Sebenarnya resensi cerpen ini yakni kiprah kuliah delapan tahun yang kemudian dan sudah saya posting di blog organisasi kampus yang kini masih aktif, tetapi jarang dijamah. Hasil resensi ternyata pernah diambil untuk soal Ujian Nasional Sekolah Menengan Atas dan sering keluar di buku soal latihan.
(Baca juga: Resensi Buku Parent's Story)
Kidung Kebekuan
( Kisah Nyata dari Seorang Sahabat )
Oleh : Liana Yusoli Ibadiyah
Malam ini bintang tiada yang indah, kebanyakan redup tak bercahaya. Bulan hanya terlihat separuh saja, tak menarik hatiku. Terlihat kedip-kedip lampu dari langit di ujung Utara, mungkin pesawat dari negara besar, saya tak peduli. Langit agak pucat rupanya. Lama saya mengamati langit, mengharap sesuatu muncul di sana. Aku tak yakin yang kutunggu akan datang. Namun saya akan tetap sabar menunggu. Tetap menunggu bintang jatuh dan mengucap suatu permohonan semoga nasibku berubah. Sekian waktu kutunggu yang ada tetap kebekuan, keheningan, saya kedinginan oleh angin malam yang semilir lembut.
Sampai balasannya saya kecewa, kuputuskan untuk kembali ke rumah kecilku. Sebuah tempat tinggal yang sederhana di kota Purwodadi.
”Besok saya akan kembali ke bukit ini”, pikirku.
Saat kubuka pintu dan memasuki ruang tamu, kulihat ibu tertidur di sofa. Aku tak berani membangunkannya, ia terlihat letih sehabis seharian bekerja. Hingga kubiarkan saja ibuku tertidur di situ. Rona mukanya tampak kusut tak ibarat biasanya.
Aku mulai beranjak, kumasuki kamarku yang remang, sengaja tak kunyalakan lampu. Kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur begitu saja. Masih terbayang bisik-bisik yang kudengar dari orang-orang tadi siang.
”Hah...percuma ya ditutup jilbab kayak gitu. Tidak bisa menutupi kejelekannya. Sama saja dengan ibunya. Dasar pembuat malu keluarga, anak tidak terang asalnya”.
Pedih hatiku mendengar cehan orang-orang itu. Mereka mewaspadai niatku menggunakan jilbab. Kenapa mereka selalu memandang sinis ke arahku. Ingin rasanya kumaki mereka. Tapi saya tak bisa, sebab mereka benar. Aku anak tak terang asalnya, tak punya ayah yang sah. Tapi saya tak bisa menyalahkan ibu. Dan saya teringat kata-kata seseorang yang tak kukenal, saya sengaja mengupingnya.
”Tetap saja Yuni yang salah. Laki-laki tak bisa disalahkan. Pasti Yuni sudah menggodanya. Kalau ia tidak genit begitu, mustahil pria itu tergoda, dia kan tidak elok dan tidak seksi sama sekali”.
Tiba-tiba saya menangis mendengar celotehan yang menjelek-jelekkan ibuku ibarat itu. Aku kecewa mereka tak menyebutkan ”laki-laki” itu siapa. Dalam hatiku saya ingin tahu ”laki-laki” itu, dialah ayahku, pria yang telah menelantarkan kami.
Aku tetap tak bisa terlelap. Berkali-kali saya mencoba memejamkan mataku, sia-sia saja. Akankah kutanyakan lagi pada ibu? Siapa ayahku yang sesungguhnya? Tak tega rasanya menyakiti hati ibu. Ia selalu menjawab pertanyaanku dengan tangisan.
”Maafkan ibu Nak...semua sudah takdir. Jangan kau tanyakan lagi. Ibu mohon kepadamu”.
Itulah jawaban ibu yang disertai tangisan yang meledak. Setelah itu biasanya ibu tak mau makan berhari-hari. Sampai saya memohon semoga ibu mau makan.
Tapi malam ini pertanyaan itu semakin membuncah di dadaku. Benarkah ibuku yang salah? Lalu apa salahnya? Walaupun kebekuan yang tetap menemaniku, walau saya sendiri, air mata ini sudah tak bisa mengalir lagi, sudah terlalu kering dan habis.
”Uhuk-uhuk...”
Lamunanku tersadar ketika kudengar ibu terbatuk. Perlahan saya mendekatinya.
”Ibu tidak apa-apa?” tanyaku cemas meihat iu mutah darah.
