Kerja Ikhlas
oleh: Andi Dwi HandokoTengah siang, matahari begitu terik. Lelaki itu tampak termangu melihat alat-alat kerjanya. Udara yang begitu panas menciptakan badannya gerah. Terlihat buliran keringat melekat di dahinya. Namun, kadang ada sepoi angin yang sedikit membuatnya segar. Apalagi di depan tempatnya bekerja, tumbuh pohon mangga yang sedikit lebat.
Lelaki itu lantas mengambil kunci ring dan pencongkel ban, kemudian menciptakan suara-suara tak bernada dengan mengadu kedua alat tersebut. Ada rasa bingung dalam hatinya. Usaha tambal bannya hari-hari terakhir ini sangat sepi. Terlebih hari ini, sudah pukul 12 belum ada satu pun orang yang memakai jasanya.
Lamunan lelaki itu pun berjalan menembus ruang-ruang imajinasi. Ia teringat anak pertamanya yang akan masuk Sekolah Menengan Atas dan anak keduanya yang akan masuk SMP. Semuanya butuh biaya. Apalagi kini biaya sekolah kian mahal, padahal dulu sempat digembor-gemborkan gratis oleh pemerintah. Sementara kebutuhan hidup bertambah, pemasukannya dari perjuangan tambal ban malah semakin sepi.
Namun sejenak ada secercah harapan. Ia kedatangan seorang cowok yang menuntun motornya. Agaknya ban depannya kempes.
“Tambal ban Pak.”
“Iya Mas, mari silakan duduk, semoga motornya saya yang urus.”
“Terima kasih Pak.”
“Bocor di mana Mas?”
“Itu Pak tadi habis ambil uang di bank di sebelah sana itu. Eh, keluar dari parkiran bank, ban
depannya kempes menyerupai itu.”
Kedua orang itu kemudian tak bercakap-cakap. Si cowok sibuk dengan ponselnya dan lelaki penambal itu sibuk mencari apa yang menjadikan ban depan motor cowok itu kempes.
“Wah Mas, ini bannya tertusuk kawat kecil, lubangnya ada dua. Jadi, harus dua kali menambal.”
“Ya enggak apa-apa Pak, saya tunggu.”
Sesaat hening. Hanya terdengar bunyi kendaraan yang kemudian lalang di jalan. Kedua lelaki itu kembali pada kesibukannya masing-masing. Setelah beraktivitas dengan ponselnya, cowok itu kembali membuka percakapan.
“Bapak sudah usang jadi penambal ban?”
“Kira-kira sudah tiga tahun Mas. Dulu pernah kerja jadi sales obat, sales alat-alat masak, jadi buruh pabrik dan kuli bangunan, tapi sesudah punya sedikit modal saya buka perjuangan ini Mas.”
Kedua lelaki itu pun terlibat dalam pembicaraan. Setelah berkenalan, cowok itu tahu nama bapak penambal ban itu yaitu Pak Bejo. Sedangkan Pak Bejo menjadi tahu bahwa cowok itu berjulukan Arif.
“Nama Bapak sungguh menarik, niscaya orangtua Bapak ingin Bapak menjadi orang yang selalu beruntung. Bejo kan beruntung. He he he.”
“Ya memang ada benarnya Mas, tetapi saya kok merasa tidak beruntung terus ya? Sudah gonta-ganti pekerjaan tetapi tetap saja miskin.”
“Bapak jangan pesimistis, setiap perjuangan niscaya ada hasilnya.”
“Bayangkan saja Mas, anak pertama mau masuk Sekolah Menengan Atas dan anak kedua mau masuk SMP. Butuh biaya banyak kan? Apalagi, istri beberapa hari ini tidak jualan ke pasar sebab sakit. Dan herannya, tambal ban juga sepi. Nah ini, Mas Arif yaitu pelanggan pertama hari ini. Kalau begini terus, sekolah kedua anak saya bagaimana? Kalau PNS sih sanggup utang di bank.”
“Waduh Pak, kebutuhan Bapak memang tidak sedikit tetapi percayalah Pak, bila bekerja dilandasi dengan ikhlas, niscaya balasannya setimpal dengan perjuangan kita. Bapak tahu aturan kekekalan energi?”
“Apa itu Mas? Bapak saja Sekolah Menengah Pertama tidak lulus. Tidak mengerti persoalan menyerupai itu.”
