Kode Iklan Disini

Cerita Islami Titipan Ilahi

Titipan Ilahi

oleh: Andi Dwi Handoko

 
Ada semburat cahaya yang menelan fajar. Pagi menyapa para makhluk di bumi untuk beranjak menunaikan tugasnya. Sisa hujan malam hari menciptakan pagi lebih masbodoh daripada pagi biasanya. Angin kadang sepoi membelai embun yang menciptakan suasana semakin dingin. Pada ketika itulah ada kegelisahan yang menguasai benak Anisa.

Anisa termenung dalam duduknya. Sudah usang ia memandangi bebunga di taman dari daerah duduknya di beranda. Sementara matahari semakin meninggi, ia masih saja termenung dalam suatu lamunan dengan arah mata memandangi taman bunga di halaman rumahnya. Sekilas tampak ada buliran bening mengalir dari celah kelopak matanya. Anisa menangis, tapi tidak hingga sesenggukan dan tanpa isakan. Ia hanya meneteskan air mata.

Tak berapa lama, terdengar langkah kaki mendekati Anisa. Namun, Anisa masih saja berkutat dengan lamunannya dan ia tak menghiraukan buliran air mata yang menetes mengalir lewat pipinya.

“Selamat pagi sayang…!”

Ucapan tersebut membuyarkan lamunan Anisa. Ia kaget dan sontak mengelap air matanya. Ia lantas mencubit perut Firman, suaminya. Firman tahu bahwa di pipi istrinya ada bekas air mata, tetapi Firman tidak ingin menanyakannya secara langsung.

“Ada apa istriku yang cantik? Pagi-pagi sudah bengong di beranda? Mau jadi wanita dalam beranda?” ucap Firman sembari duduk di erat Anisa.

“Mas sanggup saja.”

“Ada apa sayang? Pagi yang cerah masa harus dihiasi dengan wajah murung? Lihat itu di pohon mangga, burung gelatik itu dengan kicauannya riang menyambut pagi.”

“Nggak ada apa-apa Mas. Cuma ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran.”

“Kalau ada yang mengganjal berarti ada apa-apa bukan nggak ada apa-apa. Ada apa tha?”

“Tadi malam ibu Mas Firman telepon menanyakan kabar kita.”

“Lantas apa masalahnya?”

“Setelah tanya soal kabar, Ibu menanyakan kapan dia sanggup menimang cucu.”

Tiba-tiba suasana hening. Ada buliran air mata yang kembali mengalir dari mata Anisa. Namun, Firman kemudian menenangkan istrinya.

“Soal itu tidak usah begitu dipikirkan. Kita yang sabar saja. Kalau Ibu tanya soal itu lagi, jawab saja bahwa kau masih fokus di kuliah S-2.”

“Tapi sebentar lagi tesisku simpulan Mas, hanya tinggal menghitung ahad saya sudah ujian tesis.”

“Ya pokoknya jangan terlalu dipikirkan. Itu malah menjadi beban di pikiranmu. Pokoknya kita perjuangan dan berdoa niscaya nanti Allah mengabulkan cita-cita kita dan orangtua kita untuk mempunyai momongan.”

“Bagaimana bila kita ke dokter saja Mas?”

“Ke dokter?” tanya Firman sambil mengernyitkan dahi.

“Mas tidak mau?”

“Bukannya tidak mau, tetapi apa kita sudah sangat perlu untuk tiba ke dokter? Misalnya kesannya nanti tidak sesuai dengan harapan kita. Apakah kau sudah sanggup menerimanya?”

Sejenak, Anisa menarik napas panjang dan merunduk sambil merenungi apa yang telah dikatakan Firman. Anisa pun meyakinkan dirinya, lantas memegang telapak tangan suaminya.

“Apa pun yang terjadi, baik kepada diriku maupun kepada Mas Firman, saya siap menerimanya Mas, dengan syarat Mas Firman juga sudah siap untuk menerimanya.”

Mereka pun tetapkan untuk memeriksakan kesehatan mereka ke dokter. Setelah dilakukan beberapa tes laboratorium, ternyata mereka dinyatakan baik-baik saja. Tentu ini ialah kabar baik.

“Alhamdulillah ya Nis..”

“Ya Alhamdulillah Mas. Tetapi kenapa kita belum juga dikaruniai anak ya?”

“Allah Mahatahu dan Mahakuasa, kita tidak tahu rencana-Nya. Anak itu titipan ilahi, jadi barangkali kita belum diberi waktu untuk dititipi-Nya.”

“Insya Allah nanti di waktu yang tepat,” ujar Anisa menanggapi suaminya yang dibalas Firman dengan senyuman optimistis.

Tak terasa waktu cepat berlalu, Anisa sudah mendapatkan gelar magisternya. Pada ketika itulah kabar baik pun datang. Anisa ternyata ketika itu sudah dinyatakan hamil. Sungguh kebahagiaan untuk Firman beserta seluruh keluarga besarnya. Firman sangat perhatian terhadap istrinya. Begitu pula Anisa yang juga sabar merawat bayi dalam kandungannya.

Mendekati hari kelahiran, Firman tampak semakin menjadi suami yang sangat perhatian dan tanggung jawab. Setiap hari, ia sudah menyiapkan diri untuk menjadi suami siaga.

“Mas..katanya bila hamil kemudian mendengarkan musik klasik sanggup mencerdaskan otak bayi.”

“Tak perlu sayang..”

“Lho..kenapa?”

“Karena lantunan ayat-ayat suci yang kita baca lebih ampuh daripada musik-musik itu,” ujar Firman sambil mengelus-elus perut istrinya yang sudah membuncit.

Anisa pun tersenyum mendengar alasan suaminya tersebut.

“Mas, saya ke kamar mandi dulu.”

“Enggak diantar?”

“Ah, kau Mas, masa ke mana-mana mau ngikut …”

“Ya, dah hati-hati ya…”

Tak berapa lama, terdengar jeritan dari arah kamar mandi. Firman yang ada di kamar lantas kaget dan serta merta menuju arah suara. Sesampai kamar mandi Firman tidak percaya apa yang dilihatnya. Anisa mengerang kesakitan di lantai kamar mandi dengan darah yang luar biasanya banyaknya. Tidak ada yang sanggup dilakukan, kecuali membawa Anisa ke rumah sakit.

“Bagaimana Dok?” tanya Firman kepada dokter.

“Maaf, kami sudah berusaha maksimal, istri Bapak selamat, tetapi bayi dalam kandungannya tidak sanggup kami selamatkan.”

Ada burat kesedihan dalam wajah Firman. Firman pun masuk ke kamar perawatan Anisa. Terlihat kondisi Anisa sangat lemah.

“Anak kita Mas …..”, ujar Anisa lemah sambil meneteskan air mata.

“Sabar sayang. Semua niscaya ada hikmahnya. Allah sedang menguji kita. Anak hanyalah titipan ilahi. Allah mengambilnya sebelum kita sempat merawatnya di dunia.”


Dimuat di rubrik Hikayat, Solopos, Jumat, 23 Desember 2011
Buat lebih berguna, kongsi:
close