”Kamu sudah pulang Nay...” ia balik bertanya mencoba menutupi penyakitnya.
”Ibu tidak apa-apa Nay. Kembalilah tidur, hari sudah larut malam”, jawabnya parau. Aku tak menjawab sepatah katapun.
Dan saya kebigungan setengah mati, ibuku pingsan. Spontan ku telepon taksi, kubawa ibu kerumah sakit.
”Ibu bahwasanya sakit apa?” itulah yang menggelayut dipikiranku.
”Ibu sakit apa Dok?”, tanyaku cemas.
”Adik ini.....?”
”Saya Naysa Dok, putrinya”.
”Ibu Anda terkena kanker ganas. Sudah terlalu kritis. Sudah tak ada impian untuk sembuh. Ia harus opname di sini”. Dokter menjelaskan dengan bunyi pelan, namun terasa menggelegar di telingaku.
Pelan-pelan kudekati ibuku. Kulihat air mata bening mengalir di pipinya. Aku mengusapkan tanganku ke pipi ibu, orang yang sangat kucintai. Tak ada kata-kata terucap dari lisan kami. Perlahan pintu terbuka, kulihat empat orang memasuki ruangan. Ternyata yakni Nenek, Paman, Bibi dan Afza sepupuku.
”Bagaimana keadanmu Yun?” tanya nenek dengan cemas.
”Aku baik-baik saja Bu”, jawab ibu menyembunyikan sesuatu.
Tiba-tiba paman angkat suara. Langsung ke pokok permasalahan, tanpa basa-basi, tanpa ragu lagi.
” Yun maafkan aku, kau ibarat ini niscaya gara-gara aku. Sekarang saya akan menceritakan semuanya pada kalian yang ada di sini”.
”Tidak...jangan...” teriak ibu histeris.
”Harus kujelaskan semua kepada mereka Yun....kau telah menderita selama ini, semua gara-gara aku. Aku yang salah, akulah yang seharusnya menderita. Bukan kau”, sahut paman dengan tegas.
Semua terdiam, ibarat menunggu sebuah kejutan besar.
”Naysa........” paman menyebut namaku. Aku menoleh ke arahnya, kemudian ke arah ibu. Ia tak melanjutkan kata-katanya. Kulihat ibu semakin menangis.
”Kamu yakni anakku” ia meneruskan bicaranya dengan bunyi pelan.
Bibi tercengang, menangis dan keluar ruangan. Ia merasa shock suaminya menduakan dengan saudaranya sendiri. Nenek dan Afza juga menangis. Tapi paman tak mengeluarkan setetes air matapun. Ia ibarat sudah siap dengan segala resikonya.
Paman mengikuti istrinya keluar ruangan. Kubuntuti keduanya tanpa sepengetahuan mereka. Sengaja saya menguping pembicaraan mereka.
”Ma....semuanya tidak ibarat yang engkau pikirkan. Semuanya begitu cepat terjadi”, paman mencoba menjelaskan pada bibi. Bibi tak bergeming, ia tetap menangis, meronta. Lalu paman melanjutkan bicaranya lagi.
”Saat mama bekerja di Brunai, Yuni selalu mengantarkan masakan ke rumah”.
”Aku yang memintanya”, kata bibi memotong pembicaraan. Aku masih menguping.
”Dengar dulu penjelasanku Ma. Awalnya memang tak terjadi apa-apa. Suatu hari ia tidur di kamar Afza, pintunya tak terbuka. Kulihat Afza sedang tak dirumah. Aku terpengaruhi dan.......”.
”Sudahlah Pa...biarkan mama sendiri”.
Paman menghampiriku dan mengusap rambutku.
”Maafkan saya Nay...semua salahku. Kini kau boleh memanggil saya ”Ayah”. Bukan salah ibumu ketika itu. Aku yang memaksanya. Maafkan saya telah menelantarkan kalian”.
”Tidak...kau hanya pria tak punya hati. Hanya memikirkan diri sendiri. Perampas kebebasan ibuku. Kau bukan ayahku”, kataku sambil lari kearah ibu dan mencoba memeluknya.
Paman menangis di luar ruangan.
Tiba-tiba ibu kejang. Kuminta Afza memanggil dokter. Tak usang ibu terdiam....wajahnya pucat tetapi sedikit menyungingkan senyuman.
”Innalillahi wa inna ilaihi roji’un” kata dokter perlahan.
Mendengar hal itu, saya merasa dunia akan runtuh. Semua tinggal kebekuan di hatiku, hanya luka di hatiku.