“Jadi begini Pak. Hukum kekekalan energi itu yaitu energi yang kita keluarkan sama dengan energi yang kita terima. Ada energi faktual dan ada negatif. Jika bekerja keras disertai tulus itu energi positif, artinya energi yang baik. Jika mengeluarkan energi yang baik, tentu nanti yang kita terima juga energi yang baik. Begitu juga sebaliknya Pak. Itu berlaku di kehidupan kita Pak.”
“Saya mulai mengerti klarifikasi Mas Arif tetapi saya juga tidak setuju.”
“Kenapa Pak?”
“Mas Arif tadi dari bank ta? Lihat karyawan-karyawannya, mereka kerja duduk-duduk di depan komputer, ruangan mak nyus dinginnya, tetapi gajinya besar. Bandingkan dengan saya, sudah panas-panas, kotor tapi pendapatan pas-pasan. Itu kan tidak sama dengan klarifikasi Mas Arif tadi.”
“Itu beda Pak. Mereka itu sebelumnya sudah menabung energi positif, yaitu mengenyam pendidikan. Pendidikan kan juga usaha, butuh uang dan pikiran. Jadi, mereka sudah memetik usahanya. Bila ada orang yang berpendidikan tapi usahanya dilakukan dengan cara-cara kotor, sama halnya mereka menabung energi negatif Pak. Contohnya koruptor, mereka itu bekerja sedikit, uang banyak. Tapi balasannya apa? Masuk penjara ta? sanggup jadi masuk penjara yaitu hasil dari tabungan energi negatif.”
“Oh begitu ya Mas.”
“Iya Pak. Bapak percaya dengan keberuntungan? Misalnya ada orang yang tiba-tiba sanggup hadiah besar?”
“Percaya Mas. Buktinya Karyo tetangga saya sanggup hadiah jutaan rupiah dari bank. Dia itu memang beruntung.”
“Kalau berdasarkan saya, itu bukan keberuntungan Pak. Semua itu hasil tabungan energi positif. Jadi, contohnya orang yang bekerja maksimal dengan dilandasi tulus tapi hasilnya minimal. Berarti ia telah menabung energi positif. Energi itu semakin usang semakin menumpuk dan balasannya menjadi hasil yang luar biasa. Jadi, tidak sekadar keberuntungan Pak.”
“Benar juga Mas, berarti saya harus bekerja keras dan ikhlas, semoga menabung energi faktual ya Mas?”
“Benar Pak. Niat Bapak menambal ban itu apa?”
“Ya bekerja Mas, untuk mencukupi kebutuhan keluarga.”
“Kalau banyak orang yang ban motornya bocor dan menambal di sini berarti Bapak bahagia sebab uang yang dihasilkan sanggup lebih banyak?”
“Iya Mas. Kalau ramai saya bahagia sebab penghasilan bertambah. Otomatis kan sanggup mencukupi kebutuhan keluarga.”
“Wah, itu sama saja Bapak bersyukur di atas penderitaan orang lain dong? Orang lain kena musibah, tetapi Bapak senang. Coba kini niat Bapak itu diubah.”
“Diubah bagaimana Mas?”
“Niat Bapak diubah menjadi ingin menolong orang yang bannya bocor. Menolong kan energi positif. Jadi, selain ingin mencari rezeki juga untuk menolong orang lain Pak. Itu yang dinamakan kerja ikhlas.”
“Wah benar juga Mas. Insya Allah, mulai kini saya coba mengubah niat menyerupai itu. Ini sudah beres Mas. Karena dua yang bocor, biayanya jadi delapan ribu.”
Pemuda itu pun mengeluarkan dompetnya. Ia menunjukkan uang cuilan Rp 100 ribu kepada Pak Bejo. “Waduh Mas, ada yang kecil? Tidak ada kembalian soalnya.”
“Sudah Pak, enggak usah pakai kembalian. Anggap saja ini hasil dari energi faktual sebab Bapak telah menolong saya.”
“Terima kasih sekali Mas. Nasihat dan kebaikan Mas Arif niscaya tidak akan saya lupakan.”
Senyum kelegaan Pak Bejo mengantar cowok itu meninggalkan bengkel tambal bannya.
Dimuat Solopos, Jumat, 01 Juli 2011 Halaman : X
Buat lebih berguna, kongsi: