang dulu yaitu pelopor mahasiswa dan kini menjadi pejabat, sudah berani bermain dengan korupsi. Ya, sebab idealisme mereka luntur. Dulu mereka berkoar-koar menentang pejabat yang korupsi, eh sehabis jadi pejabat sungguhan malah dirinya sendiri yang korupsi.”
“Benar kau Jon. Kata orang-orang jaman wis edan, yen ra melu edan ora keduman dan semuanya ikut edan.”
“Itulah mengapa korupsi sulit diberantas dan aturan di negara kita bisa dipermainkan dan orang yang idealis justru terpinggirkan dari masyarakat.”
Joni dan Barkah kembali diam. Barkah mengangguk-angguk seakan ia membenarkan apa yang telah dipaparkan Joni. Dari kisah yang diuraikan Joni, Barkah menjadi lebih mengerti bahwa orang seumuran yang ada di hadapannya yaitu seorang guru yang memang lain daripada yang lain. Karena seumuran, di luar lingkungan sekolah mereka justru lebih sering memanggil pribadi nama mereka masing-masing.
“Kopinya silakan diminum. Malah keburu masbodoh jadi kurang nikmat,” bunyi Joni memecah keheningan di antara keduanya.
“Iya Jon,” ucap Barkah seraya meraih cangkir di depannya.
“Kau lihat pejabat negara, anggota dewan yang terhormat dan menteri-menteri sekarang? Mereka cenderung bersifat pragmatis dan antikritik.”
“Betul Jon. Mereka itu jikalau dikritik selalu beralasan untuk kepentingan rakyat, padahal gotong royong mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan partainya. Ironis, mereka selalu minta honor yang tinggi. Katanya untuk meningkatkan kinerja, bahkan sering menghambur-hamburkan uang rakyat hanya dengan alih-alih studi banding ke luar negeri.”
“Ya, memang ironis dan lucu. Padahal seharusnya mereka bekerja dan berprestasi dulu, gres minta kenaikan gaji. Eh, kerja masih awut-awutan, yang digunjingkan hanya honor dan kontribusi saja.”
Suasana kembali hening. Joni menyeruput kopinya, sedangkan Barkah sibuk dengan ponselnya yang gres saja mendapatkan pesan singkat. Setelah selesai dengan ponselnya, tiba-tiba Barkah teringat sesuatu.
“Oh, iya Jon, saya hingga lupa. Kembali soal temanmu tadi itu. Siapa namanya tadi?”
“Aku memanggilnya Boim.”
“Terus kini si Boim itu ada di mana? Kalian masih berkomunikasi?”
“Dia di Jakarta. Saya sering SMS dan telepon dia, tapi tidak pernah dibalas atau diangkat. Barangkali ia sangat sibuk.”
“Memangnya kini ia kerja apa di Jakarta?”
“Jadi anggota dewan.”


 Andi Dwi Handoko
Penulis yaitu pencinta dunia
sastra, tinggal di Sambeng RT 2 RW I, Sedayu, Pracimantoro, Wonogiri
 http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/si-tukang-kritik-56208.html

Buat lebih berguna, kongsi:
close