” Ibu...jangan tinggalkan Naysa Bu. Naysa sendiri tanpa ibu....”
Nenek merengkuhku, mencoba menenangkanku. Bibi kembali masuk ruangan dan menangis. Tapi paman tak berani masuk ruangan, ia terisak di luar sana dan saya tak peduli.
Perlahan sekujur badan ibu tertutup tanah, saya tak sanggup melihatnya lagi, untuk selamanya. Teriring do’a dalam hatiku, kupanjatkan dengan sepenuh hatiku.
”Nay...mulai kini kau tinggallah bersama kami. Kamu, ayah, bibi sekaligus ibu barumu, nenek dan Afza telah mau mendapatkan semua kenyataan ini. Semuanya sudah memaafkanku dan ibumu. Kamu tidak seharusnya menderita Nay...ikutah bersama kami” kata paman padaku sehabis semuanya kembali tenang.
Aku hanya mengangguk. Dalam keluarga gres ini saya mulai membangun kepercayaan diriku yang sempat hilang. Aku mencoba mencintai ayah dan ibuku yang sekarang. Aku ingin memulai hidup senang tanpa dicaci maki orang.
Sebulan telah berlalu, semuanya baik-baik saja, ketika saya besekolah tiba-tiba handphoneku berdering.
“Assalamu’alaikum. Halo…Ibu ada apa?” tanyaku kaget.
”Nay....cepat kau kesini Nay...Rumah Sakit Mandiri Sehat”, jawab ibu singkat.
”Ada apa Bu?”.
”Tut...Tut...Tut”
Telpon dimatikan. Dalam hatiku bertanya-tanya ada apa sebenarnya? Siapa yang sakit? Sesampainya di rumah sakit, kulihat Ibu dan nenek menangis di ruang tunggu.
”Ada apa Bu?”
”Nay...ayahmu kecelakaan sepulang dari restaurant dengan kliennya. Sekarang ia dioperasi” jawab ibu singkat
Aku terdiam, duduk dengan lemas. Tiga jam kutunggu ayahku dioperasi. Rasanya setahun Dokter tak muncul dari ruangan yang seram itu
”Bagaimana Dok?” tanya ibu sehabis dokter keluar.
Dokter menggelengkan kepalanya. Seperti sudah mengisyaratkan sesuatu, sudah ada arti darinya.
”Kami sudah berusaha semaksimal mungkin Bu. Tapi Allah yang memilih segalanya. Jantung dia hancur ketika kecelakaan. Tabahkan hati Ibu dan keluarga yang ditinggalkan”.
Nenek dan ibu berpelukan. Aku tak bisa membendung air mata. Kebekuan terasa menemaniku. Aku tak bisa lepas dari kesedihan. Kedukaan ibarat menjadi penggalan dari hidupku. Kini saya telah kehilangan ayah dan ibu kandungku. Apa lagi yang kupunya kini?
”Ya Allah...kenapa kau ambil dia ketika saya sudah mempercayainya. Kau sudah mengambil ibuku. Aku sendiri lagi ya Tuhan......Kenapa kau renggut dia dari kehidupanku ketika saya sudah berbahagia dengannya. Apa yang harus saya lakukan ya Allah? Rasanya gres sebentar saja dia menjadi penggalan dari hidupku. Kupasrahkan semua takdir kepada-MU ya Rabb...” rintihku pelan.
Di bukit ini kembali ku tatap langit, tetap tak ada bintang yang indah. Langit tetap suram tak merona sedikitpun. Bintang jatuh yang kutunggu tetap tak muncul. Serangga malam serasa bernyanyi di banyak sekali ujung, menyanyikan sebuah kidung kebekuan untukku. Malam semakin larut, semakin dingin. Aku masih sendiri.
Surakarta, 20 Mei 2008
(Baca juga: Cerpen wacana Politik "Si Tukang Kritik)
HASIL RESENSI CERPEN “KIDUNG KEBEKUAN)
Refleksi Nyata Sebuah Kesepian
Oleh: Andi Dwi Handoko
Cerpen karya Liana Yusoli Ibadiyah ini memiliki judul yang menarik yakni Kidung Kebekuan. Kidung bisa diartikan lagu atau nyanyian, sedangkan kebekuan merupakan metafora dari rasa dingin, sunyi, sepi. Itulah kira-kira yang sanggup saya interprestasikan dari judul tersebut. Kesan pertama yang muncul dari cerpen ini memang berangkat dari judulnya. Kidung kebekuan sanggup saya interprestasikan sebagai kisah yang diselimuti kesepian.
Cerpen merupakan sebuah bentuk yang utuh yang didukung unsur-unsur di dalamnya. Salah satunya yakni unsur imajinatif. Kidung kebekuan merupakan kisah realis imajinatif yang berangkat dari sebuah kisah kasatmata (tertulis pada keterangan judul pada cerpen tersebut) dari seorang sahabat pengarang. Walau cerpen ini merupakan refleksi dari sebuah kisah nyata, namun bukan berarti cerpen ini tak imajinatif.
Sebuah kisah kasatmata yang sudah direfleksikan menjadi sebuah cerpen, sanggup berdiri menjadi sebuah dunia yang utuh bagi siapa pun yang membacanya. Kaprikornus kisah ini sanggup dipandang sebuah kisah yang imaginasi, terlepas dari sebuah kisah kasatmata dari pengarang.
Cerita dibuka dengan pendeskripsian alam oleh tokoh aku. Sepertinya pengarang ingin membawa pembaca ke dalam sebuah ruang imaginasi yang mendeskripsikan alam sebagai latarnya. Back to nature, seperti alam menjadi objek yang sanggup menarik imaginasi untuk membuka sebuah cerita. Objek-objek pada alam dituangkan dalam sebuah teks yang disusun sedemikian rupa sehingga sanggup menjadikan imaginasi yang kuat. Setelah itu pengarang membawa sebuah rasa pada diri tokoh saya yang diselimuti rasa hambar dan sepi yang merupakan ejawantah dari kebekuan rasa.
Setelah dibuka dengan deskripsi ruang imajinasi, pengarang menciptakan sebuah latar dengan kawasan Purwodadi.
Cerita dibuka dengan pendeskripsian alam oleh tokoh aku. Sepertinya pengarang ingin membawa pembaca ke dalam sebuah ruang imaginasi yang mendeskripsikan alam sebagai latarnya. Back to nature, seperti alam menjadi objek yang sanggup menarik imaginasi untuk membuka sebuah cerita. Objek-objek pada alam dituangkan dalam sebuah teks yang disusun sedemikian rupa sehingga sanggup menjadikan imaginasi yang kuat. Setelah itu pengarang membawa sebuah rasa pada diri tokoh saya yang diselimuti rasa hambar dan sepi yang merupakan ejawantah dari kebekuan rasa.
Setelah dibuka dengan deskripsi ruang imajinasi, pengarang menciptakan sebuah latar dengan kawasan Purwodadi.
Latar belakang pengarang menggunakan kawasan Purwodadi sebab pengarang sendiri berasal dari kawasan itu. Selain itu, kisah ini di dasarkan pada kisah nyata, sehingga mungkin pengarang ingin mengesankan bahwa kisah ini memang benar-benar terjadi ibarat apa yang dialami oleh sahabatnya di kawasan Purwodadi.
Cerpen ini menceritakan wacana kemelut batin yang dialami tokoh aku. Pergulatan atau konflik batin dalam cerpen ini memang sangat kental. Konflik batin pertama dirasakan oleh tokoh saya yang digunjingkan sebagai pembuat malu keluarga atau anak yang tak terang asalnya sebab tak punya seorang bapak. Orang-orang pun mewaspadai tokoh saya yang menggunakan jilbab. Kemudian kisah beralih pada kehidupan tokoh ibu yang sedang terjangkit suatu penyakit. Tokoh saya selalu bertanya wacana siapa bahwasanya bapaknya, namun ibunya tetap tidak mau menyebutnya. Mungkin saja pertanyaan-pertanyaan dari tokoh saya kepada ibunya itu yang semakin menciptakan parah penyakit ibunya.
Akhirnya penyakit ibunya semakin parah dan harus masuk rumah sakit. Dokter memvonis bahwa ibunya terkena kanker ganas. Dan ketika ibunya telah kritis, terjadi sebuah kisah yang menegangkan yakni akreditasi pamannya bahwa dia yakni ayah tokoh aku., Mendengar akreditasi itu, semua orang yang sedang berada di sana ibarat terkena cambuk yang keras. Kemudian kisah disusul maut ibunya yang mendadak. Setelah itu tokoh saya ikut bersama pamannya yang tak lain yakni ayah kandungnya. Kebencian dalam diri tokoh saya pada ayah kandungnya belum sirna, sehingga ia belum begitu erat dengan ayah kandungnya itu. Sehingga waktu mengubah perasaan tokoh saya untuk mengubah perasaannya untuk lebih mencintai dan mempercayai ayahnya.
Akhirnya muncullah perasaan sayang dan percaya pada diri tokoh saya pada ayahnya, namun sehabis itu ia menerima kabar bahwa ayahnya tewas sebab kecelakaan. Ia pasrah kepada Tuhan atas semua yang telah terjadi pada dirinya. Pada final kisah tokoh saya kembali mencicipi sebuah kesepian, lebih tepatnya kebekuan.
Narasi pada cerpen ini memang cukup menciptakan pembaca mengikuti alur demi alur dengan konflik yang ada. Gaya bahasa cukup sederhana sehingga eksklusif sanggup dicerna dan nikmati. Cerpen ini termasuk pada gaya realis yang menceritakan wacana kehidupan bahwasanya dan dibalut dengan gaya imajinatif. Pembuka cerpen ini menciptakan sebuah ketertarikan dengan gaya penceritaan yang halus. Narasi pada tengah-tengah kisah menghadapkan kita pada fenomena yang pada umumnya dialami masyarakat. Sebuah konflik pada sebuah hubungan keluarga yang terlampau dekat. Perefleksian problem ini yakni sebuh nilai plus bagi pengarang. Refleksi dari sebuah realitas sosial yang dituangkan dengan alunan teks-teks yang bersatu padu. Percakapan yang mendominasi kisah ini mengatakan sebuah daya interprestasi kasatmata yang tak selamanya berbentuk jalinan naratif simbolik. Pengarang juga bisa katakana berani sebab menutup cerpen dengan ending terbuka. Dengan trik semacam ini, pembaca sanggup menyimpulkan sendiri atas apa yang akan dialami tokoh saya sehabis itu. Lebih hebatnya lagi, pengarang tidak terjebak pada pengggunaan ending pada maut ayah dari tokoh aku.
Pada keseluruhan cerita, pengarang terjebak pada gaya bahasa. Ini mungkin juga banyak dialami bagi penulis kisah pendek lainnya yakni penggunaan gaya bahasa tidak ritmis. Membaca awal kisah kita dihadapkan pada gaya bahasa yang imajinatif namun sehabis ke tengah kita dihadapkan pada kisah yang naratif. Isi dari kisah pun dibentuk tergesa-gesa oleh pengarang dan terlalu banyak konflik. Kesan pertama dari saya, pengarang ingin mengetengahkan konflik batin, namun sehabis dibaca keseluruhan ternyata tidak. Pengarang terjebak pada kenaratifan ceritanya sehingga isi kisah cenderung berjalan apa adanya dan kurang pemodifikasian kata. Namun pada balasannya pengarang kembali lagi ibarat awal. Pada epilog cerpen itu ia membawa gaya bahasanya ibarat di awal. Dapat saya simpulkan ini yakni kisah yang stagnant atau terdapat kemandegan di awal dan di final cerita. Hanya tengahnya yang mengalami sebuah perubahan dan warna.
Keseluruhan kisah ini sudah cukup menarik. namun ada hal-hal yang kiranya sanggup saya catat untuk sekiranya sanggup menciptakan kisah dalam cerpen ini lebih menarik. Pertama yakni mengurangi percakapan yang tidak perlu. Semakin banyak percaapan yang tidak perlu maka cerpen ini bentuknya akan semakin longgar. Kedua, yakni mengurangi gaya bercerita yang terlalu naratif dan detail sehingga kurang sanggup menjadikan daya imaginasi. Ketiga, menciptakan adegan kisah melalui teks tidak usah terlalu tergesa-gesa sehingga pencapaian estetisnya kurang. Dan terakhir yakni konflik yang dihadirkan tidak usah terlalu banyak, sebab pada hakikatnya cerpen yakni kisah yang singkat dan padat.
Cerpen ini sanggup dikatakan sebagai mediasi bagi pengarang untuk menyebarkan kisah yang diperolehnya. Isi cerpen banyak diselimuti wacana kesedihan. Sudah pas sekali kalau judul cerpen ini yakni Kidung Kebekuan. Dan keseluruhan isi cerpen ini baik menyangkut tema, isi kisah dan amanat merupakan sebuah refleksi dari realitas sosial yang sering dijumpai dalam masyarakat sehingga menciptakan siapa saja yang membacanya akan lebih peka terhadap realitas kehidupan.
Buat lebih berguna, kongsi: